LIPSUS- Tragedi Kanjuruhan

Intervensi Jenderal Berujung Tragedi Bola Fatal (1)

17 Oktober 2022 12:57 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
11
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Rabu, 14 September 2022, Direktur Operasional PT Liga Indonesia Baru Irjen (Purn) Sudjarno menyambangi Kepolisian Resor Malang. Ia diterima AKBP Ferli Hidayat, Kapolres Malang saat itu. Mereka kemudian masuk ke sebuah ruangan.
Kedatangan Sudjarno itu tak lain untuk membahas surat bernomor B/2151/IX/PAM.3.3/2022 yang diteken Ferli sehari sebelumnya, 13 September. Surat itu berisi permintaan Ferli kepada Panitia Pelaksana Arema FC untuk bersurat ke PT LIB guna memajukan jam pertandingan Arema FC vs Persebaya Surabaya pada 1 Oktober, dari semula pukul 20.00 WIB menjadi 15.30 WIB.
“Dengan pertimbangan keamanan,” tulis Ferli dalam surat tersebut.
Ketua Panpel Arema FC Abdul Haris lalu meneruskan permintaan Polres Malang ke PT LIB pada hari yang sama, dalam surat bernomor 020/SEKR-ARM/IX/2022.
Sumber kumparan menyatakan, Sudjarno saat bertemu Ferli menegaskan bahwa jam pertandingan Arema vs Persebaya tidak bisa dimajukan. Ferli lantas memaparkan analisis intelijen bahwa pertandingan tersebut memiliki risiko tinggi jika tetap digelar malam.
“Bapak [Sudjarno] kan [latar belakang] polisi, harusnya membela polisi dalam konteks keamanan,’” kata sumber itu menirukan ucapan Ferli ke Sudjarno.
Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat. Foto: Humas Polres Malang
Berdasarkan dokumen rencana pengamanan Polres Malang yang didapat kumparan, hasil analisis intelijen menunjukkan adanya 28 potensi kerawanan di laga Arema FC vs Persebaya.
Polres Malang membagi 28 potensi kerawanan menjadi 3 bagian: sebelum, saat, dan setelah pertandingan. Mulai dari potensi aksi pencopetan, peredaran miras, sweeping terhadap suporter Persebaya, ulah suporter tak bertiket yang memaksa masuk, hingga pecahnya keributan jika Arema FC kalah.
Segala potensi kerawanan tersebut lebih mudah diatasi jika pertandingan digelar sore hari karena kondisi masih terang. Hal ini diamini Komisioner Kompolnas Albertus Wahyurudhanto.
“Polisi lebih mudah mendeteksi kalau terang. Kalau gelap agak susah. Orang melempar saja enggak ketahuan [kalau malam]. Kamera pun enggak bisa menangkap [gambar karena gelap]. Di luar Stadion Kanjuruhan, lampu jalan tidak seperti di Jakarta yang terang-benderang,” kata Wahyu kepada kumparan, Kamis (13/10).
Surat dari Kapolres Malang agar jadwal pertandingan Arema-Persebaya diubah. Foto: Dok. Istimewa
Meski Ferli sudah memaparkan potensi kerawanan jika laga tetap digelar malam hari, Sudjarno tak menggubris. Sudjarno—yang merupakan rekan seangkatan Ketua Umum PSSI Komjen (Purn) Mochamad Iriawan di Akpol 1984—meminta pertandingan tetap digelar pukul 20.00 WIB.
Selepas pertemuan itu, Ferli terus melobi Sudjarno melalui telepon maupun pesan WhatsApp. Namun upaya Ferli selalu mental.
“WhatsApp [Ferli] tak pernah dibalas,” ucap sumber kumparan.
Hingga akhirnya PT LIB membalas surat Panpel Arema FC pada 18 September yang isinya menolak memajukan jam pertandingan. Surat penolakan itu diteken Direktur Utama PT LIB Akhmad Hadian Lukita.
kumparan mengkonfirmasi hal tersebut kepada Sudjarno melalui telepon maupun pesan WhatsApp, namun tak berbalas. Sementara menurut sumber kumparan lainnya, Sudjarno saat berbicara di depan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta bentukan pemerintah, membantah mengintervensi jadwal pertandingan Arema FC vs Persebaya.
Direktur Operasional PT LIB, Sudjarno. Foto: Instagram/@ jarno_sudjarno
Meski PT LIB menolak, Polres Malang tak langsung mengeluarkan surat rekomendasi pertandingan Arema FC vs Persebaya. Pada momen inilah, menurut sumber kumparan, PT LIB melobi Mabes Polri dan Polda Jatim agar surat rekomendasi pertandingan segera diterbitkan.
Mabes Polri disebut meminta Karo Ops Polda Jatim Kombes Puji Santosa untuk merestui laga Arema FC vs Persebaya digelar malam. Puji kemudian memanggil Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat dan meminta agar laga tetap digelar sesuai permintaan PT LIB atas dasar “kepentingan publik”.
kumparan meminta konfirmasi ke Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo dan Kabid Humas Polda Jatim Kombes Dirmanto mengenai upaya intervensi tersebut. Dedi kemudian meminta kumparan untuk menunggu penjelasan Polri pada Senin, 17 Oktober. Sementara Dirmanto belum membalas.
Surat dari LIB kepada Arema FC tentang jadwal pertandingan yang tidak berubah. Foto: Dok. Istimewa
Ferli yang mendapat tekanan akhirnya menerbitkan surat rekomendasi bernomor B/2448/IX/YAN.2.1/2022 yang menyatakan tidak keberatan pertandingan Arema FC vs Persebaya digelar malam. Dalam surat yang sama, Ferli meminta rekomendasi Direktur Intelkam Polda Jatim Kombes Dekananto Eko Purwono.
Sehari setelahnya, Dekananto menerbitkan rekomendasi izin keramaian pertandingan Arema FC vs Persebaya untuk 1 Oktober 2022 dalam surat bernomor Rek/000089/IX/YAN/2.1/2022/DITINTELKAM.
Tiga narasumber kumparan menyebut ada faktor senioritas-junioritas yang membuat Ferli tak dapat menolak laga Arema vs Persebaya digelar malam hari. Pada akhirnya, menurut TGIPF, penolakan perubahan jam pertandingan tersebut adalah faktor tak langsung yang mengakibatkan tragedi fatal di Kanjuruhan yang menewaskan 132 orang.
“Kami sesalkan Polres akhirnya menyerah dengan alasan suporter Persebaya tidak datang,” ujar anggota TGIPF Rhenald Kasali kepada kumparan.
Laga Arema vs Persebaya sebelum tragedi dimulai di Stadion Kanjuruhan, Sabtu (1/10). Foto: Ari Bowo Sucipto/ANTARA

Minta Tiket Dibatasi

Surat rekomendasi izin penyelenggaraan pertandingan dari Polres Malang terbit pada 28 September. Sehari sesudahnya, 29 September, Ferli meminta Panpel Arema untuk mencetak tiket maksimal 38.054 lembar dari total kapasitas stadion sebanyak 45 ribu orang, termasuk untuk tribun berdiri. Padahal, tiket sudah terjual habis sejak tiga hari sebelumnya sebanyak 43 ribu lembar.
“Tiket sejak tanggal 26 September sudah terjual di Korwil Aremania,” ujar kuasa hukum Abdul Haris, Sumardhan, kepada kumparan.
Ia mengatakan, pada 30 September, empat perwakilan Panpel Arema FC menemui Ferli. Mereka berniat menaati perintah Polres agar jumlah tiket maksimal 38.054 lembar, dan karenanya menyerahkan 5.000 tiket yang sudah dipesan Aremania ke Polres Malang.
Namun, menurut Sumardhan, Polres Malang tidak bersedia menerima 5.000 tiket tersebut dan meminta Panpel menjual tiket sesuai pesanan. Sumber kumparan menyebut, Ferli enggan menerima 5.000 tiket itu lantaran Panpel seakan membenturkan Polres Malang dengan Aremania.
Aremania. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan

Tindakan Berlebih Aparat

Pertandingan Arema FC vs Persebaya di Kanjuruhan yang masuk kategori berisiko tinggi—meski tanpa kehadiran suporter Persebaya—membuat Polres Malang meminta bantuan pengamanan ke Polda Jatim maupun instansi lainnya.
Total personel pengamanan pada 1 Oktober itu berjumlah 2.034 orang yang di antaranya terdiri dari 600 personel Polres Malang, 300 pasukan huru-hara Brimob, 200 personel Batalyon Zeni Tempur 5, 250 steward, hingga 20 anggota Satpol PP.
Ribuan personel itu dibagi ke dalam 4 ring yakni: 1) di dalam stadion berjumlah 664 personel; 2) di pintu, tribun, dan ruang pemain sebanyak 1.004 personel; 3) di luar stadion 174 personel; dan 4) di jalur menuju stadion 110 personel.
Lima jam sebelum pertandingan, pukul 15.00 WIB, Ferli memberi pengarahan kepada anggotanya. Ia meminta mereka tidak membawa senjata dan tidak melakukan kekerasan yang eksesif. Ia juga meminta kepada para perwira untuk mengawasi anggotanya.
Aparat menembakkan gas air mata ke arah tribun di Stadion Kanjuruhan. Foto: Ari Bowo Sucipto/ANTARA
Sebelumnya, dalam rapat koordinasi pengamanan pada 15 dan 28 September, Kasat Intelkam Polres Malang Iptu Bambang Sulistyono juga telah meminta kepada anggotanya untuk tidak menggunakan gas air mata. Info ini didapat Kompolnas ketika meminta keterangan ke Polres Malang.
“Iptu Bambang meminta jangan pakai gas air mata bukan karena aturan FIFA, tapi karena ada pengalaman [pada pertandingan Arema vs Persib] tahun 2018… menggunakan gas air mata banyak yang pingsan, meninggal dunia satu orang,” ucap Komisioner Kompolnas Albertus Wahyurudhanto.
Nyatanya, arahan yang disampaikan Bambang dan Ferli sebelum pertandingan tak dihiraukan. Polisi justru menembakkan gas air mata yang mengakibatkan para penonton panik dan berdesakan mencari jalan keluar stadion, terimpit, terinjak-injak, hingga membuat 132 nyawa melayang.
Dari investigasi kumparan, tembakan gas air mata mulai terdengar pukul 22.08 WIB atau 10 menit setelah pertandingan usai. Tembakan-tembakan itu itu berasal dari Pasukan Huru-Hara Brimob Polda Jatim serta beberapa anggota Samapta Polres Malang.
“Ada perilaku berlebihan [dari aparat] di lapangan sampai muncul tembakan gas air mata. Ini diskresi yang berlebihan karena Kapolres tidak memerintahkan,” kata Wahyurudhanto.
Menurut Wahyu berdasarkan keterangan Kabag SDM Polres Malang Kompol Ahmad Sueb, PHH Brimob dengan senjata gas air mata masuk ke dalam stadion beberapa menit sebelum pertandingan selesai. Ini terjadi karena situasi mulai memanas setelah Arema tertinggal 2-3 dari Persebaya.
Padahal, berdasarkan FIFA Stadium Safety and Security Regulations, polisi yang berjaga di sekitar lapangan tidak boleh membawa senjata maupun gas air mata.
Suasana di luar stadion usai Tragedi Kanjuruhan. Foto: Abdul Latif/kumparan
Selain itu, berdasarkan temuan TGIPF setelah melihat rekaman CCTV, PHH Brimob sudah berada di sekitar lapangan sejak awal pertandingan. Temuan ini sama dengan dokumen rencana pengamanan Polres Malang di mana terdapat 4 peleton atau 200 personel PHH Brimob yang disebar di ring 1 dalam stadion.
Meski demikian, dalam dokumen rencana pengamanan tersebut, tidak ada arahan penggunaan gas air mata. Yang ada adalah arahan agar Brimob membuat pagar betis melingkar untuk mencegah suporter turun ke lapangan.
Sementara apabila suporter sudah masuk lapangan dan terindikasi menyerang pemain atau wasit, personel di dalam stadion diminta menghalau mereka ke utara dan selatan, mengevakuasi pemain dan ofisial ke dalam lobi stadion, membuka 4 pintu besar di sudut-sudut stadion, serta menghalau suporter dengan anjing K-9 dan water cannon.
Prosedur dan arahan tersebut jelas dilanggar karena alih-alih membuat pagar betis dan mengerahkan anjing K-9 serta water cannon, aparat malah langsung menembakkan gas air mata. Itu pun bukan kepada suporter yang memasuki lapangan, melainkan kepada penonton di tribun.
“Ada pelanggaran SOP. Di rencana pengamanan, dalam situasi terburuk, Brimob [seharusnya] membuat pagar betis agar penonton tidak masuk lapangan. Tapi itu tidak dilakukan. Seharusnya gas air mata tidak dilontarkan,” kata Wahyu.
Anggota TGIPF Rhenald Kasali menyatakan, para personel yang melontarkan gas air mata juga melanggar Pasal 5 ayat (1) Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan.
Dalam Perkap tersebut, penggunaan gas air mata dilakukan jika polisi sudah melakukan empat tahap sebelumnya, yakni pencegahan, perintah lisan, kendali tangan kosong lunak, dan kendali tangan kosong keras.
“Itu petunjuk Kapolri. Tapi waktu rekaman CCTV [di Stadion Kanjuruhan] kami putar, kami tidak melihat ini dalam keadaan yang rawan. Kami tidak melihat aparat dalam keadaan terancam,” kata Rhenald.
Anggota TGIPF Rhenald Kasali di Kantor Kemenko Polhukam. Foto: Aprilandika Pratama/kumparan
Wahyu menilai arahan Kapolres agar petugas tak memakai gas air mata tidak dijalankan karena hambatan psikologis.
“Dari 2.034 personel pengamanan, yang sehari-hari di bawah kendali Kapolres hanya 600 personel, sedangkan 1.400 personel lainnya tidak. Bisa dibayangkan, walau sebagai komandan keamanan, secara psikologis beda antara yang memang anak buah dengan personel BKO (bantuan)” jelas Wahyu.
Walau demikian, posisi Ferli sebagai komandan lapangan seharusnya mampu meredam tindakan eksesif pasukan-pasukannya.
Saat gas air mata memborbardir suporter, Ferli tak berada di tempat. Ia mengawal pemain dan ofisial Persebaya naik kendaraan taktis meninggalkan stadion. Saat Ferli kembali ke dalam stadion, korban jiwa sudah berjatuhan.
“Kapolres diinformasikan di dalam [stadion] ada kejadian itu, maka perintahnya utamakan evakuasi,” ujar Wahyu yang sempat meminta keterangan Ferli pada Selasa (4/10).
Kelalaian itu membuat Ferli dicopot dari jabatannya selaku Kapolres Malang pada 3 Oktober. Polri kemudian menetapkan 6 orang sebagai tersangka dalam Tragedi Kanjuruhan. Mereka adalah Dirut PT LIB Akhmad Hadian Lukita, Ketua Panpel Abdul Haris, Security Officer Soko Sutrisno, Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi, Danki Brimob Polda Jatim AKP Has Darmawan, dan Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto.
Dirut PT LIB Akhmad Hadian Lukita. Foto: Dok. LIB
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan jumlah tersangka bisa bertambah. Apalagi TGIPF telah menarik kesimpulan dan memberi rekomendasi agar Polri menyelidiki peran pihak-pihak lain yang diduga terlibat.
Pihak-pihak lain itu misalnya pejabat Polri yang menandatangani surat rekomendasi izin keramaian pertandingan pada 28 September, pihak yang menyediakan gas air mata, personel yang menembakkan gas air mata ke tribun, pengelola Stadion Kanjuruhan yang tidak memastikan semua pintu terbuka, pihak Arema FC, dan PSSI yang tidak mengawasi keamanan dan kelancaran penyelenggaraan pertandingan.
Selain itu, TGIPF meminta Polri segera menyelidiki suporter yang dianggap memprovokasi, yakni yang mengawali masuk ke lapangan sehingga diikuti 124 suporter lain; juga suporter yang melempar flare, dan suporter yang merusak serta membakar mobil di dalam dan luar stadion.
Petugas mengevakuasi mobil yang rusak terbakar akibat kerusuhan di Stadion Kanjuruhan. Foto: Zabur Karuru/Antara
“Ini suatu kejadian yang sangat luar biasa. Jumlah korbannya sangat banyak. Yang meninggal adalah grassroots atau orang-orang bawah, sementara yang di atas lepas tanggung jawab. Tidak terlihat empati sama sekali. Merasa telah banyak berbuat tetapi sebetulnya melakukan banyak pembiaran,” tutup Rhenald.
Stadion Kanjuruhan di pagi hari usai tragedi. Foto: Putri/AFP
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten