Kasus Bakamla, Dirut PT CMI Teknologi Didakwa Rugikan Negara Rp 63 Miliar

8 Juni 2020 13:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tersangka Direktur Utama PT CMI Teknologi (CMIT) Rahardjo Pratjihno (kanan) berjalan sebelum diperiksa di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (10/3/2020). Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
zoom-in-whitePerbesar
Tersangka Direktur Utama PT CMI Teknologi (CMIT) Rahardjo Pratjihno (kanan) berjalan sebelum diperiksa di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (10/3/2020). Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Direktur Utama PT Compact Microwave Indonesia Teknologi Rahardjo Pratjihno didakwa korupsi yang menyebabkan negara mengalami kerugian hingga puluhan miliar rupiah. Sejumlah orang pun diperkaya dari perbuatan itu.
ADVERTISEMENT
Rahardjo didakwa melakukan perbuatan korupsi terkait pengadaan Backbone Coastal Surveillance System (BCSS) yang Terintegrasi dengan Bakamla Integrated Information System (BIIS) pada Badan Keamanan Laut (Bakamla) Tahun Anggaran 2016.
Menurut dakwaan, perbuatan itu dilakukan Rahardjo bersama-sama dengan Bambang Udoyo selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Bakamla, Leni Marlena selaku Ketua Unit Layanan Pengadaan (ULP) Bakamla, dan Juli Amar Ma'ruf selaku Anggota (koordinator) ULP Bakamla.
"Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, yaitu merugikan keuangan negara sebesar Rp 63.829.008.006,92 sebagaimana Laporan Hasil Audit dalam rangka Penghitungan Kerugian Keuangan Negara," kata jaksa membacakan surat dakwaan Rahardjo di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (8/6).
Tersangka Direktur Utama PT CMI Teknologi (CMIT) Rahardjo Pratjihno (kanan) berjalan sebelum diperiksa di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (10/3/2020). Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Terdapat dua orang yang disebut mendapat keuntungan dari kasus ini. Yaitu Rahardjo mendapat keuntungan Rp 60.329.008.006,92. Serta, Ali Fahmi alias Ali Habsyi yang mendapat keuntungan Rp 3,5 miliar.
ADVERTISEMENT
Ali Fahmi merupakan Staf Khusus (narasumber) bidang perencanaan dan keuangan Kepala Bakamla saat dijabat Arie Soedewo. KPK beberapa kali telah memanggil Ali untuk diperiksa terkait kasus ini. Namun, ia tidak pernah memenuhi panggilan tersebut. Sejak 2017 hingga kini, keberadaan Ali Fahmi masih misterius.

Latar Belakang Perkara

Kasus ini berawal ketika Ali Fahmi mengenalkan Rahardjo kepada Arief Meidyanto selaku Kepala Pengelolaan Informasi Marabahaya Laut (KPIML) Bakamla pada Maret 2016. Rahardjo dikenalkan selaku konsultan IT (information technologi) yang diminta untuk mengembangkan teknologi di Bakamla.
Mereka kemudian membahas soal pengembangan sistem Bakamla Integrated Information System (BIIS). Lebih lanjut, Rahardjo pun dikenalkan pada Arie Soedewo. Rahardjo mengusulkan agar Bakamla mempunyai jaringan backbone sendiri (independen) yang terhubung dengan satelit dalam upaya pengawasan keamanan laut atau Backbone Surveillance yang terintegrasi dengan BIIS.
Laksamana Madya TNI Arie Soedewo. Foto: ANTARA/Sigid Kurniawan
Sebagai tindak lanjutnya, Arie Soedewo memerintahkan kepada setiap unit kerja agar mengusulkan kegiatan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-K/L) pada usulan Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) Bakamla Tahun Anggaran 2016. Sebab, adanya rencana penambahan anggaran untuk Bakamla. Arie Soedewo pun mengarahkan Arief Meidyanto berkoordinasi dengan Rahardjo alam penyusunan Kerangka Acuan Kerja (KAK) untuk pembuatan RKA-K/L.
ADVERTISEMENT
Arief dan Rahardjo pun berkoordinasi dan disepakati bahwa Rahardjo akan menyusun spesifikasi teknis yang dibutuhkan masing-masing stasiun Bakamla di daerah yang akan diintegrasikan melalui jaringan Backbone beserta rencana anggarannya (RAB).
Tindak lanjutnya, Rahardjo mengirim email mengenai spesifikasi teknis dan RAB dengan perkiraan biaya sekitar Rp 350 miliar. Ia juga meminta agar programnya diberi nama Backbone Coastal Surveillance System (BCSS) sesuai arahan dari Ali Fahmi.
Data itu kemudian dijadikan dasar untuk menyusun KAK dan RAB dengan perkiraan anggaran sebesar Rp 315.113.152.683 untuk usulan pengadaan BCSS Bakamla pada RKA-K/L APBN-P TA 2016.
Dalam proses pengusulan anggaran tersebut, Ali Fahmi selaku Staf Khusus Kabakamla bidang perencanaan dan keuangan ditugaskan berkoordinasi dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Direktorat Jenderal Anggaran dan Kementerian Keuangan sebelum pembahasan anggaran di Komisi I DPR. Pada saat dilakukan proses pengusulan anggaran tersebut, sekitar bulan Juni 2016, Rahardjo Ali Fahmi membicarakan komitmen fee yang akan disiapkan terkait proyek Backbone yang sedang diusulkan.
ADVERTISEMENT
Anggaran paket pengadaan BCSS tersebut akhirnya masuk dalam APBN-P TA 2016 dengan pagu anggaran senilai Rp 400 miliar. Namun anggaran belum bisa digunakan karena membutuhkan persetujuan lebih lanjut atau istilahnya masih ditandai bintang.
Secara terpisah, Arie Soedewo selaku Kabakamla menunjuk dan menetapkan tim kelompok kerja (Pokja) Unit Layanan Pengadaan (ULP) untuk melakukan lelang proyek di Bakamla. Leni Marlena ditunjuk sebagai ketuanya.
Leni sempat dihubungi Ali Fahmi bahwa pengadaan barang di Bakamla, termasuk backbone, akan dibantu oleh Juli Amar Ma'ruf.
Lelang diatur sedemikian rupa hingga akhirnya PT CMI Teknologi dinyatakan sebagai calon pemenang oleh tim ULP dengan harga penawaran sebesar Rp 397.006.929.000.
Namun pada bulan Oktober 2016, Kementerian Keuangan menyetujui anggaran untuk pengadaan “BCSS yang terintegrasi dengan BIIS” di Bakamla hanya sebesar Rp 170.579.594.000. Akan tetapi, lelang yang seharusnya dibatalkan dan diulang, tidak dilakukan. Nilai pengadaan diubah menjadi sebesar Rp 170.579.594.000. Tapi tidak dibahas item pekerjaan apa saja yang disesuaikan. Hingga akhirnya kontrak ditandatangani.
ADVERTISEMENT
Pada akhir bulan Oktober 2016, Rahardjo memberikan selembar cek Bank Mandiri senilai Rp 3,5 miliar kepada Hardy Stefanus untuk diberikan kepada Ali Fahmi. Hal itu sebagai realisasi komitmen fee atas diperolehnya proyek backbone di Bakamla.
Ilustrasi kasus KPK Foto: Basith Subastian/kumparan
Cek ditukarkan dalam bentuk dolar Singapura senilai Rp 3 miliar dan Rp 500 juta dalam bentuk rupiah.
Uang diserahkan Hardy Stefanus kepada Ali Fahmi di gerai Starbucks dekat Pekan Raya Jakarta (PRJ) Kemayoran pada saat acara pameran Indo Defence.
Sementara terkait proyek, PT CMI Teknologi mendapat pembayaran sebesar Rp 134.416.720.073. Namun yang digunakan untuk pembiayaan pelaksanaan pekerjaan hanya sebesar Rp 70.587.712.066,08. Sehingga terdapat selisih sebesar Rp 63.829.008.006,92 yang dihitung sebagai keuntungan PT CMI Teknologi. Uang Rp 3,5 miliar untuk Ali Fahmi berasal dari keuntungan itu.
ADVERTISEMENT
Atas perbuatannya itu, Rahardjo didakwa melanggar pasal Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
***
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
***
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona