Abhinandan dan Sejarah Perlindungan Pilot yang Ditembak Jatuh

8 Maret 2019 19:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pilot India yang dibebaskan oleh Pakistan, Abhinandan Varthaman. Foto: Reuters/Akhtar Soomro
zoom-in-whitePerbesar
Pilot India yang dibebaskan oleh Pakistan, Abhinandan Varthaman. Foto: Reuters/Akhtar Soomro
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pilot jet tempur Abhinandan Varthaman mungkin tak pernah mengira dirinya akan dilibatkan dalam operasi militer udara di wilayah musuh. Bagaimana mungkin dia menolak mengemban tugas yang sudah menjadi kewajibannya sebagai tentara angkatan udara India?
ADVERTISEMENT
Abhinandan diminta ambil bagian dalam agresi militer ke wilayah yang diyakini sarang teroris di Pakistan pada 27 Februari lalu. Ketika itu, kedua negara tengah bersitegang setelah bom kelompok Jaish-e-Mohammed menewaskan 40 paramiliter India di Kashmir (14/2), wilayah sengketa kedua negara.
Nahas, pesawat MiG-21 yang dikendarai Abhinandan ditembak jatuh oleh Pakistan. Pilot senior India itu menyelamatkan diri dengan kursi pelontar. Sayangnya angin membawa parasutnya ke wilayah musuh di Pakistan, membuatnya berakhir jadi tawanan. Pakistan membebaskannya setelah 3 hari ditawan, demi itikad baik mengurangi ketegangan.
Abhinandan beruntung nyawanya selamat meski jatuh ke tangan musuh. Pakistan dalam hal ini telah bertindak sesuai hukum perang atau hukum humaniter internasional, bahwa pilot yang jatuh dengan parasut tidak boleh ditembaki, hanya boleh ditawan.
ADVERTISEMENT
Nasib berbeda mungkin bisa dialami Abhinandan bilamana dia pilot Perang Dunia I dan II. Di kedua perang tersebut, hukum untuk melindungi para pilot tempur yang ditembak jatuh belum terkodifikasi dengan baik.
Ditambah lagi, teknologi jet tempur kala itu belum dilengkapi kursi pelontar. Bahkan pilot-pilot Inggris ketika itu tidak dibekali dengan parasut. Pertimbangannya, parasut akan mempengaruhi performa pilot saat perang udara. Ada juga kekhawatiran kalau parasut mengurangi keberanian mereka.
“Kehadiran alat semacam (parasut) itu dapat merusak semangat juang para pilot dan menyebabkan mereka meninggalkan pesawat yang mungkin masih bisa kembali ke pangkalan untuk diperbaiki,” terang pernyataan resmi Dewan Udara Inggris pada 1917 seperti tercantum dalam buku “Baling Out: Amazing Dramas of Military Flying” karya Robert Jackson yang rilis 2006.
ADVERTISEMENT
Setelah Perang Dunia I usai, para ahli sebenarnya sudah mencoba untuk merumuskan usulan Aturan Perang Udara. Lewat pertemuan Desember 1922 hingga Februari 1923 di Den Haag, Belanda, mereka berhasil mengusulkan perlindungan pilot yang ditembak jatuh pesawatnya pada pasal 20:
“Ketika sebuah pesawat telah dilumpuhkan, penumpang yang berusaha melarikan diri dengan parasut tidak boleh diserang selama terjun ke darat.”
Ilustrasi Pilot Perang Dunia Terjun Payung. Foto: wikimedia
Namun, pada kenyataannya rumusan aturan tersebut tak pernah diratifikasi oleh negara-negara di dunia. Sehingga, ketika Perang Dunia II berlangsung, pilot tempur masih bertugas tanpa perlindungan hukum ketika pesawatnya ditembak jatuh.
Akibatnya, pada pertempuran udara terbesar saat itu, “Battle of Britain” (1940-1941), pilot-pilot yang terlontar dari pesawat dan terjun memakai parasut tetap ditembaki.
ADVERTISEMENT
Dalam buku “The Battle of Britain: The Greatest Air Battle of World War II” karya Richard Hough dan Denis Richards pada 1989 disebutkan, pilot Denis David menyaksikan sendiri bagaimana rekannya Johnnie Cock dari Australia yang sudah terlontar dari pesawat masih ditembaki oleh jet tempur Bf-109 Jerman.
“Tali parasutnya berbunyi ping! ping! ping! mulai memisahkan dirinya dengan kain parasut ketika peluru beterbangan di sekelilingnya. Aku lalu mencoba untuk berada di belakang (pesawat) Jerman dan menembaknya jatuh. Aku mengitari Johnnie sampai dia terjun di atas air, karena aku tak ingin membiarkan (pesawat) Jerman lain menembakinya,” kenang David.
Pesawat Jet BF 109. Foto: wikimedia
Kejadian penembakan pilot terjun berparasut ini tak hanya terjadi sekali. Johnnie Dewar dan Wilkie Wilkinson yang masing-masing mengomandoi skuadron 87 dan 266 Angkatan Udara Inggris (RAF) pun mengalami tragedi serupa. Di daratan, mereka ditemukan tewas dengan parasut dan tubuhnya sudah dipenuhi luka tembakan.
ADVERTISEMENT
Pada kenyataannya, pihak Jerman sendiri mengakui bahwa penembakan pilot terjun berparasut adalah sesuatu yang tak umum dalam perang. Dalam buku “A Higher Call” karya Adam Makos dan Larry Alexander yang terbit 2013 dikisahkan bagaimana pilot Jerman, Letnan Gustav Roedel, pernah mewanti bawahannya, Franz Stigler, tentang hal ini pada 1942.
“Apa yang ingin kukatakan adalah sebuah peringatan. Kehormatan adalah segalanya,” kata Roedel, “Kalau saja aku pernah melihat atau mendengar kamu menembaki orang (pilot) yang sedang pakai parasut, aku akan menembakmu dengan tanganku sendiri.”
“Kamu ikuti aturan untuk dirimu sendiri, bukan untuk musuhmu. Kamu bertempur dengan aturan untuk menjaga rasa kemanusiaanmu,” terang Roedel.
Kodifikasi Hukum Perang
Ilustrasi Pilot Perang Dunia Terjun Payung. Foto: flickr
Perang Dunia II kemudian berakhir dengan kekalahan Jerman, Italia, dan Jepang pada 1945. Diperkirakan 60 juta jiwa manusia melayang karena perang ini.
ADVERTISEMENT
Setelah mempelajari betapa mengerikannya perang tersebut, Komite Internasional Palang Merah (ICRC) mengambil inisiatif untuk merevisi hukum perang yang ada. Lahirlah Konvensi Jenewa 1949 sebagai kodifikasi hukum perang yang lebih lengkap.
“Hari ini Konvensi Jenewa masih menjadi landasan hukum humaniter internasional kontemporer. Konvensi ini berisi aturan-aturan penting untuk melindungi orang yang tidak atau tak lagi ambil bagian dalam pertempuran ketika berada dalam penguasaan pihak musuh,” ujar Philip Spoerri, Direktur Hukum Internasional dan Kerjasama ICRC dalam pidatonya pada perayaan 60 tahun Konvensi Jenewa 1949.
Semangat ujaran itu pun tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 bagian I pasal 3 ayat 1 yang menyebut:
“Seseorang yang tak aktif dalam berperang, termasuk anggota tentara yang telah meletakkan persenjataannya dan sudah tak berdaya mengikuti peperangan (hors de combat) karena sakit, terluka, ditawan, atau karena sebab lain, dalam kondisi apapun harus diperlakukan secara manusiawi...”
ADVERTISEMENT
Konvensi ini pun masih dilengkapi lagi dengan adanya Protokol 1977 pasal 42, khusus mengatur perihal pilot atau kru pesawat tempur yang sudah tak lagi mengendarai pesawatnya.
Bisa dikatakan, bahwa dalam situasi perang India-Pakistan, Abhinandan selamat karena ada sejarah panjang perang yang telah terjadi di masa lampau.
Perang-perang itulah yang mendorong kodifikasi hukum agar pertempuran berlangsung lebih beradab dan menghindari korban-korban yang tidak perlu.
ADVERTISEMENT