Cover- Lipsus Musim Gugur Startup Teknologi

Tamatnya Euforia Startup Indonesia (1)

23 Juni 2022 17:49 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Industri perusahaan rintisan alias startup memasuki musim paceklik. Dalam kurun waktu dua bulan terakhir, sejumlah startup melakukan efisiensi dengan memangkas karyawannya. Pemangkasan ini bukan dalam lingkup kecil, namun dalam skala massal.
ADVERTISEMENT
Pemutusan hubungan kerja (PHK) massal ini dialami oleh startup raksasa seperti Link Aja, Zenius, dan JD.ID. Nama terakhir ini bahkan telah menyandang status unicorn dengan valuasi lebih dari USD 1 miliar. Namun, ratusan karyawan di perusahaan tersebut terkena imbas badai PHK. Masa euforia startup di Indonesia usai sudah.
Rontoknya startup belakangan ini disinyalir karena adanya ledakan gelembung atau biasa disebut dengan istilah ‘bubble burst’. Fenomena ini terjadi ketika banyak startup tumbuh cepat namun hanya bergantung pada pendanaan.
Ilustrasi Zenius. Foto: Shutterstock
Pada satu titik, startup kalah bersaing dalam pangsa pasar yang sangat kompetitif. Akhirnya mereka mengurangi beban operasional dengan memangkas jumlah karyawan.
Padahal sebagian besar perusahaan digital tersebut baru saja mendapat pendanaan yang sangat besar. Sebut saja Link Aja pada bulan Maret lalu baru saja mendapat suntikan USD 100 juta atau sekitar Rp 1,4 triliun dari Gojek. Sementara, Zenius juga baru saja mendapat suntikan USD 40 juta sekitar Rp 576 miliar pada bulan Maret 2022.
ADVERTISEMENT
Founding Partner AC Ventures Pandu Sjahrir melihat, saat ini investor menginginkan hasil imbal yang lebih pasti. AC Ventures merupakan perusahaan modal ventura yang mendanai lebih dari 40 startup lokal, termasuk bibit.id, hingga warung pintar. Total pendanaan yang sudah dikucurkan sekitar Rp 6 triliun.
“Sekarang investor-investor itu di dunia startup menginginkan profitabilitas,” katanya kepada kumparan melalui zoom, Senin (20/6).
Para investor memilih mengalihkan aliran modalnya ke wadah investasi lain, misalnya pasar saham dan pasar surat utang asing. Berdasarkan data Bank Indonesia, pada periode 13-16 Juni 2022 aliran modal asing keluar sebesar Rp 7,34 triliun. Jumlah tersebut naik signifikan dibanding periode sebelumnya Rp 2,49 triliun, pada 6-9 Juni 2022.
Keluarnya aliran modal asing dari Indonesia itu tak lepas dari kebijakan Bank Sentral AS, Federal Reserve (The Fed) yang menaikkan suku bunga 0,75 persen pada pekan lalu.
ADVERTISEMENT
Kenaikan suku bunga ini akhirnya mendorong para investor untuk mencari perusahaan yang memiliki keuntungan pasti dalam jangka waktu pendek seperti kebutuhan deposito dan kredit. Sehingga para investor tak lagi jor-joran mengeluarkan uang bagi perusahaan-perusahaan yang kurang menguntungkan, apalagi menghargai pertumbuhan (growth) sebagai harga mati startup.
“Jadi banyak sekali capital yang pindah dari high growth sector atau high risk (startup) growth itu pindah ke sektor yang pasti komoditas atau kredit,” kata Pandu.
Pandu Patria Sjahrir. Foto: Instagram/@pandusjahrir
Selain soal investor, perubahan perilaku konsumen terhadap layanan perusahaan digital selama pandemi juga jadi salah satu faktor. Menurutnya, pada saat pandemi, sebagian layanan aplikasi mendapat tambahan user atau pengguna secara signifikan karena kebijakan lockdown yang membuat banyak orang melakukan aktivitas di dalam rumah.
ADVERTISEMENT
“Banyak sekali perseroan-perseroan teknologi mendapatkan tambahan customer bisnis, karena orang semua bisnis online,” tutur Pandu.
Namun saat pandemi mulai membaik dan aktivitas di luar rumah sudah bisa berjalan normal, tambahan customer itu tak lagi aktif sehingga berpengaruh pada kondisi perusahaan.
Fase baru ekosistem startup
Saat ini kondisi untuk merintis startup jauh lebih mudah dari sisi infrastruktur, logistik, teknologi smartphone dan hardware, sudah jauh lebih maju daripada sebelumnya. Hal tersebut membuat jumlah startup menjamur dan semakin kompetitif.
Hingga Mei 2022 sudah ada 2.345 startup di Indonesia seperti dikutip dari Startup Ranking. Angka tersebut membuat Indonesia sebagai negara dengan jumlah startup terbanyak di Asia Tenggara.
Ekosistem startup di Indonesia tidak lagi seperti awal-awal saat startup membangun ekosistem dengan menanamkan modal yang jor-joran. Ekosistem startup di Indonesia saat ini sedang menuju fase baru. Hal tersebut diungkapkan oleh Pandu berdasarkan pengalamannya mengamati startup digital lokal selama delapan tahun belakangan ini.
Ilustrasi LinkAja. Foto: Shutterstock
“Ini mungkin pertama kali untuk startup (banyak PHK) karena baru delapan tahun, kan, dan selama delapan tahun terakhir kita mempunyai sektor di mana interest rate sangat rendah, cost of capital sangat rendah,” jelas Pandu.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, Pandu melihat ekosistem industri startup di Indonesia akan memberikan kompetisi yang lebih baik setelah terjadi fenomena bubble burst ini. Selain itu, dia menilai fenomena ini merupakan hal yang lumrah dalam siklus ekonomi. Artinya, setiap industri pernah memasuki titik terendah.
“Ini sesuatu yang lumrah. Maka TOR ekosistem kita lebih sehat. Memang ini shock, memang anak muda belum pernah down di sektor ini,” katanya.
Siklus serupa pernah terjadi di Amerika Serikat pada awal 2000-an. Saat itu perusahaan digital tumbuh subur sehingga membuat banyak investor percaya diri untuk menyuntik triliunan modal. Para investor melakukan spekulasi di startup digital hingga membuat pasar saham anjlok karena imbal hasil yang tak sesuai ekspektasi.
Berdasarkan catatan TheStandard.com, selama periode Desember 1999 hingga Januari 2001, setidaknya terdapat 51.400 orang telah di-PHK di AS, yang disebabkan oleh perusahaan bangkrut atau akibat restrukturisasi.
ADVERTISEMENT
“Jadi hal yang terjadi sekarang normal. Sudah pernah terjadi di dunia teknologi berkali-kali,” katanya.
Aktivitas pekerja di Warehouse JD.ID di Marunda, Kabupaten Bekasi, Jumat (11/12). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Hal yang sama diungkapkan oleh Ketua Umum Asosiasi Startup Teknologi Indonesia (Astindo) Handito Joewono. Menurutnya saat ini para investor semakin hati-hati dalam menanamkan modal dibanding beberapa tahun lalu. Sebab, investor mempertimbangkan imbal hasil keuntungan yang lebih terukur di industri startup.
“Jadi sebenarnya kalau kita amati sekarang sedang terjadi perubahan secara struktural. Terutama di aspek investor bahwa saat ini investasi di startup itu menjadi semakin normal,” ungkapnya.
“Investor di Asia memilih deposito saja di AS. Nah ini hal-hal seperti ini menjadikan tantangan lagi untuk industri startup,” imbuhnya.
Menurut Handito, banyak startup yang masih mengandalkan pendanaan investor sebagai bahan bakar untuk tumbuh lebih cepat. Persoalannya, penggunaan dana tak diimbangi dengan perhitungan yang matang. Hal ini membuat banyak aksi startup yang tidak menunjang profit.
ADVERTISEMENT
Beberapa aksi di antaranya seperti gencar memberikan promo, merekrut pegawai besar-besaran, hingga produk yang ditawarkan tak sesuai dengan pasar. Belum lagi penggunaan dana yang tidak produktif seperti flexing untuk branding yang dilakukan para pegawai.
“Ada kegiatan yang dilakukan tidak produktif. Kalau kebanyakan ya kebablasan, untuk gaya gayaan branding. Kita (enggak) harus bikin kantor gede-gedean (kalau tidak perlu) itu investasi yang sebenarnya enggak produktif,” tutur Handito.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira. Foto: Ulfa Rahayu/kumparan
Sementara itu, pengamat ekonomi sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebut fenomena PHK startup massal dimulai sejak 2019 silam. Pada saat itu Unicorn Bukalapak memecat 250 pegawainya akibat efisiensi besar-besaran.
Menurut Bhima, permasalahan yang terjadi di perusahaan yang pernah dipimpin Ahmad Zaki ini kurang kompetitif dibandingkan pemain lainnya seperti Shopee, Tokopedia dan Lazada yang menjadi tiga teratas di sektor marketplace.
ADVERTISEMENT
“Makanya bukalapak itu untungnya bukan dari e-commerce tapi dari investasi saham bank. Dan itu jadi masalah karena investor tahunya adalah dia perusahaan e-commerce,” tuturnya.
Lipsus di balik badai PHK Startup. Foto: kumparan
Berikutnya pada saat pandemi, banyak startup yang memang ketiban untung dengan penambahan user yang signifikan. Seakan harapan tinggi dari para investor pun digambarkan dari pendanaan yang tumbuh signifikan pada tahun 2021. Dalam laporan perusahaan modal ventura asal Singapura Cento Ventures (2021), nilai investasi startup di Indonesia naik sekitar Rp 85,8 triliun dibanding periode sebelumnya USD 82,9 triliun pada 2020.
Tetapi pada akhirnya beberapa masalah mengganggu internal perusahaan seperti bisnis model yang tidak sustain akibat promosi besar-besaran, hingga membuat konsumen tidak loyal. Hal ini membuat banyak startup besar yang kelimpungan pada semester I 2022.
ADVERTISEMENT
“Nah, ketika pandeminya sudah mulai turun kasusnya, sudah bisa melakukan aktivitas di luar rumah, banyak startup pandemi darling ini mengalami penurunan yang signifikan penurunan user,” ungkap Bhima.
Apakah era ‘Bakar-Bakar’ duit telah usai?
Istilah bakar-bakar duit sebagai upaya mempercepat pertumbuhan bisnis startup dinilai masih akan dilakukan. Bahkan, Handito mengatakan aksi gelontoran modal terhadap startup tidak akan pernah usai.
“Enggak, era bakal bakal duit belum selesai dan tidak akan pernah selesai,” tuturnya.
Namun, investor akan mempertimbangkan secara lebih rasional dalam menyalurkan arus modal. Menurutnya, aksi pendanaan besar-besaran ke depan harus mementingkan aspek profitabilitas atau keuntungan. Aktivitas yang tidak berdampak langsung kepada keberlanjutan bisnis akan dipertimbangkan kembali.
Konferensi pers perkenalan program akselerasi startup Grab Ventures Velocity Batch 3. Foto: Bianda Ludwianto/kumparan
“Jadi era bakar bakar duit dalam brand building tidak akan pernah selesai selama masih ada brand yang ingin tumbuh cepat,” cetusnya.
ADVERTISEMENT
Senada dengan Handito, Pandu menyatakan aksi bakar-bakar duit yang dilakukan oleh investor terhadap startup digital akan fokus pada keuntungan. Menurutnya, aksi memberikan gelontoran dana besar untuk tumbuh cepat merupakan hal yang wajar.
“Baik itu perusahaan tbk sekarang membicarakan profitabilitas jadi lumrah menurut saya (bakar-bakar duit),” kata Pandu.
Sementara itu, Bhima punya pendapat lain. Menurutnya era bakar uang mulai berakhir, karena investor menuntut arus cash flow yang lebih sehat dan kemampuan startup dalam menjaga loyalitas dengan fitur bukan dengan promo.
“Kalau cash flow sudah mulai tertekan itu tanda (startup) tidak sehat,” jelas Bhima.
Startup minuman moncer di tengah musim PHK
CEO dan Co-Founder HAUS! Gufron Syarif di kumparan Festival UMKM 2021, Selasa (26/10). Foto: kumparan
Di tengah banyaknya PHK massal di industri startup, HAUS! menjadi penantang arus. Startup yang bergerak di sektor minuman kekinian makin sumringah setelah mendapat suntikan modal Seri B baru-baru ini. Pendanaan Seri B merupakan model pendanaan yang diperuntukkan untuk ekspansi perusahaan, berkisar di angka Rp 33 miliar hingga Rp 88 miliar.
ADVERTISEMENT
Owner HAUS! Gufron Syarif menceritakan awal mula perusahaan berdiri pada Juni 2018 dengan modal awal Rp 150 juta. Satu tahun berjalan, bisnisnya berkembang dan memiliki 50 outlet yang tersebar di Jabodetabek. Pada akhir tahun 2020 BRI Venture Capital menyuntikkan pendanaan Seri A sebesar USD 2 juta sekaligus memperbanyak cabang menjadi 90 outlet.
HAUS! turut mencatatkan peningkatan penjualan sebesar 54,5 persen dari 11 juta dolar AS atau Rp 156 miliar pada 2020, menjadi 17,53 juta dolar AS atau setara dengan Rp 252 miliar pada 2021 usai mendapat suntikan dana dari BRI Ventures.
Saat ini ada beberapa investor yang tergabung dalam pendanaan HAUS! yaitu, venture capital regional seperti Strategic Year Holdings dan Atlas Global Ventures serta beberapa beberapa angel investors lain.
ADVERTISEMENT
“Kita tumbuh dengan cepat. Dan mungkin saat ini kita salah satu top of mind kategori beauty and boba di middle low,” katanya kepada kumparan, Selasa (21/6).
Gufron menuturkan, yang membuat HAUS! tidak terdampak di tengah badai PHK startup karena perusahaannya tidak bergantung pada pendanaan investor. Artinya, kondisi keuangan HAUS! sejak awal telah mencatatkan keuntungan. Berbeda dengan banyak startup di sektor teknologi yang cenderung minus atau rugi.
Gerai Haus! di Mal Sarinah. Foto: Dok. HAUS
“Jadi demi mengejar market akuisisi, mereka itu berkorban seperti itu (bakar-bakar duit). Nah kalau HAUS!, kita dari awal sudah profitable bottom line. Jadi sebenarnya operasional kita tidak tergantung pada fundraising,” jelas Gufron.
Selain dari sisi cash flow yang positif, produk HAUS! sesuai dengan kebutuhan konsumen. Konsumen telah tereduksi dengan produk minuman kekinian sejak tahun 2011 silam yang diawali oleh Chatime. Hal ini memberikan peluang HAUS! untuk masuk pada pangsa pasar kelas menengah ke bawah.
ADVERTISEMENT
“Jadi ketika menjalankan bisnis ini, kita sudah mulai riset dan tes pasar bahwa marketnya ini sudah ada, sudah tereduksi, tapi belum ada brand yang men-deliver masuk ke segmen (middle-low). Jadi ketika kita masuk sudah product market fit ada demand-nya jadi kita solving problem,” imbuhnya.
Selain HAUS!, Startup New Retail F&B Unicorn pertama di Asia Tenggara Kopi Kenangan juga semakin melesat. Perusahaan tersebut dikabarkan akan melakukan ekspansi ke Malaysia pada kuartal III tahun ini.
PR & Communications Kopi Kenangan Ruth Davina mengkonfirmasi kabar tersebut. Namun, Ruth belum bisa menjelaskan lebih detail mengenai waktu launching.
“Untuk saat ini kami belum bisa share. Baru bisa kami kabari saat nanti launching,” katanya.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten