Qatar di Mata Boy Thohir

25 Desember 2022 13:20 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Stadion Lusail yang ikonik. Foto: Arifin Asydhad/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Stadion Lusail yang ikonik. Foto: Arifin Asydhad/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pengusaha nasional Boy Thohir menyaksikan langsung final Piala Dunia 2022 di Stadion Lusail, Qatar, pada 18 Desember 2022 lalu. CEO Adaro Energy Indonesia yang terkenal dengan jargon ‘seeing is believing’ ini takjub dengan Qatar yang sukes dalam menyelenggarakan event Piala Dunia 2022.
ADVERTISEMENT
“Ini the best. Indonesia harus belajar dari Qatar,” kata pria bernama asli Garibaldi Thohir ini.
Selama di Qatar, Boy menginap di Hotel Dusit D2 Salwa yang berada di kota lama Doha. Hotel yang bagus dan nyaman, namun berada di area Doha yang masih memperlihatkan sisi Timur Tengah.
Mayoritas bangunan berarsitektur lama, meski banyak juga hotel bintang lima yang berarsitektur modern. Old Doha sengaja dipertahankan pemerintah Qatar di tengah modernisasi kota Doha yang digeber sejak 10 tahun terakhir.
Boy Thohir berpose di backdrop #FIFAWorldCup. Foto: Arifin Asydhad/kumparan
Sejak ditetapkan sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 pada 2012, pemerintah Qatar langsung tancap gas mempercantik kota-kotanya, terutama Doha. Tak tanggung-tanggung, Pemerintah menggelontorkan US$ 200 miliar untuk membangun infrastruktur dan properti yang wah untuk menyambut Piala Dunia. Bila dirupiahkan, anggaran ini bernilai sekitar Rp 3.000 triliun. Angka yang jauh lebih tinggi dibanding APBN Indonesia.
ADVERTISEMENT
Qatar membangun 6 stadion baru dan merenovasi 2 stadion lama untuk penyelenggaraan Piala Dunia 2022. Kedelapan stadion ini tersebar di lima kota, yaitu Doha, Lusail, Al Khor, Al Wakrah, dan Al Rayyan.
Hotel Sheraton Grand Doha menyediakan fasilitas nobar Piala Dunia di pinggir pantai. Foto: Arifin Asydhad/kumparan
Stadion terbesar dan paling megah adalah Stadion Lusail, yang berada di kota Lusail, sekitar 20 km dari pusat kota Doha. Stadion yang digunakan sebagai tempat pertandingan final Prancis vs Argentina ini berkapasitas 88.000 penonton. Stadion yang sangat ikonik ini dibangun oleh HBK Contracting dan China Railway Construction Corporation selama 4,5 tahun. Groundbreaking pada 2017 dan diresmikan pada 2021.
Marina Yacht di Pearl, Doha. Foto: Arifin Asydhad/kumparan
Selain stadion, pemerintah Qatar membangun kawasan properti Pearl yang mewah. Lahan reklamasi ini dibangun mal, hotel, dan apartemen berkelas dan mewah. Juga ada marina untuk yacht yang indah. Bangunan-bangunan di Pearl berarsitektur modern. Bila malam, pemandangan Pearl makin indah, karena dengan gemerlap lampu LED.
ADVERTISEMENT
Pemerintah juga membangun kawasan komersial di dekat Souq Al Waqif, dengan bangunan-bangunan modern. Berbagai brand kalas atas mejeng di kawasan komersial ini. Trotoar dibuat lebar dengan kualitas yang sangat bagus untuk memanjakan para pejalan kaki.
Ada juga tram yang memudahkan pelancong untuk menyusuri kawasan ini. Suasana seperti bukan di Timur Tengah, tapi mirip di Eropa dan Amerika. Keren! Namun, suasana kuliner di Souq Al Waqif yang bergaya lama tetap dipertahankan. Selama Piala Dunia digelar, kawasan ini penuh dengan para wisatawan asing.
Kota Lusail, yang merupakan kota terbesar kedua setelah Doha, juga didandani dengan sangat modern. Banyak hotel berbintang lima dibangun di kawasan ini. Gaya arsitekturnya juga sangat keren dan ikonik.
Cruise Hotel yang disediakan untuk menampung penonton Piala Dunia 2022. Foto: Arifin Asydhad/kumparan
Selain ada stadion Lusail, juga ada Katara Towers, yang merupakan bangunan berdesain dua pedang Qatar yang menyilang. Di Tower ini, berdiri hotel berbintang enam dan restoran mahal. Katara Towers yang indah terlihat jelas dari kawasan Marina Yacht Pearl.
ADVERTISEMENT
Saat hari H pertandingan final Prancis Vs Argentina, Boy Thohir meninggalkan Hotel Dusit D2 sekitar pukul 12.00 dengan sebuah bus. Sebelum menuju Stadion Lusail, Boy mampir ke sebuah hotel di Al Corniche Street untuk makan siang. Tiba di Lusail sekitar pukul 15.30. Karena bus tidak memiliki stiker khusus, maka bus harus parkir di lokasi yang cukup jauh dari stadion. Sekitar 1,5 km.
Boy Thohir saat jalan menuju Stadion Lusail. Foto: Arifin Asydhad/kumparan
Seorang Boy yang pengusaha tajir itu, rela berjalan selama 30 menit untuk mencapai stadion itu di tengah terik Matahari. Boy yang menjagokan Argentina sebagai juara itu berjalan bersama ribuan suporter Argentina yang mengenakan jersey biru putih.
Sebenarnya mudah bagi Boy untuk mendapat stiker khusus, agar kendaraan bisa mendekati stadion. Tapi, itu tidak ia lakukan. Dia ingin merasakan gegap gempita final Piala Dunia yang dilakukan penonton biasa. Ribuan pendukung Argentina yang menyanyikan lagu ‘Muchachos’ sepanjang perjalanan membuat perjalanan menuju stadion tidak melelahkan.
ADVERTISEMENT
Boy masuk ke arena stadion dengan ikut antre melakukan scan tiket dan Hayya Card. Tiket nonton final yang dikantongi Boy adalah tiket kelas penonton biasa, kategori 2. Berada di tingkat 5, dengan gate 29. Tapi menjelang masuk gate, nasib baik menghampiri Boy. Tiba-tiba Boy mendapat telepon untuk ikut bergabung menonton aksi Messi dan Mbappe di Royal Box, bersama para undangan khusus. Karena diminta, Boy tidak kuasa menolaknya.
Seusai pertandingan 2x45 menit plus perpanjangan 2x15 menit plus adu penalti, yang akhirnya dimenangi Lionel Messi dan kawan-kawan, Boy bergabung kembali bersama rombongan.
Closing ceremony Piala Dunia 2022 yang dahsyat. Foto: Arifin Asydhad/kumparan
Boy merasakan kembali gegap gempita para pendukung Argentina di luar stadion yang meluapkan kegembiraannya. Sekitar pukul 22.00, Boy kembali menuju bus yang diparkir 1,5 km dari stadion dengan kembali berjalan kaki.
ADVERTISEMENT
Boy tampak gembira dan semringah. Bukan hanya karena Argentina juara, tapi dia puas dengan perhelatan kelas dunia yang disodorkan negara pimpinan Syaikh Tamim bin Hamad Al Thani ini.
Menurut dia, penyelenggaraan Piala Dunia di Qatar ini begitu rapi dan semarak. “Yang hebat, Qatar bisa menyajikan Piala Dunia ini sebagai sportainment. Bisa kita lihat, tidak ada orang yang meninggalkan tempat duduk, sampai pertandingan selesai. Ini luar biasa, Rasanya seeing is believing. Kita bisa belajar banyak bagaimana Qatar berhasil menyelenggarakan World Cup ini. Ini the best, dibanding event-event sebelumnya,” kata Boy, yang saat menonton final mengenakan jaket Piala Dunia U-20.
Boy Thohir berselimut bendera merah putih seusai masuk ke area Stadion Lusail. Foto: Arifin Asydhad/kumparan
Menurut Boy, Indonesia yang menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 pada 2023, perlu belajar dari Qatar. “Walau saya tahu dari sisi investasi dan fasilitas, kita tidak bisa menyamai prestasi dan dana yang dikeluarkan pemerintah Qatar, tapi tentunya ada hal-hal yang bisa kita pelajari,” ujar Boy.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, kebijakan pemerintah Qatar melarang penjualan alkohol untuk umum, meski di beberapa bintang 5, penjualan minuman alkohol diperbolehkan. “Karena ada larangan penjualan alkohol secara bebas, akhirnya tidak ada penonton yang ribut, tidak ada yang berkelahi, tidak ada yang ditangkap karena pengaruh alkohol. Jadi ada sisi positifnya,” kata Boy.
Menurut Boy, Qatar merupakan negara muslim yang terbuka, namun masih konservatif. Qatar masih mempertahankan nilai-nilai Islami yang selama ini mereka pegang. “Bagus juga ada value-value yang dipertahankan, Qatar ingin menunjukkan bahwa mereka punya culture seperti ini. Mereka tidak mau ditekan oleh nagara-negara lainnya. Dan ini bisa kita contoh. Ini cocok juga dengan pernyataan Presiden Jokowi saat di Brussel bahwa kita sebagai bangsa Indonesia sebagai negara besar, kalau bekerjasama kita harus berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Penyelenggaraan ini bisa kita pelajari,” ujar Boy.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana diketahui, setidaknya ada dua keputusan Qatar yang diprotes oleh negara-negara Barat. Pertama, soal pelarangan penjualan minuman beralkohol. Kedua, soal pelarangan atribut LGBT. Komunitas LGBT dipersilakan menonton, tapi harus menaati aturan yang ditetapkan Qatar. Salah satunya, komunitas LGBT tidak membawa atribut LGBT, seperti bendera pelangi. Selama penyelenggaraan Piala Dunia, tidak ada bendera Pelangi yang berkibar. Qatar sangat keras dalam memandang LGBT.
Qatar memang bukan negara yang memiliki luas wilayah yang besar. Namun, Qatar merupakan negara kaya karena merupakan penghasil gas terbesar di dunia. Penduduk Qatar sekitar 3 juta, namun sekitar 85 persennya adalah pendatang (ekspatriat). Pendapatan perkapita Qatar mencapai US$ 68.000. Bandingkan dengan pendapatan perkapita Indonesia yang hanya US$ 4.300.
ADVERTISEMENT