PT GKP Dinilai Keliru Tafsirkan Putusan MK Nomor Perkara 35/PUU-XXI/2023

28 Maret 2024 19:25 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Aditia Noviansyah
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Aditia Noviansyah
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Koalisi Masyarakat Sipil bersama dengan Perkumpulan Ekologi Maritim Indonesia (Ekomarin), Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), menilai PT Gema Kreasi Perdana (GKP) keliru menafsirkan putusan MK Nomor Perkara 35/PUU-XXI/2023.
ADVERTISEMENT
Hal ini menanggapi artikel berita yang berjudul "PT Gema Kreasi Perdana Respons Putusan MK Soal Penambangan Di Pulau Kecil”.
Dalam keterangan tertulisnya, Koalisi Masyarakat Sipil bersama dengan Ekomarin, dan PBH meminta PT GKP untuk memahami secara komprehensif dan utuh terkait Putusan MK Nomor Perkara 35/PUU-XXI/2023.
"Tidak dikutip beberapa bagiannya saja yang menguntungkan perusahaan," tulisnya.
Perlu diketahui, sebelum menjatuhkan putusan, MK telah merumuskan dua persoalan yang diajukan oleh PT GKP.
Pertama, apakah benar norma Pasal 23 ayat (2) UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP3K) No. 27/ 2007 jo No. 1/2014 tidak memberikan jaminan hak atas pengakuan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin UUD 1945.
Kedua, apakah benar norma Pasal 35 huruf k UU PWP3K tidak memberikan jaminan hak atas pengakuan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum tanpa adanya diskriminasi sebagaimana dijamin oleh UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Mengingat MK menolak gugatan PT GKP tersebut, maka implikasinya yaitu Norma Pasal 23 ayat (2) UU PWP3K yang melarang kegiatan pertambangan berikut sarana dan prasarananya, selain untuk kegiatan yang diprioritaskan tidak bertentangan UUD 1945.
Selain itu, Norma Pasal 35 huruf k UU PWP3K yang mengatur kegiatan pertambangan dilarang secara mutlak tanpa syarat tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Artinya, ada permohonan PT GKP yang meminta MK menafsirkan kedua pasal di atas, sehingga Pulau Kecil, in casu Pulau Wawonii boleh ditambang. Akan tetapi dalam putusan MK, permohonan tersebut ditolak oleh MK.
"Putusan tersebut harus diapresiasi karena kegiatan pertambangan sudah pasti merusak alam, terlebih pertambangan terbuka," tulisnya.
Ilustrasi pulau kecil. Foto: Shutterstock
Putusan Mahkamah Konstitusi menguatkan Putusan Mahkamah Agung No. 57 P/HUM/2022, yang menyatakan bahwa pertambangan di pulau kecil masuk ke dalam kategori abnormally dangerous activity.
ADVERTISEMENT
Pertambangan di pulau kecil merupakan abnormally dangerous activity karena bisa memicu bahaya tingkat tinggi untuk manusia dan lingkungan hidup.
Sehingga dapat menimbulkan terjadinya bahaya besar, terlebih dengan adanya ketidaksesuaian antara sifat kegiatan dengan kondisi lingkungan tempat berlangsungnya kegiatan pertambangan.
Di Pulau Wawonii, kegiatan penambangan PT GKP dinilai telah menciptakan kerusakan pada lingkungan yang kemudian berdampak pada berbagai aspek kehidupan masyarakat setempat.
Termasuk di dalamnya kerusakan pada tanah, keanekaragaman hayati yang berada pada sekitar wilayah pertambangan dan terancamnya sumber penghidupan masyarakat setempat.
Adapun pertambangan di Pulau Wawonii tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat yang mengutamakan pertanian sebagai sumber mata pencaharian utama.
"Kekeliruan penafsiran yang serampangan terhadap Putusan MK tersebut dinilai sebagai upaya defensif terhadap Putusan Mahkamah Agung yang membatalkan ruang tambang di Wawonii maupun Mahkamah Konstitusi. Pemerintah harus secara tegas menindaklanjuti Putusan MA dan Putusan MK tersebut sebagai basis untuk melarang kegiatan pertambangan PT GKP di Wawonii," tulisnya.
ADVERTISEMENT