Dilema Karst: Konservasi vs Pertambangan

8 Mei 2017 7:21 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pegunungan Karst (Foto: Pixabay)
Dilema pengelolaan karst akan selalu berujung pada pilihan: konservasi atau eksploitasi.
ADVERTISEMENT
Batu gamping atau batu kapur yang merupakan komponen utama penyusun karst, sebagai komoditas akan terus dicari oleh industri semen. Ini karena batu gamping ialah bahan baku utama dalam pembuatan semen.
Saat ini, kebutuhan akan semen terus meningkat di tengah percepatan pembangunan infrastruktur di Indonesia. Alhasil, industri semen perlu terus berkembang, dan kawasan karst jadi sasaran pertambangan modern ataupun konvensional.
Mata air di Pegunungan Karst (Foto: Dok. Istimewa)
Namun sementara karst ditambang masif untuk bahan utama campuran semen, kawasan karst juga memiliki fungsi penting untuk menopang kehidupan manusia serta kelestarian alam, yakni sebagai pengatur tata air.
Struktur batuan karst yang permeabel (berpori sehingga dapat ditembus partikel) memiliki kemampuan yang baik dalam menyerap dan menyimpan air dalam jumlah sangat besar.
ADVERTISEMENT
Kawasan karst juga menjadi habitat keanekaragaman hayati yang amat spesifik dan terbatas jumlahnya. Beberapa spesies flora dan fauna di kawasan karst tergolong endemik (hanya ada di wilayah geografis tertentu), bernilai ekonomi tinggi, serta memegang peran penting dalam menjaga keseimbangan ekologi.
Maka bila terjadi gangguan terhadap habitat spesies-spesies organisme tersebut, akan berdampak negatif terhadap eksistensi keanekaragaman hayati mereka.
Fosil di Gua Pawon, Karst Citatah (Foto: Dok. Istimewa)
Pada beberapa kawasan karst pun ditemukan peninggalan-peninggalan dari masa prasejarah. Di dalam gua misalnya, terdapat fosil-fosil atau gambar-gambar simbolik pada dinding gua
Temuan-temuan itu lantas dijadikan sarana pendidikan arkeologi untuk mempelajari kehidupan binatang dan kebudayaan manusia purba.
Pegunungan Karst (Foto: Dok. Istimewa)
Kawasan karst di Indonesia mencakup hampir 20 persen dari total wilayah Indonesia, yaitu seluas 15,4 juta hektare yang terbagi ke dalam 31 wilayah dari Aceh hingga Papua.
ADVERTISEMENT
Menurut Pakar Geologi ITB, Budi Brahmantyo, banyak hal yang mesti diperhatikan sebelum menambang karst, seperti diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2012 tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst.
Jika suatu kawasan karst masuk dalam kriteria Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK), maka wilayah tersebut dilarang untuk ditambang.
“Ada beberaa aspek dalam menentukan sebuah kawasan apakah termasuk KBAK atau bukan: yang pertama, memiliki nilai pengetahuan; yang kedua, daerah imbuhan air; yang ketiga, terdapat akuifer (lapisan kulit berpori yang dapat menahan air) atau lapisan bawah tanah yang mengandung air; yang keempat, memiliki mata air permanen dan atau memiliki sungai bawah tanah,” jelas Budi kepada kumparan (kumparan.com), Minggu (7/5).
ADVERTISEMENT
Untuk menetapkan apakah suatu wilayah karst masuk ke dalam KBAK, butuh penelitian yang memakan waktu cukup panjang. Dan hasil penelitian dari tiap tim bahkan mungkin berbeda.
“Jadi misalnya ada peneliti yang mengatakan bahwa kawasan cekungan air tanah itu merupakan KBAK karena memenuhi aspek-aspek tadi, ada juga yang mengatakan tidak masuk KBAK karena ada salah satu aspek yang tidak terpenuhi, yaitu keberadaan sungai bawah tanah. Biasanya (perbedaan hasil kajian) yang seperti ini yang menimbulkan perdebata,” ujar Budi.
Jika sebuah perusahaan telah mengantongi izin lingkungan, baik secara Permen ESDM Nomor 17 Tahun 2012 maupun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), maka mestinya tak masalah ia melakukan penambangan di kawasan karst.
ADVERTISEMENT
Ironisnya, masih banyak perusahaan yang menambang kapur secara ilegal atau tanpa izin.
Kawasan Karst Pangkalan Karawang (Foto: pepelingkarawang.org)
Penambangan ilegal pernah terjadi di Kawasan Karst Pangkalan di Karawang, Jawa Barat. Kerusakan kawasan karst di sana membuat pemerintah daerah setempat melakukan investigasi terhadap ratusan perusahaan tambang yang mengeksploitasi wilayah itu.
Dari hasil penyelidikan, ditemukan fakta bahwa ratusan perusahaan itu tak memiliki izin pertambangan dan sebagian lainnya memiliki izin pertambangan yang kedaluwarsa.
Tahun 2014, Pemerintah Provinsi Jawa Barat akhirnya secara tegas menghentikan ratusan perusahaan yang menambang karst secara ilegal di Kawasan Karst Pangkalan, Karawang.
Dampak negatif kerusakan kawasan karst biasanya berupa rusaknya mata air di sekitar daerah tambang karst, hingga pencemaran udara akibat pembakaran batu kapur di pabrik semen tak berizin itu.
Ilustrasi Semen (Foto: Thinkstock)
Satu hal penting lagi yang perlu diingat adalah status karst sebagai sumber daya alam yang tak dapat diperbarui. Hingga saat ini, belum ada sumber daya alam lain yang dapat menggantikan material yang terkandung dalam bebatuan kapur itu.
ADVERTISEMENT
Dalam batu kapur, terdapat kalsium karbonat yang bersifat hidrolis, atau dengan kata lain, jika dicampur dengan air maka akan memiliki sifat mengikat.
“Kalsium karbonat hanya dipenuhi oleh batu gamping, dan itu bersifat hidrolis --artinya, jika dicampur dengan air akan mengeras. Selama ini belum ada bahan lain yang mampu menggantikan,” kata Budi.
Ini menegaskan bahwa pegunungan karst bukanlah sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Jika telah ditambang, maka kawasan karst akan berkurang.
Saat ini 9,5 persen atau sekitar 1,5 juta hektare kawasan karst di Indonesia dalam kondisi memprihatinkan. Bila pemerintah tak bijak dalam memberi izin eksploitasi, bukan tak mungkin pegunungan karst yang terbentuk sejak ratusan ribu hingga ratusan juta tahun lalu ini lambat laun akan habis --dan merusak keseimbangan ekosistem.
ADVERTISEMENT
[Selanjutnya: ]
Pegunungan Karst (Foto: Dok. Istimewa)