Efikasi Vaksin Sinovac di RI 65,3% dan Imunogenisitas 99%, Apa Bedanya?

12 Januari 2021 10:14 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas mengecek kontainer berisi vaksin COVID-19 Sinovac saat tiba di Bio Farma, Bandung, Jawa Barat. Foto: Muchlis Jr/Biro Pers Sekretariat Presiden
zoom-in-whitePerbesar
Petugas mengecek kontainer berisi vaksin COVID-19 Sinovac saat tiba di Bio Farma, Bandung, Jawa Barat. Foto: Muchlis Jr/Biro Pers Sekretariat Presiden
ADVERTISEMENT
BPOM telah mengeluarkan emergency use authorization (EUA) atau izin darurat kepada vaksin CoronaVac dari Sinovac. Izin darurat terbit setelah data interim uji klinis III di Bandung sudah keluar.
ADVERTISEMENT
Kepala BPOM, Penny Lukito, pun telah mengumumkan data-data terkait uji klinis III yang sampai akhir prosesnya melibatkan 1.603 relawan. Dari mulai data efikasi (kemanjuran) hingga imunogenisitas.
Kedua data ini menjadi penting untuk mengetahui apakah vaksin bisa digunakan masyarakat di masa pandemi. Kuncinya, manfaat harus lebih tinggi nilainya dibanding efek buruk.
Tentang Efikasi dan Imunogenisitas
Penny membeberkan dua data ini memiliki angka yang berbeda. Efikasi vaksin Sinovac 65,3 persen dan imunogenisitas setelah 3 bulan sampai 99,23 persen.
Lantas apa bedanya?
Efikasi (khasiat/kemanjuran) adalah kondisi setelah subjek mendapatkan penyuntikan kedua kali kemudian berkegiatan di tengah masyarakat apakah terpapar corona atau tidak.
Hal ini tentunya menjadi penting untuk mengetahui efektivitas vaksin. Namun yang menjadi catatan efikasi adalah nilai yang didapat setelah uji klinis.
ADVERTISEMENT
"Untuk efficacy rate, dari uji klinik di Bandung dengan subjek 1.600-an relawan, dengan interim analisis sesuai statistik, kita menargetkan 25 kasus terinfeksi," kata jubir vaksinasi corona dari BPOM Dr Rizka Andalusia dalam jumpa pers virtual, Senin (11/1).
"Jadi angka 65,3% itu dari 25 kasus terinfeksi," tegas Rizka.
Jubir vaksinasi perwakilan BPOM, dr. Rizka Lucia Andalusia. Foto: Satgas COVID-19
Namun yang menjadi catatan efikasi adalah nilai yang didapat setelah uji klinis. Sebab, selama uji klinis relawan ada yang disuntik vaksin, tetapi ada juga yang diberi cairan plasebo (obat kosong).
Sejak suntikan kedua, kondisi para relawan tersebut dipantau secara berkala. Apakah terpapar corona atau tidak.
Oleh karena itu, relawan pun tetap diwajibkan menaati protokol kesehatan. Sebab, mereka tidak diberitahu apakah diberi plasebo atau vaksin.
ADVERTISEMENT
"Tadi dijelaskan juga ini interim analysis, sehingga kita akan melanjutkan uji klinik ini dan memantau sampai 6 bulan, benar," ungkap Rizka.
Jika dihitung dari penyuntikan relawan bulan Agustus 2020, pemantauan selama 6 bulan akan berakhir Februari 2021.
Lalu, bagaimana jika dalam perjalanannya ada di antara penerima vaksin yang terinfeksi corona? Apakah angka efficacy rate berubah?
"Manakala kita dapat kasus-kasus terinfeksi lagi kita akan hitung dan calculate lagi efficacy rate-nya. Tentunya penelitian oleh pengembang vaksin juga harus melakukan hal yang sama terkait efficacy tersebut," jawab Rizka.
Prof. Dr. Sri Rezeki Hadinegoro Indonesia in Technical Advisory Group in Immunization (ITAGI) dan Prof. Kusnadi Rusmil dalam dialog produktif bertema Berjuang Tanpa Lelah Menyiapkan Vaksin. Foto: Dok. Istimewa
Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) menjelaskan bahwa efficacy rate vaksin Sinovac sudah termasuk tinggi. Apalagi WHO pernah menyebut efficacy rate di atas 50 persen sudah bisa menurunkan angka kejadian corona.
ADVERTISEMENT
"Memang betul efficacy mempengaruhi sebagai salah satu faktor, tapi perhitungan itu bukan dari efficacy. Memang WHO mengatakan itu (efficacy) di atas 50 persen sebetulnya sudah bisa mencakup menurunkan angka kejadian. 50 persen itu sangat tinggi," kata Ketua ITAGI Prof. Sri Rezeki pada kesempatan yang sama.
Mengapa Efikasi di RI Berbeda dengan Turki dan Brasil?
Mungkin juga ada yang bertanya, mengapa efikasi Sinovac berdasarkan uji klinis III di Bandung dengan Turki dan Brasil cukup berbeda. Di Brasil angka efikasinya 78 persen, sementara di Turki 91,25 persen.
Terkait hal ini, Ketua Komnas Penilai Obat BPOM Jarir At-Thobari punya penjelasan tersendiri.
Ilustrasi vaksin corona dari Sinovac. Foto: Tingshu Wang/REUTERS
Ia mengatakan, ada 4 faktor utama yang mempengaruhi perbedaan data efikasi Sinovac di Brasil dan Turki dengan Indonesia. Berikut faktor-faktornya:
ADVERTISEMENT
Jarir menjelaskan, faktor keempat ini menjadi kunci. Sebab, ada perbedaan yang mencolok.
"Di Turki hampir 20 persen relawan risiko tinggi, dan 80 persen nakes. Ini membuat efikasi lebih tinggi. Di Brasil semua justru tenaga kesehatan semuanya," ungkapnya.
Sementara di Bandung dari 1.600 relawan mayoritas merupakan populasi umum. Justru menurutnya ini menjadi nilai lebih.
"Di Bandung populasi umum, ini baik untuk Indonesia, populasi umum perlindungannya segitu. Kita tidak punya high risk relawan seperti nakes. Tapi untuk nakes kita bisa ambil dari Brasil dan Turki," tutup Jarir.
ADVERTISEMENT

Tentang Imunogenisitas

Sekarang, mari kita bicara imunogenisitas, yaitu kemampuan vaksin menimbulkan kekebalan terhadap suatu penyakit.
Kepala BPOM Penny Lukito mengumumkan izin darurat vaksin corona Sinovac, Senin (11/1). Foto: BPOM
Penny Lukito memastikan hasil uji klinis Bio Farma di Bandung memperlihatkan kemampuan menghasilkan antibodi (kekebalan) atau imunogenisitas dari vaksin Sinovac mencapai lebih dari 99 persen.
"Pada uji klinis fase 3 di Bandung, data imunogenisitas menunjukkan hasil yang baik, pada 14 hari setelah penyuntikan dengan hasil seropositif atau kemampuan vaksin membentuk antibodi sebesar 99,74 persen dan pada 3 bulan setelah penyuntikan hasil seropositif sebesar 99,23 persen," ujar Penny.
Imunogenisitas yaitu kadar antibodi yang meningkat kemudian bisa menetralisir dan membunuh virus yang masuk ke tubuh manusia.
Hal ini, kata Penny, terlihat pada kekebalan tubuh para relawan vaksin Sinovac di Bandung selama tiga bulan.
ADVERTISEMENT
"Hal tersebut menunjukkan bahwa jumlah subjek yang memiliki antibodi selama 3 bulan masih tinggi, yaitu 99,23 persen," jelas Penny.
Jadi, kalau efikasi langsung berpengaruh ke angka kejadian penularan, imunogenisitas bersifat individu. Faktor imunogenisitas bisa melindungi dari paparan corona tetap dipengaruhi oleh seberapa banyak antibodi yang dihasilkan, apakah seseorang patuh 3M, dan asupan makanan serta vitamin yang masuk ke tubuh.
Nah, setelah kedua data ini ada dan izin darurat terbit vaksinasi bisa dimulai. BPOM akan terus memantau efektivitas, efek samping secara berkala. Dari 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan hingga 1 tahun.