Jose Luis 'Tata' Brown, si Lutut Ringkih yang Juarai Piala Dunia

14 Agustus 2019 18:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pemain timnas Argentina José Luis Brown (kiri) berebut bola dengan pemain timnas Inggris perempat final Piala Dunia 1986 di Stadion Azteca di Meksiko. Foto: Getty Images/Mike King / Allsport
zoom-in-whitePerbesar
Pemain timnas Argentina José Luis Brown (kiri) berebut bola dengan pemain timnas Inggris perempat final Piala Dunia 1986 di Stadion Azteca di Meksiko. Foto: Getty Images/Mike King / Allsport
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada suatu waktu hampir seluruh cerita tentang sepak bola Argentina berkaitan dengan keajaiban.
ADVERTISEMENT
Di dalamnya ada cerita gol 'Tangan Tuhan' Diego Armando Maradona dan gol keduanya yang lebih gila lagi. Ada pula Jorge Valdano yang berlari menyusuri tepi lapangan di final Piala Dunia 1986 sambil berbisik: “Ayo, bola, masuklah. Masuklah…”
Sepak bola Argentina tidak bicara tentang yang indah-indah melulu. Ia juga bercerita tentang ibu-ibu yang menentang junta militer Argentina. Mereka berdiri di depan Istana Kepresidenan Casa Rosada sejak 30 April 1977. Puncaknya terjadi pada 1 Juni 1978, tepat saat sepak mula Piala Dunia.
Di antara rangkaian cerita tadi muncul narasi Jose Luis ‘Tata’ Brown. Kisah abadi yang pada akhirnya membuat seorang petugas Bandara Washington mengabaikan Messi, Javier Mascherano, ataupun Fernando Gago.
ADVERTISEMENT
Itu terjadi pada 2008 kala Brown menjabat sebagai staf kepelatihan Timnas U-23 Argentina. Brown dan timnya tengah transit dalam perjalanan mereka menuju Beijing untuk baku hantam di Olimpiade.
“Saya? Anda mau berfoto dengan saya?” tanya Brown kepada petugas bandara itu.
“Tentu saja. ‘Kan Anda yang mencetak gol di final Piala Dunia.”
I
Sekitar 183 tahun sebelumnya, pada 22 Mei 1825, James Brown Sr. dan keluarganya pindah dari Leith, Skotlandia, untuk memulai hidup baru di Argentina. Mereka adalah keluarga petani, berharap pada lahan dan suhu Amerika Selatan yang dinilai berkawan akrab dengan pertanian.
Lima puluh tahun setelah kepindahan tersebut, ada orang Skotlandia lainnya, Watson Hutton, yang angkat kaki ke Argentina. Namun ia datang dengan alasan berbeda. Hutton pindah karena merasa iklim Argentina lebih bersahabat untuk proses pemulihan TBC yang dideritanya.
ADVERTISEMENT
Hutton punya cara untuk berterima kasih kepada orang-orang Argentina yang menyambut dan menerimanya dengan senang hati. Ia mengikuti nalurinya sebagai seorang guru dan mendirikan sekolah di sana.
Tapi yang dibawanya bukan cuma ilmu-ilmu akademis. Seperti orang Eropa kebanyakan yang mulai ‘terkontaminasi’ virus sepak bola, Hutton juga tak bisa berjauh-jauhan dari si kulit bulat.
Sepak bola ikut tumbuh di sekolah itu. Bukan asal menendang bola, tapi sepak bola yang benar-benar Skotlandia. Hutton bahkan mendirikan Federasi Sepak Bola Argentina pada 1893.
Tim sepak bola bentukan Hutton yang diperkuat oleh sebagian besar mantan muridnya menjadi masyhur. Namanya Alumni Athletic Club. Mereka mengantongi 10 gelar juara liga dalam kurun 1900 sampai 1911.
ADVERTISEMENT
Di sana selalu ada Brown yang ikut bertanding. Tak sampai di level klub saja. Tiga Brown ikut berlaga membela Timnas Argentina pada Copa Centenario 1910: Jorge Gibson Brown, Juan Domingo Brown, dan Ernesto Alejandro Brown.
Nama Brown menghilang di tahun-tahun setelahnya. Argentina berlaga di Piala Dunia edisi pertama pada 1930 tanpa seorang Brown pun. Barangkali ini waktunya Argentina melupakan Brown. Sudah saatnya mereka benar-benar membuka lembaran baru bersama orang-orang baru.
Namun melupakan ternyata tidak ada dalam daftar bakat manusia.
II
1983, Jose Luis ‘Tata’ Brown turun gelanggang mengenakan kostum putih-biru kebesaran Argentina. Tidak ada gelar juara yang dipersembahkan pada tahun debutnya itu. Argentina bahkan tidak lolos dari babak grup Copa America.
ADVERTISEMENT
Nirgelar memang menyebalkan. Tapi keberadaan Brown di lini pertahanan menegaskan bahwa benih pertama yang disebar Brown di jagat sepak bola Argentina belum berhenti menghasilkan buah. Masih ada yang bisa dipanen, masih ada yang bisa dinikmati.
Waktu itu 2 Juni 1986. Ini kali pertama Brown berlaga di Piala Dunia. Kakinya gemetaran ketika lagu kebangsaan dilantunkan. Kawan-kawannya sudah menampilkan wajah garang, bersiap melakoni laga pembuka melawan Timnas Korea Selatan di atas lapangan Estadio Olímpico Universitario, Meksiko.
Pemain timnas Argentina José Luis Brown (ketiga kanan atas) foto bersama pada pertandingan final Piala Dunia 1986 di Stadion Azteca di Meksiko. Foto: Getty Images/Bongarts
Barangkali wajah garang itu adalah ketegaran yang dipaksakan. Jauh di dalam benak mereka bercokol ketakutan yang mengolok-olok.
Dalam tulisannya untuk These Football Times yang berjudul 'Yes, You Scored a Goal in a World Cup Final: The Unexpected Legend of Jose Luis Brown', Gary Thacker bercerita bahwa banyak jurnalis Argentina yang memesan tiket pesawat pulang sehari setelah pertandingan pertama babak grup.
ADVERTISEMENT
Mereka tak yakin Argentina bisa bertahan lama. Bukan kekhawatiran yang berlebihan karena saat itu Argentina ibarat kapal oleng. Konflik internal antara para pemain menjadi pembicaraan yang terus menerus muncul.
Garrincha, si 'Burung Kecil' dari Brasil itu, tidak menjadi satu-satunya pesepak bola Amerika Latin yang mempermalukan logika dan mendudukkan surealisme di singgasana lapangan hijau. Kisah tentang pesepak bola yang mengobrak-abrik lawan dengan kaki rusak tidak berhenti padanya.
Brown tidak berangkat ke Meksiko dalam kondisi ideal. Cedera lutut berkepanjangan membuatnya kepayahan melakoni laga. Tak mengherankan jika ia hanya bisa turun arena lima kali ketika membela Deportivo Espanol pada 1986. Cuma setengah musim, tak ada lagi yang ingin memperpanjang kontraknya.
Brown tak layak berlaga di Piala Dunia karena sedang tanpa klub. Kalaupun pada akhirnya ia bisa ikut berangkat ke pentas paling masyhur itu, semuanya karena sang pelatih, Carlos Bilardo, yang memang menyukai permainannya.
ADVERTISEMENT
Bilardo juga tak bisa menjamin apa-apa. Brown cuma diproyeksikan sebagai pelapis bek andalan mereka, Daniel Passarella. Kemungkinan untuk berlaga kecil karena Passarella yang juga merupakan bagian dari skuat juara 1978 masih bertanding di babak kualifikasi.
Namun palu nasib mahir menjatuhkan vonis sebaliknya di waktu yang tak disangka. Passarella mesti absen di Piala Dunia 1986 karena menderita enterocolitis alias peradangan usus besar. Itu berarti, selamat datang di Piala Dunia yang agung untuk Browna.
III
Surealisme Argentina dan Brown bukan sempalan. Argentina mengalahkan Korea Selatan, Bulgaria, Uruguay, Inggris, Belgia, lalu sampai ke final.
Orang-orang bilang ini Piala Dunia-nya Maradona. Kemasyhuran Maradona semakin menjadi-jadi.
Jika gol di perempat final itu adalah mukjizat yang mengetuk iman orang-orang, gol di semifinal adalah penggenapan untuk segala nubuatan yang disampaikan para ‘nabi’. Bahwa di antara kaummu akan lahir anak manusia yang menjadikan Argentina sebagai raja dunia.
ADVERTISEMENT
Namun Maradona memiliki segalanya untuk melakukan mukjizat. Fisik mumpuni, talenta tak terperi, hingga kedegilan yang menginjeksi segala macam kreativitas.
Lantas bisakah dibayangkan, Brown, pemain tanpa klub yang mengalami cedera lutut serius berkepanjangan, menjadi bek tengah yang mengomandoi lini pertahanan Argentina hingga ke duel puncak Piala Dunia tanpa absen sekalipun?
Sejak fase grup hingga semifinal Brown berkawan dengan kejutan. Di final ia mengawinkan, mengacak, mempermainkan, serta melebur mimpi dan kenyataan maupun realitas dan mitos menjadi satu kisah utuh.
Selama ada Maradona di timmu, maka yang menjadi tugas utama adalah membangun tembok pertahanan setebal mungkin. Jangan sampai ada celah sedikit pun. Kesalahan setitik sama dengan memberikan ruang luas bagi lawan untuk menghancurkanmu.
ADVERTISEMENT
Jorge Luis Burruchaga mengeksekusi tendangan bebas pada menit 22. Sepakan itu dilakukan di area strategis, tapi rumit: Di sebelah kiri pertahanan Jerman Barat. Brown tahu kawannya itu pesepak bola hebat. Tapi untuk kali ini ia tak yakin dengan tendangan bebas itu.
Tendangannya terlalu melengkung. Burruchaga tidak akan berhasil mencetak gol lewat sepakan itu. Pikiran seperti itulah yang berkecamuk dalam benak Brown.
Harald Schumacher melakukan kesalahan dalam mengantisipasi. Brown tidak tahu pasti apa yang hendak kiper Jerman Barat itu, entah meninju atau menangkap bola.
Yang jelas Schumacher melompat sebelum melakukan menangkap atau meninju bola. Aksi itu justru memberi ruang pada Brown untuk melepaskan serangan yang mengambil posisi di depan gawang, di belakang Maradona.
ADVERTISEMENT
Seketika Brown melepaskan sundulan. Tidak ada yang tahu pasti apakah ia bermaksud mengumpan ke Maradona atau menembak ke gawang yang jelas suporter Argentina bersorak girang pada menit 23. Yang pasti, manuver itu membuka keunggulan 1-0 untuk Argentina.
Brown berlari girang ke kanan pertahanan lawan, berseluncur sebelum bersimpuh sambil mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi. Ia berteriak garang di depan ketidakidealan, menundukkan diri di hadapan keajaiban sepak bola.
Entah manusia macam apa Brown yang bertanding pada 29 Juni 1986 itu di hadapan 114.600 penonton. Ia mengalami benturan dengan penggawa Jerman Barat, Norbert Eder, di awal babak kedua. Seketika ia merasa tak nyaman dan tentu saja kesakitan. Hasil pemeriksaan tim medis lapangan saat itu menyebut bahwa Brown mengalami dislokasi bahu.
ADVERTISEMENT
"Saya menatap dokter dan berkata kepadanya: Jangan sekalipun Anda berpikir untuk menarik saya keluar lapangan."
"Saya membuat lubang di jersi saya dan mengaitkan ibu jari saya ke sana sehingga bisa menggendong lengan saya. Sakitnya luar biasa, tapi saya memutuskan bermain. Akan buruk bagi tim jika kehilangan seorang pemain bertahannya," jelas Brown.
Dan begitulah. Brown menggendong lengannya di sepanjang sisa laga.
Torehan pada menit ke-23 tadi tidak menjadi satu-satunya gol Argentina. Usai gol Valdano (56'), Jerman Barat memang sanggup membalas lewat torehan Karl-Heinz Rummenigge (74') dan Rudi Voeller (81'). Tapi Burruchaga kembali menjadi hantu yang mengandaskan asa Jerman Barat untuk menjadi juara lewat golnya pada menit 84.
Untuk segala hal yang dipersembahkannya bagi Argentina, Brown berhak berlari mengelilingi lapangan sambil menelan puja-puji dan penghormatan sebanyak-banyaknya. Lap of honour, kata orang-orang.
ADVERTISEMENT
Dalam tulisannya These Football Times tadi, Thacker juga bercerita apa yang terjadi di tengah-tengahnya. Seketika Brown teringat Profesor Ricardo Echeverria. Ia adalah fisioterapis yang begitu telaten merawat fisik Brown yang memang tak seprima kawan-kawannya.
Brown ingin membayar segala hal yang diberikan Echeverria untuknya. Tak ada cara yang lebih pantas daripada mengajaknya ikut berlari mengelilingi lapangan, melakukan lap of honour.
"Saya melihatnya berdiri di area midfielder. Menangis terisak-isak. Saya mengajaknya ikut berlari. Tapi ia berkata kepada saya: Tidak, tidak! Jadi saya menjawabnya: Berlari bersama saya sekarang. Dengarkan saya. Anda yang membuat saya bisa ada di sini."
IV
Trofi Dunia 1986 diangkat oleh Brown, tak bisa tinggi-tinggi karena bahunya sakit bukan main.
ADVERTISEMENT
Perjalanannya sebagai pesepak bola ternyata tak lama lagi. Ia memutuskan untuk gantung sepatu pada 1989. Namun kisah sepak bolanya berlanjut hingga 2013 dalam ranah kepelatihan.
Setelahnya nama Brown tak terdengar di atas lapangan bola mana pun. Yang menjadi lawan adalah alzheimer hingga ia mengembuskan napas terakhir pada 13 Agustus 2019.
Entah apa yang membuatnya disapa Tata. Kisahnya di atas lapangan sepak bola memang kalah populer dibandingkan Maradona. Tidak ada yang membahas mengapa sapaan itu bisa muncul atau hal-hal mendalam lainnya.
Tapi bila diterjemahkan secara plastis, Tata berarti ungkapan figur bapak dalam Bahasa Spanyol. Mungkin itu hanya nama lucu-lucuan dari kawannya karena ia sudah memiliki anak.
Brown atau Tata atau siapa pun namanya bukan bapak bagi skuat Argentina. Ia hanya seorang bek dengan lutut ringkih yang entah bagaimana caranya merawat imajinasi terliar bocah-bocah Argentina sana lewat kisah sepak bolanya.
ADVERTISEMENT