Riset UI: 90 Persen Anak di Jawa Terpapar Timbal

16 Januari 2024 14:24 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah anak beraktivitas di RPTRA Kalijodo, Jakarta. Foto: Fitra Andrianto/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah anak beraktivitas di RPTRA Kalijodo, Jakarta. Foto: Fitra Andrianto/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Timbal merupakan unsur logam berat yang dapat menimbulkan racun pada manusia. Tidak hanya berbahaya bagi orang dewasa, tetapi paparan timbal justru lebih berbahaya pada anak-anak.
ADVERTISEMENT
Orang tua perlu tahu, timbal biasanya ditemukan dalam cat, besi, pipa, dan bahan bangunan lainnya. Selain itu, zat timbal juga dapat ditemukan di udara, air, dan lingkungan yang tercemar.
Kenapa anak-anak bisa lebih tinggi risikonya mengalami keracunan timbal? Anak-anak, khususnya di bawah enam tahun, mungkin masih suka menyentuh benda-benda sembarangan di sekitarnya, salah satunya bekas kelupasan cat. Selain itu, tubuh anak juga lebih rentan menyerap zat timbal dibanding tubuh orang dewasa.
Tim peneliti dari Universitas Indonesia (UI) baru-baru ini menjelaskan hasil penelitian terbaru mengenai bahaya logam timbal, serta dampak buruknya bagi kesehatan masyarakat. Khususnya pada anak-anak. Seperti apa hasilnya?

Hasil Riset Peneliti dari Universitas Indonesia Tentang Bahaya Timbal pada Anak-anak

Direktur IMERI Fakultas Kedokteran UI, Prof. Dr. Badriul Hegar, PhD, SpA(K), memaparkan hasil temuan timnya pekan lalu.
ADVERTISEMENT
Penelitian dilakukan di lima desa di Indonesia, yaitu di Desa Kadu Jaya (Tangerang), Desa Cinangka (Bogor), Desa Cinangneng (Bogor), Desa Pesarean (Tegal)0, dan Desa Dupak (Surabaya). Riset dilakukan pada Mei-Agustus 2023 yang merupakan kolaborasi antara Occupational and Environmental Health Research Center (OEHRC) IMERI FKUI dan Yayasan Pure Earth Indonesia. Kajian ini melibatkan lebih dari 500 responden anak berusia 12-59 bulan.
Sejumlah anak bermain di RPTRA Jeruk Manis, Jakarta. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Dalam keterangannya, seperti dikutip dari Antara, Prof. Badriul menyebut bahwa sekitar 90 persen anak-anak terpapar timbal dalam kadar timbal darah (KTD) yang melebihi batas rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Bahkan, 19 anak (3,4 persen) di antaranya yang memiliki KTD melebihi batas rekomendasi WHO membutuhkan terapi.
Perlu dipahami, WHO merekomendasikan KTD 5 µg/dL sebagai penanda sumber paparan lingkungan yang perlu diwaspadai. Sehingga, disarankan agar KTD tidak melebihi angka tersebut. Sementara batas KTD untuk dipertimbangkan pemberian terapi adalah 45 µg/dL.
ADVERTISEMENT
Masih dalam kajian yang sama, hasilnya menyatakan responden anak-anak yang memiliki KTD ≥ 20 µg/dL, sebanyak 34 persen mengalami anemia, Moms! Dari jumlah tersebut, 14 persennya mengalami keterlambatan tumbuh kembang.
Ya Moms, peneliti menyebut anak dengan KTD ≥ 20 µg/dL dan anemia dalam waktu bersamaan maka berisiko empat kali lipat mengalami keterlambatan tumbuh kembang.
Metode penelitian apa yang dilakukan oleh para peneliti? Dalam kajian tersebut, peneliti mencari potensi sumber paparan dengan melakukan analisis tempat tinggal (home-based analysis). Pengambilan sampel dilakukan untuk mengukur kandungan timbal pada tanah, cat tembok, debu, air, udara, bumbu masakan, alat masak, tempat tidur, pakaian, hingga mainan anak.
Hasilnya, ditemukan bahwa tingginya KRD anak dipengaruhi oleh bapak atau orang tua yang memiliki KTD tinggi. Serta, cemaran timbal pada tanah di lokasi bermain anak.
Toxic Program Officer Nexus3, Sonia Buftheim memeriksa kadar timbal cat di Jakarta, Rabu (30/10). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Cemaran tersebut dipengaruhi oleh aktivitas industri, salah satunya adalah daur ulang aki bekas yang tidak sesuai standar.
ADVERTISEMENT
Menurut Prof. Badriul, penelitian mengenai paparan timbal penting dilakukan, karena timbal merupakan neurotoksin berbahaya yang paparannya dapat mengakibatkan masalah kesehatan. Sebut saja, cacat lahir, kerusakan otak, kardiovaskular, dan penyakit ginjal.
"Jika terpapar dalam jangka waktu lama, masyarakat dapat mengalami stres oksidatif. Oleh sebab itu, tantangan ke depannya adalah bagaimana ilmu kedokteran komunitas dapat merancang strategi preventif dan promotif untuk menanggulangi dan mengurangi paparan timbal," ungkap Prof. Badriul.
Sementara itu, Guru Besar Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI, Prof. dr. Muchtaruddin Mansyur, MS SpOk(K), yang terlibat dalam penelitian ini, menyampaikan bahwa kadar timbal darah pada anak yang ditemukan dalam penelitian merupakan keadaan yang mendesak untuk segera ditangani.
"Keterlambatan penanganan akan memengaruhi kualitas generasi mendatang, karena tumbuh kembang anak terhambat serta angka penyakit jantung dan penyakit kronis lainnya melonjak. Penguatan kapasitas sektor kesehatan untuk mengenal dan mencegah pajanan timbal lingkungan, serta dampak kesehatannya harus menjadi prioritas," tutup dia.
ADVERTISEMENT