Menteri Trenggono Singgung Dampak Pengeboran Migas Bagi Keberlanjutan Laut

23 Maret 2021 18:47 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi pengeboran minyak lepas pantai. Foto: Dok. Pertamina
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pengeboran minyak lepas pantai. Foto: Dok. Pertamina
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Lebih dari 100 anjungan (platform) minyak dan gas (migas) di lepas pantai Indonesia sudah tidak beroperasi. Kerangka tersebut berhenti digunakan karena sumur yang ada di dalam laut tidak lagi memproduksi migas.
ADVERTISEMENT
Menteri Kelautan dan Perikanan Wahyu Sakti Trenggono mengatakan ratusan kerangka anjungan migas lepas pantai (AMLP) itu harus dibongkar (decommisioning) agar tidak mengganggu keberlanjutan makhluk hidup di laut.
Jika dibiarkan begitu saja, maka akan berdampak besar terhadap lingkungan yang berkelanjutan. Utamanya untuk keselamatan ekosistem terumbu karang. Apalagi menurutnya terumbu karang mampu menggenerate karbondioksida lebih besar dibandingkan dengan hutan.
"Terbayangkah ketika misalnya ada satu perusahaan yang menginginkan 1 eksplorasi di tengah laut dampak apa yang terjadi dan berapa besar kerugian secara lingkungan yang berdampak pada keberlanjutan," kata dia dalam diskusi Pemanfaatan AMLP untuk Kepentingan Sektor Kelautan dan Perikanan yang diadakan Persatuan Insinyur Indonesia (PII) secara virtual, Selasa (23/3).
Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono. Foto: Humas KKP
Trenggono menyinggung Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) agar tidak hanya berbicara mengenai nilai keekonomian untuk urusan ini.
ADVERTISEMENT
Sebab, jika banyak terumbu karang yang rusak akibat pengeboran migas di laut, butuh waktu 100 tahun untuk kembali mengembalikannya.
Untuk itu, dia meminta agar proses pembongkaran anjungan migas lepas pantai dapat segera dilakukan. Mantan Wakil Menteri Pertahanan itu juga berharap agar koordinasi antar Kementerian atau Lembaga dapat dilakukan secara baik.
"Berkoordinasi lah dengan kita. Kalau kita pinggirkan kita hitung betul bagaimana dampaknya kalau itu dilakukan pengeboran manfaatnya lebih besar mana dibanding jumlah kerusakannya," kata Trenggono.
Dalam kesempatan yang sama, Deputi Operasi SKK Migas Julius Wiratno mengatakan, masih dibiarkannya anjungan itu karena belum ada biaya untuk memotongnya.
"Untuk 100 platform lebih yang memang tidak akan dioperasikan lagi, namun ada kendala biaya dan berinteraksi lembaga terkait yang memberikan perizinan," katanya.
ADVERTISEMENT
Selain terkendala biaya, Julius mengatakan ada hal-hal administratif yang perlu dukungan dari Kementerian Keuangan. Pengelolaan anjungan yang usang itu bukan hanya sekadar memotongnya, tapi juga harus ada perizinan dari pemerintah sebab asetnya merupakan Barang Milik Negara.
Sebelum bisa dipotong, anjungan tersebut harus dilihat secara detail apakah masih ada nilai kebermanfaatannya. Selain itu, perlu juga pelepasan status (right off) dari negara sebelum dihancurkan.
Adanya beban pembiayaan pembongkaran anjungan karena terdapat perbedaan kontrak migas di masa lalu. Sebelum 1964, kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) tidak kewajiban untuk pencadangan dana pascatambang (abandonment and site restoration/ASR).
Namun dengan konsep PSC cost recovery saat ini, seluruh aset migas tersebut menjadi milik pemerintah dan sudah memasukkan kewajiban ASR itu.
ADVERTISEMENT
"Jadi cukup complicated. Tapi sejauh ini sudah mulai membaik (koordinasinya)," ucap Julius.