Berbagai Pertimbangan Pilih Sekolah untuk Anak Berkebutuhan Khusus

30 April 2024 11:05 WIB
ยท
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
 Press conference Special Kids Expo (Spekix) 2024 di Jakarta Pusat, Kamis (25/4). Foto: Nabilla Fatiara/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Press conference Special Kids Expo (Spekix) 2024 di Jakarta Pusat, Kamis (25/4). Foto: Nabilla Fatiara/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Memiliki anak berkebutuhan khusus membuat orang tua perlu lebih selektif terhadap kebutuhan si kecil. Termasuk dalam urusan memilih pendidikan. Sama seperti anak-anak tipikal lainnya, anak berkebutuhan khusus juga bisa mengenyam sekolah hingga perguruan tinggi dan bekerja.
ADVERTISEMENT
Ya Moms, mungkin orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus, autisme misalnya, akan mempertimbangkan memasukkan buah hatinya ke Sekolah Luar Biasa (SLB) yang inklusif. Namun, bagi beberapa ayah dan ibu, situasi memasukkan anak ke sekolah khusus kerap membuat mereka sedih dan tidak dapat menerima keadaan.
Padahal, menurut Dokter Spesialis Anak Konsultan Neurologi Prof. Dr. dr. Hardiono D. Pusponegoro, SpA(K), sekolah inklusif sebenarnya bertujuan untuk memberikan pelayanan terbaik pada anak berkebutuhan khusus.
"Sekolah inklusi dan sekolah biasa sama aja. Tapi karena ada kekurangan, jadi ada [orang tua] yang masukin ke [sekolah] khusus. Tapi basic-nya sama aja. Namun, orang suka sedih ketika anaknya masuk sekolah inklusi, dianggap anaknya parah. Tapi justru itu buat dia dikasih bantuan khusus buat penolongnya," tutur Dr. Hardiono dalam press conference Spekix 2024 di Jakarta Selatan, Kamis (25/4).
ADVERTISEMENT
Hal ini juga disepakati oleh Plt Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus, Ditjen Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kemendikbudristek, Aswin Wihdiyanto, S.T., M.A. Ia menegaskan bahwa pendidikan tidak pernah diskriminatif, dan semua anak berhak mendapatkannya.
"Seluruh anak apa pun kondisinya harus bisa mendapat pendidikan. Itu dapat meningkatkan potensi kemampuan yang dimiliki, termasuk anak-anak berkebutuhan khusus, juga anak dengan autisme," kata Aswin.
Apalagi, Aswin menjelaskan, dasar hukum yang disusun negara telah memastikan pendidikan harus bersifat inklusif dan merangkul semuanya. Bahkan, Kemendikbudristek kini juga mulai mendorong sekolah-sekolah reguler menerapkan pendidikan inklusif, dengan turut melakukan proses identifikasi pendidikan yang sesuai dengan anak-anak berkebutuhan khusus.
"Sekarang kita juga mendorong pendidikan inklusif lewat sekolah-sekolah reguler. Tentu tantangannya enggak mudah saat implementasi di lapangan. Banyak perspektif yang harus disamakan, termasuk awareness bahwa pendidikan itu untuk semua," tegas dia.
ADVERTISEMENT

Syarat Anak Berkebutuhan Khusus Mendaftar Sekolah

Ilsutrasi anak dengan autisme. Foto: Shutterstock
Punya anak dengan autisme berarti perlu memahami kapan si kecil mulai bersiap sekolah. Dr. Hardiono yang merupakan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu menyoroti beberapa kondisi anak yang bisa dipertimbangkan sebelum memutuskan untuk memulai sekolah.
Karena perlu diketahui, contohnya pada anak-anak autisme, mereka umumnya mengalami kesulitan dalam berinteraksi dan komunikasi. Dan yang terpenting, menurut Dr. Hardiono, sebelum sekolah anak berkebutuhan khusus sudah harus mendapat terapi yang tepat sesuai dengan diagnosanya.
"Sekolah dia bisa, tapi tergantung keadaan anaknya. Kalau pekerjaan, sesuatu yang rutin dia bisa bekerja dengan sangat bagus. Begitu juga kalau dia fungsi [tubuhnya] baik, IQ baik, itu bisa kerja luar biasa dan enggak ada capeknya. Tapi dia harus senang," ungkap Dr. Hardiono.
ADVERTISEMENT
Dan beberapa kriteria yang harus dipertimbangkan orang tua sebelum memasukkan anak berkebutuhan khusus ke sekolah, antara lain:
Pastikan IQ anak di atas 70. IQ atau Intelligence Quotient biasa digunakan untuk mengetahui kecerdasan relatif seseorang.
"Gampang dia masuk ke SD inklusi kalau [IQ] di atas 70. Tapi kalau di bawah 70 itu masuk sekolah khusus, bukan inklusi lagi," ucap Dr. Hardiono.
Anak bisa berkomunikasi dan berperilaku baik. Misalnya, ia cukup dapat beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya, tidak menggigit atau memukul orang, dan memiliki kemauan untuk belajar.
"Kalau tidak, sekolah tidak ada yang mau menerima anak itu nanti," kata dia.
Dan yang paling penting adalah diharapkan anak dengan autisme bisa berbicara dengan bahasa yang cukup jelas, meski sedikit. Sehingga, ia tetap dapat berkomunikasi dengan teman-teman dan gurunya di sekolah, serta pembelajaran juga berlangsung lebih nyaman.
ADVERTISEMENT

Cerita Ferdy Hasan dan Istri Carikan Sekolah untuk Anaknya yang Berkebutuhan Khusus

Presenter Ferdy Hasan dan istri, Safina, dalam press conference Spekix 2024. Foto: Nabilla Fatiara/kumparan
Tidak hanya itu, pasangan selebriti Ferdy Hasan dan Safina Hasan yang memiliki anak berkebutuhan khusus turut membagikan perjalanan mereka mencarikan sekolah untuk putranya. Anak kedua mereka, Fasja Jamel Antwan, didiagnosis autisme sejak kecil.
Ferdy mengungkapkan, ketika Fasha lahir 21 tahun lalu, informasi seputar autisme pada anaknya belum sebanyak seperti saat ini.
"Kita mulai terapi dan konsultasi ke Dr. Hardiono sejak usia empat bulan. Kita mau sekolahkan pun konsultasi, wah sudah bisa bicara nih. Awalnya kita ambil TK untuk bersosialisasi, pas SD kita ambil yang inklusi," ungkap Ferdy.
Presenter kondang itu mengakui perkembangan anaknya saat masuk SD sangatlah luar biasa. Ia juga tidak lupa membawa Fasha ke psikolog untuk mencari tahu minat dan bakatnya pada bidang apa.
ADVERTISEMENT
Namun, kejadian tidak mengenakkan sempat dialami Fasha ketika bersekolah di sekolah reguler. Fasha sempat mendapat perundungan dari teman-teman sekolahnya hingga mengalami depresi, Moms.
"Anaknya mungkin ready, jadi ke sekolah swasta. Ternyata lingkungannya enggak ready, dia di-bully. Akibatnya, dia depressed berat sampai minum obat 8 bulan. Tapi sekarang berangsur membaik," cerita Ferdy.
Ferdy dan sang istri pun memutuskan agar Fasha kembali bersekolah di sekolah inklusi. Setelah lulus SMA, Fasha mengungkapkan keinginannya untuk kuliah. Dan kini, di usianya yang sudah 21 tahun, Fasha juga tengah magang di salah satu hotel, karena ia menyukai kegiatan housekeeping, lho!
Belajar dari apa yang dialami putranya, Ferdy dan Safina menyebut peran keluarga sangatlah besar dalam menbantu tumbuh kembang anak dengan autisme. Termasuk lingkungan sekolah yang menjadi tempat anak bersosialisasi dan belajar.
ADVERTISEMENT
Dan tidak ketinggalan, Safina juga membagikan tips memilih sekolah bagi para orang tua yang punya anak berkebutuhan khusus.
"Harus guru dan lingkungan sekolah yang menerima anak-anak itu dulu, harus komitmen. Karena menghadapi anak-anak seperti itu harus konsisten," ucap Safina.
"Bagaimana tahu komitnya? Survei, rajin cari informasi dari sekolah dan parents yang pernah sekolahin anaknya di sana. Dan juga jangan lupa cari komunitas," tutup dia.