SQ- LIPSUS Tak Siap Corona Covid-19 corona

Horor Defisit Logistik di Garda Depan Penanganan Corona

19 Maret 2020 16:58 WIB
comment
10
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Simalakama paramedis hadapi wabah corona. Ilustrator: Maulana Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Simalakama paramedis hadapi wabah corona. Ilustrator: Maulana Saputra/kumparan
Stok perlengkapan pelindung paramedis di rumah sakit rujukan COVID-19 menipis. Tak sedikit tenaga medis yang bekerja dengan perlengkapan seadanya. Keselamatan mereka di garda depan melawan corona dipertaruhkan.
Anita, sebut saja begitu, mencoba mengenyahkan kekhawatiran di benaknya. Bekerja sebagai perawat di instalasi gawat darurat salah satu rumah sakit di Jakarta, ia sadar punya risiko tinggi tertular COVID-19.
Apalagi, tempatnya bekerja kini menjadi rumah sakit rujukan penanganan epidemi global tersebut.
“Berusaha enggak mikir ke sana. Walaupun jujur saja, takut juga,” katanya kepada kumparan, Kamis (19/4).
Yang bikin Anita tak tenang, salah satunya, adalah keterbatasan ketersediaan alat perlengkapan diri. Tenaga medis di tempatnya bekerja cuma kebagian satu masker N95 untuk digunakan selama sepekan.
“Terpaksa didobel pakai kain,” keluhnya.
Rumah sakit juga hanya mampu menyediakan sarung tangan yang biasa digunakan untuk tindakan operasi.
Meski pemerintah menambah daftar rumah sakit rujukan COVID-19, kesiapan setiap fasilitas kesehatan belum merata di lapangan. Anita menuturkan, prosedur keamanan untuk tenaga medis kerap kali diabaikan.
Ia mencontohkan, suatu malam perawat di rumah sakit tempatnya bekerja terpaksa harus mengantar pasien suspect COVID-19 dengan perlengkapan seadanya.
“Enggak pake baju hazmat (hazardous materials),” ungkap Anita.
Petugas ambulans berpakaian hazmat tiba di RSPI Sulianti Saroso, Jakarta Utara. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Dewi, bukan nama sebenarnya, perawat rumah sakit rujukan COVID-19 lain di Jakarta, juga punya pengalaman serupa. Ketiadaan baju hazmat membuat tenaga medis di tempat kerjanya terpaksa menggunakan baju yang biasa digunakan untuk prosedur operasi.
Meski sama-sama steril, menurut Dewi, standarnya tidak memadai untuk menangani pasien yang terjangkit virus corona jenis baru itu. Walau begitu, pelayanan terhadap pasien harus jalan terus.
“Terpaksa. Keterbatasan yang buat situasi kayak gini,” kata dia.
Menurut Dewi, stok perlengkapan di tempatnya bekerja menipis. Masker, misalnya, harus dihemat penggunaannya.
Satu tenaga medis cuma dijatah satu lembar per hari. Mereka harus berhati-hati menggunakannya agar jangan kotor atau putus talinya, supaya bisa digunakan lagi. Padahal, perlengkapan seperti itu idealnya tidak digunakan berulang-ulang.
“Kalau kami mau makan, (masker) dilepas hati-hati, jadi bisa dipakai lagi,” ujarnya.
Kondisi yang dihadapi para perawat itu membuat cemas Harif Fadhilah, Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia. Terlebih, perawat lebih sering berinteraksi dengan pasien ketimbang dokter. Alhasil risiko mereka tertular menjadi lebih tinggi.
Personel Satgas Mobile COVID-19 membawa pasien yang diduga terjangkit COVID-19 di Tegal, Jawa Tengah. Foto: ANTARA/Oky Lukmansyah
Keluhan soal keterbatasan alat pelindung diri (APD), kata Harif, juga banyak ditemukan di rumah sakit prarujukan. Padahal perlengkapan-perlengkapan pelindung itu harus diganti tiap beberap jam.
“Ada juga yang di kamar khusus. Kan setiap menangani pasien di kamar itu harus berganti (APD-nya),” ujarnya.
Di Indonesia, kasus perawat yang meninggal akibat tertular COVID-19 dari pasien juga sudah terjadi. Hanif menuturkan, nyawa seorang perawat tak tertolong setelah sempat dirujuk ke Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti Saroso.
Oleh sebab itu, ia meminta pemerintah memperhatikan keamanan tenaga medis yang berjuang di garda terdepan penanganan COVID-19.
“Kami sebenarnya ingin melayani, tapi jangan juga jadi tempat penularan,” kata Hanif.
Perlindungan yang memadai akan membuat tenaga medis lebih percaya diri dalam melayani. Apalagi pemerintah sudah mewanti-wanti bahwa kasus COVID-19 ke depannya akan meningkat drastis.
Donny Martamin, peneliti ITB, membuat permodelan untuk mengetahui kapan waktu puncak penyebaran virus corona baru itu. Ia menggunakan dua parameter, yakni tingkat penyebaran dan jumlah populasi.
“Estimasi kapan itu bakal memuncaknya, kira-kira bulan puasa,” kata Donny kepada kumparan.
Artinya, kondisi saat ini bisa dibilang belum apa-apa. Hampir pasti bakal ada gelombang pasien yang jumlahnya lebih besar di hari-hari mendatang.
Sementara itu, Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19, Achmad Yurianto, menegaskan pemerintah punya stok alat pelindung diri yang memadai.
“Stok ada di instalasi farmasi provinsi,” katanya melalui pesan tertulis. Namun ia tak menjawab tegas kenapa perlengkapan tersebut tidak terdistribusi dengan baik.
“Kemenkes kirim ke dinas kesehatan provinsi. Dinkes provinsi ke rumah sakit,” jawabnya singkat.
***
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk membantu pencegahan penyebaran coronavirus COVID-19. Yuk, bantu donasi sekarang!
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten