Balik Kanan Bharada E

Balik Kanan Bharada Eliezer (1)

15 Agustus 2022 12:01 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
14
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sambil memejamkan mata, Bharada Richard Eliezer menarik pelatuk dan melepas tembakan ke arah Brigadir Yosua begitu teriakan Irjen Ferdy Sambo memasuki gendang telinganya—“Tembak, woi. Tembak! Tembak!!”
Ketika itu, di rumah dinas Sambo di Kompleks Polri, Richard berdiri di hadapan Yosua Hutabarat, rekannya sesama ajudan Kadiv Propam Polri. Di dekatnya, berdiri pula Sambo, Bripka Ricky Rizal, dan Kuat Ma’ruf—asisten rumah tangga di rumah itu. Sementara Yosua berlutut di lantai dengan kedua tangan di belakang kepala.
Perintah untuk menembak diterima Richard sekitar satu jam sebelumnya di rumah pribadi Sambo di Jalan Saguling, Duren Tiga, yang tak jauh dari Kompleks Polri. Jumat sore itu, 8 Juli 2022, Richard, Yosua, dan Ricky baru tiba dari Magelang dalam rangka mengawal istri Sambo, Putri Candrawathi.
“[Perintah didapat Richard] di Saguling. Dia tidak punya pilihan lain [selain menuruti Sambo]. Bharada RE ini kan pasukan Brimob. Perintah atasan ya wajib dia patuhi. Jadi dia menerima perintah, dan dia laksanakan. Tapi dia tidak tahu jadi bagian dari rencana pembunuhan,” kata Ronny Talapessy, pengacara yang mendampingi Richard sejak 10 Agustus.
Sumber kumparan di Kepolisian membenarkan Richard memejamkan mata saat menembak Yosua. “Dia enggak mau melihat dan membayangkan teman sehari-harinya ia bunuh.”
Prarekonstruksi perkara di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan, Sabtu (23/7). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Sebelum ditembak, Yosua yang berada di halaman rumah dipanggil masuk ke dalam oleh Sambo. Begitu masuk menghadap Sambo, ia didudukkan dan dipegangi. Tak lama kemudian, ia ditembak.
“Semua saksi menyatakan [awalnya] Brigadir Yosua tidak berada di dalam rumah, tapi di taman—pekarangan depan rumah,” kata Kabareskrim Komjen Agus Andrianto, Jumat (12/8).
Dengan demikian, sore itu Yosua tidak berada di kamar Putri, dan cerita bahwa Putri dilecehkan di rumah dinas tersebut sehingga berteriak minta tolong ke Richard dan Ricky adalah rekaan Sambo semata, seperti juga karangan soal baku tembak antara Yosua dan Richard.
Itulah sebabnya Bareskrim Polri menghentikan laporan kasus dugaan pelecehan seksual dan dugaan pengancaman terhadap Putri Candrawathi oleh Yosua. Laporan ini semula dilayangkan oleh Putri pada Sabtu, 9 Juli, sehari sesudah Yosua tewas. Kini, laporan tersebut dianggap Bareskrim sebagai upaya menghalangi proses penegakan hukum (obstruction of justice).
LPSK saat mendatangi kediaman Irjen Ferdy Sambo, Selasa (9/8). Foto: Sigid Kurniawan/Antara
Putri pun dianggap tak kooperatif oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sehingga LPSK tak mengabulkan permohonan perlindungan yang ia ajukan.
Sebaliknya, permohonan perlindungan Richard dikabulkan LPSK setelah asesmen terhadapnya pada 12 Agustus. Ia kini mendapat perlindungan darurat dan berada di bawah penjagaan penuh LPSK selama 24 jam di lokasi penahanannya di Bareskrim Polri.
Richard dua kali meminta perlindungan LPSK. Pertama pada 14 Juli, sebelum ia menjadi tersangka. Kedua pada 8 Agustus, sesudah ia menjadi tersangka. Permohonan kedua dilayangkan Richard sebagai saksi pelaku (justice collaborator) dan dikabulkan LPSK.
Bharada E di Komnas HAM, Jakarta, Senin (26/7). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan

Hancurnya Harapan Richard

Richard adalah ajudan termuda Sambo. Lelaki kelahiran Manado, Sulawesi Utara, 1998 ini lulus pendidikan Brimob di Watukosek, Pasuruan, Jawa Timur, pada 2019. Ia baru tujuh bulan menjadi ajudan Sambo—lebih junior dari Yosua yang sudah dua tahun melekat pada Sambo.
Semula, Richard ditugaskan selama enam bulan pada Sambo. Masa tugasnya kemudian diperpanjang sampai delapan bulan. Namun, menjelang akhir penugasannya itu, ia justru terseret kasus yang mengancam menghancurkan masa muda sekaligus masa depannya.
Padahal, akhir tahun 2022 ini dia berencana pulang kampung ke Manado. Ia menyimpan harapan ingin membahagiakan keluarganya.
“Saya enggak sangka ada kejadian ini. Sedih, sedih. Ini di luar rencana,” kata Ronny menirukan ucapan Richard.
Richard Eliezer di Komnas HAM, Jakarta. Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA
Kepada kumparan, Minggu (14/8), Ronny menyatakan bahwa ia langsung mendampingi Richard begitu ditunjuk Richard dan keluarganya sebagai pengacara pada 10 Agustus.
“Saya mendampingi dari hari Rabu (10 Agustus), lalu Kamis, Jumat, Sabtu. Saya juga bertemu orang tuanya,” ujar Ronny.
Menurut Ronny, ia dihubungi keluarga Richard karena berasal dari komunitas yang sama. “Kami sama-sama dari Manado. Mami saya orang Manado… Jadi mereka minta saya mendampingi. Track record profesional saya juga pernah menangani beberapa kasus yang lumayan besar.”
Ronny yang merupakan Wakil Ketua DPD PDIP Jakarta Bidang Hukum mengatakan, ia mendampingi Richard secara pro bono alias cuma-cuma, tanpa meminta bayaran. Ronny adalah pengacara ketiga Richard setelah Andreas Nahot Silitonga dkk. dan Deolipa Yumara dkk.
Andreas Nahot di Bareskrim Polri, Jakarta, Sabtu (6/8). Foto: Jonathan Devin/kumparan
Andreas Nahot Silitonga merupakan pengacara yang disiapkan Sambo untuk Richard. Ia mengundurkan diri pada 6 Agustus. Pada hari yang sama, Richard mengubah kesaksiannya dalam kasus kematian Yosua. Ia menyebut diperintah Sambo untuk menembak Yosua, bukan terlibat baku tembak dengan Yosua.
Baku tembak itu, belakangan, disebut Kapolri sebagai cerita rekaan Sambo. Cerita itu pula yang awalnya diucapkan Richard kepada Andreas selaku pengacara pertamanya.
Sabtu siang (6/8) usai Andreas mengundurkan diri, telepon Deolipa Yumara berdering. Ia mengangkatnya. Di ujung telepon, penyidik Bareskrim Polri meminta bantuannya menjadi pengacara Richard menggantikan Andreas.
“Telepon itu dari tim penyidik atas permintaan pimpinan, Direktur Pidum (Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Andi Rian Djajadi),” kata Deolipa Yumara kepada kumparan, 9 Agustus—sehari sebelum kuasa hukumnya dicabut Richard dan keluarganya.
Deolipa langsung mengiyakan permintaan penyidik dan berangkat menuju Bareskrim untuk bertemu Richard sore harinya, pukul 16.00 WIB. Ia tak langsung bicara kasus dengan Richard, melainkan mengajak kliennya itu menyanyikan lagu-lagu rohani.
Deolipa Yumara di Gedung Bareskrim Polri, Senin (8/8). Foto: Zamachsyari/Kumparan
Deolipa memutar dua lagu rohani, “Indah pada Waktunya” dan “Hidup Ini adalah Kesempatan”. Richard yang ikut menyanyi lalu menangis tersedu-sedu.
“Buat tenang dulu batinnya supaya nyaman, supaya bisa ceritakan apa adanya, supaya setan di kepalanya keluar,” kata Deolipa.
Dua jam kemudian, pukul 18.00 WIB, Richard mengungkap peristiwa yang sebenarnya di hadapan penyidik dan pengacaranya. Ia bercerita tidak secara lisan, melainkan tulisan.
“Tidak usah ditanya, Pak. Saya tulis sendiri [kejadiannya],” kata Richard seperti ditirukan Irwasum Komjen Agung Budi Maryoto yang juga ketua tim khusus pengusutan kasus kematian Yosua.
Richard pun menuliskan tragedi berdarah di Duren Tiga itu di dalam empat lembar kertas A4. Di tengah penulisan, ia sempat bertanya tentang risiko hukum yang bakal ia terima jika menulis cerita rekaan.
Deolipa menduga pikiran Richard saat itu masih bertempur mengenyahkan bayang Sambo. Ia menimbang mana yang terbaik: memegang atau melepas cerita Sambo.
“Mungkin masih ada kontaminasi dari skenario masa lalu, sebab semua sudah dirancang [Sambo],” tutur Deolipa.
Akhirnya Richard memilih untuk balik kanan. Ia meninggalkan Sambo.
Ilustrasi: kumparan

Mengulang Kalimat yang Sama

Sebelum mengubah kesaksian, Richard sudah dicurigai Komnas HAM. Menurut sumber kumparan yang mengetahui pemeriksaan Richard pada 26 Juli di lembaga tersebut, Richard mengulang-ulang kalimat yang sama.
Jawaban settingan Richard amat kentara ketika ia diminta menceritakan kronologi baku tembak. Caranya menyusun kata demi kata dalam kalimat begitu ajek dari waktu ke waktu.
Umumnya, seseorang yang mengalami langsung suatu peristiwa akan memiliki deskripsi di kepalanya. Maka, ia secara alamiah bakal menceritakannya dengan kalimat berbeda pada waktu yang berbeda meski substansinya sama.
“Tapi [Richard] ini enggak. Dia seperti mengulang kalimat awalnya. Jadi ini hafalan. Dia sudah dikondisikan sehingga menjawab sama berulang-ulang,” ucap sumber tersebut.
Ia menyimpulkan, keterangan Richard dan para ajudan Sambo lainnya sudah disiapkan matang-matang sebelum mereka dicecar pertanyaan di Komnas HAM.
Richard Eliezer di Komnas HAM, Jakarta, Selasa (26/7). Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA
Richard diperiksa langsung oleh Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik dan Komisioner Komnas HAM Choirul Anam. Menurut sumber, sebagai pertanyaan pembuka, Richard ditanya apakah ia tahu ia telah menjadi sorotan se-Indonesia.
Richard mengangguk. Namun, ketika ditanya mengenai perasaannya menjadi perbincangan nasional, jawaban Richard tak jelas dan ia seperti cengengesan. Richard tak tahu bahwa kasusnya bahkan menjadi perhatian Presiden Jokowi.
Sumber itu menyiratkan bahwa Richard tampak terlalu tenang. Padahal, tak mungkin seorang polisi muda berusia 24 tahun yang belum banyak makan asam garam, bisa menceritakan adegan pembunuhan yang ia lalukan dengan tenang. Terlebih, sosok yang dibunuh merupakan rekan sekaligus seniornya di Kepolisian.
“Kalau pembunuh berdarah dingin, bisa saja begitu. Tapi ini tidak. Jelas ada unsur conditioning,” ujarnya.
Bripka Ricky, istri Sambo, dan Brigadir Yosua. Foto: Dok. Istimewa
Bukan hanya Richard yang sudah “disiapkan”. Bripka Ricky Rizal juga terkesan grogi ketika diperiksa Komnas HAM. Benar saja, belakangan ia ikut menjadi tersangka bersama Richard, Sambo, dan Kuat.

Bersekongkol sebelum Pemeriksaan

Kecurigaan Komnas HAM tak cuma muncul saat memeriksa para ajudan Sambo, tapi juga ketika mengamati pemeriksaan siber dengan teknik cell dump. Teknik ini bisa melacak posisi tiap ajudan dan ke mana saja mereka pergi melalui nomor ponselnya.
Dari pemeriksaaan cell dump tersebut, terlihat para ajudan Sambo kerap menuju lokasi-lokasi tertentu. Mereka diduga berkoordinasi di titik-titik itu.
“Kelihatan orang ini intensif ke sini, [yang itu juga] intensif ke sini,” ucap sumber.
Meski demikian, pemeriksan cell dump belum bisa mengungkap apa saja yang dibicarakan ajudan-ajudan itu sebelum dan sesudah Yosua tewas. Itu sebabnya Komnas HAM berupaya memeriksa alat komunikasi mereka, terutama percakapan di grup WhatsApp para ajudan.
“Mereka (ajudan Sambo) punya grup WA dan kami ingin tahu apa saja yang mereka bicarakan selama ini, terutama pada hari-hari menjelang kejadian,” kata Taufan.
Para ajudan Ferdy Sambo di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Selasa (26/7). Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA

Janji 1 Miliar untuk Richard

Pekan pertama setelah Yosua tewas, menurut informasi yang dihimpun kumparan, keluarga Richard dibawa dari Manado ke Jakarta. Mereka seperti menjadi rebutan. Salah satu yang berkepentingan atas mereka adalah Sambo yang tak ingin rahasianya terbongkar.
“Tujuannya [ke Jakarta] adalah untuk sana (bertemu Sambo), tapi diambil lagi sama grup ‘negara’,” kata Deolipa.
Sambo bahkan menjanjikan segepok duit untuk Richard agar mau memberikan keterangan sesuai cerita karangannya: bahwa Yosua tewas dalam baku tembak dengan Richard.
Jumlah uang yang dijanjikan untuk Richard mencapai Rp 1 miliar, sedangkan untuk Bripka Ricky dan Kuat masing-masing Rp 500 juta.
“Iya, [soal janji uang 1 miliar] ada di BAP (Berita Acara Pemeriksaan),” ujar Boerhanuddin, pengacara yang satu tim dengan Deolipa—dan kini juga dicabut kuasanya untuk mewakili Richard.
Menurut Boerhanuddin, uang tutup mulut itu dijanjikan diberikan sehari setelah Yosua tewas. Namun, Richard tak menerima uang sepeser pun hingga kini.
“Janji palsu. Itu belum direalisasikan,” kata Deolipa.
Ronny, pengacara terbaru Richard, mengkritik ucapan Deolipa dan Boerhanuddin terkait uang Rp 1 miliar tersebut. Pernyataan itu, menurutnya, merugikan Richard karena membuatnya seolah-olah mengetahui rencana pembunuhan terhadap Yosua, bahkan terlibat di dalamnya.

Richard Kenal Keluarga Yosua

Meski pergantian pengacara Richard diwarnai keributan, Deolipa dan Ronny sama-sama menegaskan: Richard berada dalam tekanan Sambo.
Menurut Deolipa, Richard sesungguhnya amat takut ketika disuruh menembak Yosua. Namun, ia tak mampu membantah komando Sambo.
“Itu perintah komando. Kalau dia enggak melakukan, bisa jadi dia dibunuh sama si Jenderal (Sambo). Coba kalau dia bilang ‘Tidak mau’, lalu dibilang ‘Kau lemah’ dan darr—ditembak. Dia duluan yang mati, kan. Dia tertekan,” ucap Deolipa.
Ronny berucap serupa. “Dia tidak bisa menolak karena yang memerintah itu [jabatannya] jauh di atas dia. Dari Bharada ke Brigadir saja lima tingkat, apalagi ke bintang dua. Dan Brimob itu tak mungkin bertanya kalau ada perintah. Tidak ada yang bilang ‘Saya tidak bisa, Jenderal.’ Semua harus siap.”
Padahal, Richard dan Yosua telah berkarib. Hal ini, menurut Deolipa, terlihat dalam surat yang ditulis tangan oleh Richard pada Minggu dini hari, 7 Agustus.
Dalam surat itu, Richard memanggil Yosua dengan sebutan “Bang Yos”. Di situ, ia mengucapkan belasungkawa sekaligus meminta maaf kepada keluarga Yosua, baik bapak, ibu, maupun Reza—adik Yosua.
“Dari surat Eliezer itu, dia kenal bapak, ibu, dan adik Yosua,” tutur Deolipa.
Surat dari Richard untuk keluarga Yosua. Foto: Dok. Istimewa
Kini, Ronny menargetkan agar Richard terbebas dari hukuman maksimal pada Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana yang disangkakan kepadanya.
“Target kami di pengadilan adalah Bharada E bebas; supaya Pasal 51 ayat 1 tentang peniadaan hukuman dipertimbangkan oleh Majelis Hakim untuk dimasukkan,” ujar Ronny.
Pasal 51 ayat 1 KUHP berbunyi, “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.”
Dengan saksi fakta yang dimiliki Richard, Ronny yakin kliennya punya kesempatan untuk bebas.
Ilustrasi: kumparan