SQR- Polemik obat corona

Faskes Indonesia Terancam Ambruk dalam 10 Hari Gara-gara Corona

25 Maret 2020 10:27 WIB
comment
65
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas medis memeriksa alat kesehatan di ruang IGD RS Darurat Penanganan COVID-19 Wisma Atlet, Kemayoran, Senin (23/3). Foto: ANTARA/Hafidz Mubarak A
zoom-in-whitePerbesar
Petugas medis memeriksa alat kesehatan di ruang IGD RS Darurat Penanganan COVID-19 Wisma Atlet, Kemayoran, Senin (23/3). Foto: ANTARA/Hafidz Mubarak A
Coronavirus COVID-19 kadung menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia. Antisipasi pemerintah yang buruk dan ketiadaan kebijakan yang tegas, memperparah kondisi. Fasilitas kesehatan terancam ambruk pada kasus infeksi ke-1.000, yang diperkirakan tak lebih dari 10 hari lagi.
Peningkatan signifikan angka infeksi coronavirus COVID-19 yang dibarengi kondisi puluhan tenaga medis yang terpapar corona, membuat fasilitas kesehatan Indonesia di ambang bahaya.
Peneliti epidemiologi klinis FKUI-RSCM, dokter Tifauzia Tyassuma, memperkirakan faskes Indonesia tak akan bisa menahan gempuran corona. Terlebih, apabila pemerintah tidak melakukan perubahan drastis dalam kebijakannya, dan lebih menekankan pada upaya-upaya kuratif (penyembuhan) ketimbang antisipatif.
“Membangun rumah sakit darurat, membeli APD (alat pelindung diri), membeli obat yang belum ketahuan efektivitasnya, itu upaya kuratif. Sementara peningkatan kesadaran masyarakat atas COVID-19 sangat terbatas. Kalau begitu terus, faskes bisa ambruk pada kasus ke-1.000. Saya perkirakan paling lambat 10 hari dari sekarang,” kata Tifauzia kepada kumparan.
Itu, imbuhnya, bila tak ada gerakan radikal dalam menahan laju infeksi corona di Indonesia.
Sampai 24 Maret 2020, jumlah kasus positif corona di Indonesia ialah 686 orang, dengan angka kematian 55 orang, dan yang sembuh 30 orang. Ini membuat tingkat kematian pasien corona di Indonesia berada di kisaran 8 persen, jauh di atas rata-rata global di angka 3,4 persen.
Masalahnya, saat ini bahkan belum lagi puncak wabah di Indonesia. Berdasarkan simulasi sejumlah peneliti ITB lewat permodelan Richards growth curve, kasus corona di Indonesia diprediksi mencapai puncaknya pada pertengahan April, bergeser dari perhitungan awal di akhir Maret. Epidemi itu diperkirakan baru akan berakhir awal Juni, sesudah Idul Fitri.
Di awal Juni itu, estimasi penderita corona di Indonesia bisa mencapai 60.000 orang—sama seperti jumlah kasus di Italia saat ini.
Sementara di akhir Maret ini, jumlah kasus diproyeksikan menyentuh angka 2.000.
Itu belum lagi bicara soal tingkat kematian di Indonesia yang tren matematisnya mengikuti Italia. Bila tren tersebut tak berubah, maka bahaya lebih besar di depan mata.
Dari sisi tenaga medis saja, Indonesia kalah jauh dari Italia. Pada 2017, misalnya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat Indonesia hanya memiliki empat dokter per 10.000 orang penduduk (3.777 dokter), sedangkan Italia punya dokter hampir 11 kali lipat dari Indonesia (40.931 dokter).
“Jika manajemen krisis baik dan didukung masyarakat, maka (estimasi) 800-900 orang terinfeksi, recovery dalam 20 hari. Jika tidak, kira-kira 8.000-10.000 orang akan terinfeksi, recovery dalam 60 hari,” kata Johny Setiawan, ilmuwan Indonesia di Jerman, terkait grafik analisis yang dirancang timnya di Unimatrix Science & Management lewat permodelan SWeibull2 growth curve.
Grafik itu ia unggah di Facebook. Menurut Johny, tanggal 20-25 Maret menjadi periode kritis yang akan menentukan apakah pertumbuhan kasus corona di Indonesia dapat diperlambat atau tidak.
“Harus dilakukan tindakan cerdas dan tepat untuk memilih yang sesuai dengan keinginan dan kepentingan. Lembaga yang berwewenang harus kompak dan transparan menangani wabah ini,” ujarnya kepada kumparan.
Tifauzia mengibaratkan Indonesia serupa baskom raksasa. “Di dalamnya, daerah-daerah itu seperti baskom-baskom berisi orang dan virus jadi satu. Dan orang masih ke sana kemari. Ya sudahlah, kita semua ini seperti suspect ODP.”
ODP—orang dalam pemantauan—ialah seseorang yang tak menunjukkan gejala sakit, namun pernah melakukan kontak dengan orang yang diduga positif corona. Dan dengan sebaran COVID-19 yang meluas, terutama di Jakarta dan sekitarnya sebagai episentrum corona di Indonesia, masing-masing orang jadi tak tahu pasti apakah ia sempat bersinggungan dengan individu yang menjadi carrier corona atau tidak.
Maka, persoalannya bukan hanya terkait orang-orang yang sudah terjangkit corona, tapi juga mereka yang sehat namun berpotensi terjangkit.
“Itu jumlahnya banyak sekali. Harus diperhatikan,” kata Tifauzia.
Apabila orang-orang yang sehat itu kemudian ikut terjangkit dan jumlah kasus corona terus melonjak, persoalan besar sudah menanti: fasilitas dan tenaga kesehatan yang terbatas serta dalam kondisi kewalahan.
Saat ini saja, banyak dokter dan perawat yang diduga terpapar corona sehingga berstatus ODP dan PDP (pasien dalam pengawasan). Alhasil, pasien-pasien non-corona pun terancam ikut terabaikan.
“Dokter, perawat, dan fasilitas kesehatan akan tumbang bila angka kematian melonjak dalam jumlah besar. Saya hitung-hitung itu bisa 10 hari dari sekarang,” kata Tifauzia.
Keesokannya, Selasa (24/3), Menteri BUMN Erick Thohir mengaku risau dengan jumlah pasien yang terus bertambah di Wisma Atlet. Di sana, sebanyak 2.000 kamar disiapkan di dua tower untuk merawat para pasien corona.
Rabu (25/3), ketika dua anggota Ombudsman yang positif corona berniat masuk ruang isolasi di Wisma Atlet, ternyata kapasitas sudah penuh.
Ruang IGD RS Darurat Penanganan COVID-19 Wisma Atlet, Kemayoran, sesaat sebelum dibuka untuk publik, Senin (23/3). Foto: ANTARA/Hafidz Mubarak A
Kondisi bakal semakin parah karena sebagian orang belum bisa menerapkan social distancing—atau disebut juga physical distancing oleh Presiden Jokowi.
Meski Jokowi dan para kepala daerah telah meminta warga untuk tinggal dan bekerja di rumah, tak semua perusahaan menerapkan kebijakan itu untuk para pegawainya karena ragam alasan. Belum lagi para pekerja kecil yang terpaksa harus keluar rumah setiap harinya untuk mengisi perut. Alhasil, potensi coronavirus menjangkiti lebih banyak orang terbuka lebar.
Itu masih ditambah dengan para pekerja ibu kota yang memanfaatkan masa bekerja dari rumah dengan pulang kampung, dan bukannya berdiam di tempat tinggal masing-masing. Akibatnya, misal, ODP corona di Sumedang, Jawa Barat, naik menjadi 1.807 orang.
“Pulang kampung itu bahaya sekali. Itu harusnya ditahan. Isi baskom Jakarta jadi meluber keluar ke mana-mana kalau tidak ditahan,” kata Tifauzia.
Andai sejak awal pemerintah menerapkan lockdown wilayah selama satu bulan, ujarnya, gempuran SARS-CoV-2—virus penyebab COVID-19—masih bisa diredam.
Lockdown wilayah harus dilakukan serentak demi memutus rantai virus. Tapi itu mestinya di awal (virus menjalar). Sekarang sudah tiga minggu, virus sudah memenuhi baskom-baskom itu (wilayah-wilayah di Indonesia),” ucap Tifauzia.
Tim medis mengevakuasi pasien dalam simulasi penanganan wabah corona di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Foto: ANTARA/Aji Styawan
***
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk membantu pencegahan penyebaran coronavirus COVID-19. Yuk, bantu donasi sekarang!
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten