Eks Kepala BPPN soal Vonis 13 Tahun di Kasus BLBI: Kami akan Lawan

24 September 2018 18:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Syafruddin Arsyad Temenggung kembali mengikuti sidang di Pengadilan Tipikor. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Syafruddin Arsyad Temenggung kembali mengikuti sidang di Pengadilan Tipikor. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung tidak terima atas vonis 13 tahun penjara oleh majelis hakim tindak pidana korupsi Jakarta. Ia langsung menyatakan banding usai hakim membacakan vonis.
ADVERTISEMENT
"Yang Mulia, satu hari pun saya dihukum, kami akan melawan. Yang Mulia, kami menolak, dan saya meminta kepada tim penasihat hukum setelah selesai ini, untuk segera mendaftarkan, untuk kami melakukan banding," kata Syafruddin saat menanggapi putusan hakim dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (24/9).
Menurut Syafruddin, banding dilakukan karena ia merasa tidak mendapatkan keadilan dalam putusan tersebut. Ia merasa tidak bersalah karena berkukuh tidak melakukan tindak pidana korupsi dalam penerbitan SKL BLBI kepada kepada pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim.
"Ini memyangkut keadilan, pada diri saya sendiri, dan kami sudah sering berkonsultasi dengan penasihat hukum kami, dalam hal ini (untuk banding)," ujarnya.
Majelis hakim telah menyatakan Syafruddin terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam penerbitan SKL BLBI kepada Sjamsul Nursalim. Padahal, Sjamsul belum memenuhi syarat untuk mendapat SKL. Sjamsul dianggap belum menyelesaikan kewajibannya terkait piutang kepada petani tambak.
ADVERTISEMENT
"Mengadili, menyatakan terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung telah terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan korupsi secara bersama-sama," kata ketua majelis hakim Yanto membacakan vonis.
Syafruddin dinilai terbukti menghapus piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira. Kedua perusahaan tersebut merupakan perusahaan Sjamsul Nursalim.
Menurut hakim penghapusbukuan awalnya diusulkan pada Ratas Februari 2004. Saat itu Syafruddin melaporkan ke Presiden Megawati Soekarnoputri, utang petambak 3,9 triliun dan yang bisa dibayar Rp 1,1 triliun, sedangkan Rp 2,8 triliun diusulkan dihapusbukukan. Namun Syafruddin tidak melaporkan aset berupa hutang petambak yang diserahkan Sjamsul terdapat misrepresentasi saat diserahkan ke BPPN
Sehari setelah Ratas, Syafruddin disebut tetap menandatangani ringkasan eksekutif yang diusulkannya dalam ratas. Ringkasan usulan itu disampaikan kepada Ketua KKSK, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti.
ADVERTISEMENT
"Terdakwa mengetahui bahwa belum ada persetujuan presiden terkait write off atau penghapusbukuan terkait utang petambak Dipasena, tapi terdakwa tetap mencantumkan bahwa usulan penghapusan atas porsi unsuistainable tambak plasma sebesar Rp 2,8 triliun," kata hakim.
Akibat penandatanganan itu, pada 13 Februari 2004, Dorodjatun menyetujui nilai utang masing-masing petambak plasma ditetapkan setingginya Rp 100 juta.
"Tindakan Syafrudin selaku Ketua BPPB yang terbitkan SKL sehingga hak tagih negara menajdi hilang," kata hakim.
Perbuatan Syafruddin tersebut dinilai membuat Sjamsul Nursalin mendapat keuntungan sebesar Rp 4,58 triliun. Hal tersebut pula yang kemudian dihitung sebagai besaran kerugian negara.
Atas perbuatannya, Syafruddin dinilai memenuhi unsur dalam Pasal 2 ayat 1 nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
ADVERTISEMENT