Serikat Pekerja Kritik Konsep New Normal: Jangan Korbankan Buruh Demi Ekonomi

28 Mei 2020 14:00 WIB
comment
18
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Para buruh korban PHK membuat masker untuk penanganan virus corona, di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cilincing, Jakarta, Selasa (7/4). Foto: Dok. Biro Humas Kemnaker
zoom-in-whitePerbesar
Para buruh korban PHK membuat masker untuk penanganan virus corona, di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cilincing, Jakarta, Selasa (7/4). Foto: Dok. Biro Humas Kemnaker
ADVERTISEMENT
Serikat buruh di Jawa Barat memberi tanggapan mengenai new normal yang bakal diterapkan di Jabar pada 1 Juni. Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jabar, Roy Jinto, menilai pemerintah daerah yakni Pemprov Jabar tergesa-gesa dalam menerapkan new normal. Hasil kajian yang dilakukan oleh para peneliti mesti dipertimbangkan dengan matang.
ADVERTISEMENT
Ia menegaskan, jangan sampai new normal malah mengakibatkan gelombang penularan virus terlokalisasi di perusahaan. Sebab, marak pekerja yang pulang ke kampung halaman setelah dirumahkan oleh perusahaan. Menurut data yang diterimanya, Roy menyebut angka pekerja di Jabar yang dirumahkan sudah mencapai angka 200 ribu.
"Penyebaran COVID-19 ketika karyawan sudah semuanya bekerja, maka ada kekhawatiran penyebarannya menjadi fokus di industri-industri karena arus balik teman-teman buruh yang mudik dan sekarang harus bekerja kembali perlu diwaspadai," kata dia melalui sambungan telepon, Kamis (28/5).
Pekerja membuat kostum Alat Pelindung Diri (APD) di PT Kasih Karunia Sejati , Bandulan, Malang, Jawa Timur, Foto: Antara/Ari Bowo Sucipto
Roy pun menegaskan, pekerja jangan dijadikan korban pemerintah demi memulihkan perekonomian. Diketahui, fokus utama Pemprov Jabar memberlakukan new normal ialah memulihkan perekonomian yang belakangan ini terdampak signifikan. Adapun protokol new normal yang bakal diterapkan di perusahaan masih disiapkan.
ADVERTISEMENT
"Jangan tergesa-gesa mengambil keputusan yang dampaknya mengorbankan buruh demi kepentingan ekonomi," ucap dia.
Disinggung soal protokol kesehatan yang diterapkan di perusahaan, Roy menilai sebagian perusahaan sudah mulai menyediakan hand sanitizer dan masker sebagai alat pelindung diri. Namun demikian, social dan physical distancing bakal sulit diterapkan terutama di perusahaan manufaktur padat karya.
"Dalam industri itu kan dia enggak bisa menjaga jarak 2 meter dengan karyawan lain, karena proses produksi dalam satu ruangan itu agak sulit untuk menerapkan khususnya industri manufaktur padat karya kayak sepatu, garmen, tekstil, itu agak sulit menerapkan physical dan social distancing nya," papar dia.
"Kalau seluruhnya normal menjadi tiga shift kemudian seluruh karyawan masuk, ini potensi penyebaran COVID-19 sangat besar bisa makin masif penyebarannya dan bisa terlokalisasi hingga akhirnya menjadi penyebarannya di industri-industri," lanjut dia.
ADVERTISEMENT
Selain itu, perusahaan juga mesti melakukan rapid test untuk memastikan buruh yang bekerja dalam kondisi baik. Sejauh ini, Roy menegaskan, tidak ada perusahaan di Jabar terutama yang mendapatkan izin beroperasi saat penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) melakukan rapid test.
Perusahaan, lanjut Roy, beralasan biaya untuk membeli peralatan rapid test begitu mahal atau ketersediaan alat rapid test yang memang terbatas. Adapun data yang diterimanya, angka pekerja di Jabar yang terkonfirmasi positif corona berjumlah 10 hingga 15 orang. Mereka tersebar di berbagai wilayah seperti Bandung dan Bekasi.
"Walaupun dalam satu syarat itu harus melakukan rapid test kepada seluruh karyawannya, faktanya enggak ada. Gak dilaksanakan dengan alasan biaya terlalu mahal kemudian juga ketersediaan alat tes terbatas, jadi dalam hal itu banyak perusahaan yang tidak melaksanakan dan enggak ada juga sanksinya dari pemerintah," tandas dia.
ADVERTISEMENT