Menerka Masa Depan (Ratusan) Pilot

1 Februari 2018 14:36 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Seseorang dihadapkan pada pilihan sulit setelah menyelesaikan 12 tahun sekolah. Para remaja yang beranjak ke tahap dewasa mulai menyusun masa depan mereka. Pada tahap ini pertanyaan “mau jadi apa” benar-benar harus dijawab pasti, tak seperti saat di bangku sekolah dasar.
ADVERTISEMENT
Kebimbangan akan masa depan, di sisi lain, menjadi kesempatan bagi sekolah-sekolah tinggi yang menawarkan jurusan dengan ragam profesi yang dijanjikan bermasa depan cerah.
Iming-iming sekolah cepat dengan gaji tinggi salah satunya santer terdengar dari sekolah-sekolah pilot. Anda bisa menjadi penerbang lewat pendidikan kilat, dengan jaminan dipekerjakan maskapai, dan bakal mengantongi gaji tinggi.
“Komitmen pelatihan kami adalah Anda bisa menjadi pilot komersial dalam waktu kurang dari 12 bulan,” tulis NAM Flying School yang menggunakan nama maskapai Sriwijaya Group sebagai daya tarik di situsnya.
Atau Nusa Flying International School yang di situsnya menulis, “Tingkat penerimaan lulusan di maskapai penerbangan yang tinggi merupakan indikator utama sekolah terbang yang sangat baik bagi kami.”
ADVERTISEMENT
Jaminan sukses menjadi pilot juga digaungkan oleh satu-satunya sekolah penerbangan negeri di Indonesia, Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia. Ketua STPI tahun 2014, Ir. Yurlis Hasibuan, mengatakan “Lulusan kami banyak dan kini 100 persen terserap lapangan kerja, terutama untuk penerbang.”
Kalimat-kalimat manis memang bisa melambungkan hati. Kenyataannya, perjalanan menjadi pilot tak semulus dan semanis itu. Apalagi saat ini.
Akhir 2017, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengumumkan banyak pilot pemula yang menganggur. Jumlahnya tak tanggung-tanggung: 600-an (sebelumnya bahkan sempat disebut 1.200 orang).
Padahal, lulus dari sekolah pilot bukan perkara sederhana. Ada proses seleksi ketat hingga biaya pendidikan luar biasa mahal.
Biaya sekolah penerbangan di Indonesia (Foto: Chandra Dyah Ayuningtyas/kumparan)
Untuk mendaftar menjadi siswa sekolah penerbangan, calon siswa harus dalam kondisi kesehatan prima, utamanya sehat mata, telinga, dan jantung. Selain itu, kemampuan Bahasa Inggris tak boleh buruk. Skor Test of English for International Communication (TOEIC) minimal 500.
ADVERTISEMENT
Soal biaya pendidikan, (keluarga) calon siswa jelas harus siap mengeluarkan biaya selangit. Untuk menjalani pendidikan sekitar 1,5 sampai 2 tahun, duit yang diperlukan berkisar Rp 600 juta hingga Rp 1 miliar. Sebagai perbandingan, angka tersebut lima kali lipat dari biaya kuliah di The London School of Public Relations selama 8 semester.
Memang, ada sekolah penerbang yang jauh lebih murah, yaitu STPI di Curug, Tangerang. Sekolah ini milik pemerintah, di bawah Kementerian Perhubungan. Biaya pendidikan di STPI sekitar Rp 89 juta karena anggaran perawatan fasilitas sekolah disubsidi pemerintah.
Namun tentu saja, untuk diterima di STPI harus melalui seleksi ketat dengan ribuan saingan.
Sekolah pilot STPI. (Foto: Jafrianto/kumparan)
Setelah diterima sebagai siswa, calon-calon pilot akan menerima pendidikan untuk mendapatkan tiga lisensi dasar seorang pilot.
ADVERTISEMENT
Pertama, setelah melalui latihan dan 60 jam terbang, siswa akan menerima lisensi pertama yang paling dasar, yaitu Private Pilot License.
Pemegang PPL diizinkan menerbangkan pesawat untuk kepentingan sendiri--nonkomersial, tidak untuk dibayar, tidak diperbolehkan membawa penumpang, dibatasi pada pesawat bermesin tunggal, dan hanya diperkenankan terbang pada siang hari.
Lisensi kedua adalah Commercial Pilot License. Pemegang CPL diizinkan menerbangkan pesawat bermesin tunggal, membawa penumpang, dan boleh pada malam hari. Ia juga bisa melakukan penerbangan komersial, tapi tanpa kru. Sebatas penerbangan baliho, penyemprotan kebun, pemadaman api, pesawat sewaan, pemantauan laporan lalu lintas, pemotretan udara, dan dalam kapasitas sebagai instruktur terbang.
CPL adalah syarat minimal pilot komersial. Di Indonesia, CPL mensyaratkan 150 sampai 250 jam terbang. Setelah memperoleh CPL, siswa sekolah pilot dapat melanjutkan jam terbangnya sekitar 10 jam untuk memperoleh izin terbang ketiga, yakni Instrument Rating.
ADVERTISEMENT
IR adalah lisensi tambahan untuk melengkapi CPL. Dengan IR, pilot dapat menerbangkan pesawat di siang dan malam hari, pun dalam kondisi cuaca agak buruk seperti berkabut, mendung, dan apapun yang berpotensi menghalangi penglihatan.
Apabila seorang siswa sudah memegang tiga lisensi tersebut (Private Pilot License/PPL, Commercial Pilot License/CPL, dan Instrument Rating/IR), maka ia dinyatakan lulus, dan kemudian disebut ab initio pilot atau pilot pemula.
Lisensi Standar Para Pilot (Foto: Chandra Dyah Ayuningtyas/kumparan)
Bermodal tiga lisensi di atas, pilot pemula bisa melamar menjadi penerbang di maskapai penerbangan manapun di Indonesia, baik besar maupun perintis, niaga ataupun nonniaga.
Tapi, apakah dengan mengantongi tiga lisensi tersebut, janji manis iklan sekolah pilot yang mengatakan “sekolah cepat, gampang kerja, dan gaji tinggi” terbayar tepat seperti harapan?
ADVERTISEMENT
Untuk saat ini, jawabannya: tidak.
Ini bisa jadi bukan semata soal iming-iming sekolah yang palsu, tapi karena lulusan sekolah pilot terlalu banyak, dan tidak ada perhitungan baik antara kebutuhan maskapai akan pilot, dengan lulusan pilot yang tersedia setiap tahunnya.
Ketiadaan perhitungan ini membuat penawaran dan permintaan berat sebelah.
“Sampai 2015, pertumbuhan maskapai kurvanya naik. Setelah 2015, praktis datar,” kata Menhub Budi Karya saat bekunjung ke kumparan, Rabu (17/1).
Stagnasi industri penerbangan otomatis membuat daya serap tenaga pilot, khususnya pemula, berkurang drastis. Ini jadi masalah besar. Apalagi sebelumnya, berbagai pihak termasuk Kementerian Perhubungan, sudah terlanjur menggaungkan Indonesia kekurangan pilot.
Hal tersebut misalnya pada Januari 2013 dikatakan Bambang Susantono yang saat itu menjabat wakil menteri perhubungan. “Untuk pertumbuhan industri penerbangan saat ini, kita butuh 1.000 pilot setahun. Namun, kemampuan mencetak pilot kita hanya 400-500 pilot setahun.”
ADVERTISEMENT
Program sekolah penerbangan dianggap perlu untuk mencetak pilot-pilot baru. Maka, rencana-rencana untuk menambah tenaga pilot disusun sedemikian rupa. Para pengusaha pun tertarik.
“Pemerintah enggak komunikasi. Akhirnya beberapa airlines membuka flying school sendiri. Untuk ngamanin posisi dong, kan mau ngembangin usaha,” tutur Kepala HRD Sriwijaya Group, Agus Setiawan, di kantor pusat Sriwijaya, CBC Tower, Tangerang.
Hingga akhirnya, pembentukan sekolah-sekolah pilot nyaris serentak tersebut--seharusnya bisa diduga--memanen pilot secara berbarengan pada 2015, 2016, dan 2017.
Siswa pilot di STPI. (Foto: Jafrianto/kumparan)
Keadaan berbalik. Dari minus pilot menjadi surplus pilot.
Tak semua pilot dapat diserap oleh maskapai penerbangan. Apalagi saat industri penerbangan stagnan seperti saat ini.
Pun, ujar Menteri Budi, masalah bukan hanya pada lulusan yang membeludak, tapi juga kurang kompeten lantaran beberapa sekolah penerbangan tak memenuhi kualifikasi persyaratan sekolah pilot.
ADVERTISEMENT
Padahal, yang mengeluarkan izin pendirian sekolah penerbangan adalah Kementerian Perhubungan. Yang melakukan pengujian akhir terhadap siswa penerbangan pun dari Kementerian Perhubungan.
Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kemhub Agus Santoso, saat menghadiri wisuda penerbang STPI di Curug, Tangerang, Sabtu (27/1), memberikan penjelasan.
“Begini, saat sekolah dibuka, itu kan masa lalu. Kita tidak boleh menyalahkan masa lalu. Tapi dengan kondisi sekarang, bagaimana mengatasinya. Waktu dulu diusulkan pembentukan sekolah penerbangan, minimum requirement telah dilewati. Karena itu Direktorat Perhubungan Udara di masa itu memberikan izin.”
Ilustrasi penolakan. (Foto: Shutter Stock)
Wahyu (bukan nama sebenarnya) adalah pilot pemula yang sudah lebih dari setahun menganggur. Di tahun ia diwisuda, Wahyu lulus bersama ratusan pilot pemula lain dari 20-an sekolah penerbangan. Ditambah lulusan tahun sebelumnya yang belum terserap oleh maskapai penerbangan, artinya Wahyu harus bersaing dengan ribuan pilot pemula lain.
ADVERTISEMENT
Puluhan lamaran sudah ia layangkan ke berbagai maskapai, namun panggilan tak kunjung datang. Dan janji manis reklame sekolah penerbangan menguap ke udara.
Menurut Wahyu, sejak lulus hingga diterima oleh maskapai penerbangan, seorang pilot pemula harus memiliki tiga hal.
Ucapan Wahyu tak berlebihan. Kini, dengan banyaknya suplai tenaga pilot, maskapai penerbangan mengubah regulasi penerimaan pilot baru. Standar persyaratan ditingkatkan. Bukan hanya soal kemampuan, tapi juga uang.
Sebagai contoh, beberapa maskapai mensyaratkan pilot pemula untuk memiliki Airline Transport Pilot License Ground (ATPL Ground).
ATPL (bukan ATPL Ground) merupakan lisensi tertinggi pilot di maskapai dengan penerbangan terjadwal. Lisensi ini biasanya dimiliki pilot setingkat kapten dengan pengalaman lebih dari 1.500 jam terbang.
ADVERTISEMENT
Sementara ATPL Ground ialah sertifikat yang menyatakan seorang pilot telah lulus ujian tertulis sertifikasi ATPL, tapi tanpa pengalaman terbang. Jadi untuk mendapatkan ATPL, seorang pilot harus mengikuti tes lanjutan saat sudah memiliki cukup jam terbang.
Meski sertifikasi ATPL Ground yang disyaratkan hanya tes tertulis, tetapi harganya sungguh tak murah, mencapai Rp 15 juta. Ini bukan nominal yang sedikit setelah sebelumnya para pilot pemula mengeluarkan biaya hampir Rp 1 miliar untuk pendidikan pilot “saja”.
Dan soal duit tak berhenti sampai di sini. Setelah diterima di maskapai, pilot pemula akan dididik untuk menerbangkan pesawat sesuai jenis pesawat yang akan ia terbangkan. Tahap ini disebut type rating.
Type rating adalah sertifikasi untuk menerbangkan pesawat jenis tertentu yang membutuhkan pelatihan tambahan di luar kemampuan lisensi awal, misalnya pesawat jenis Airbus atau Boeing.
ADVERTISEMENT
Dulu, biaya untuk sertifikasi tersebut ditanggung oleh maskapai penerbangan yang mempekerjakan pilot. Tapi sekarang semua berubah. Biaya type rating yang mencapai angka Rp 300 juta harus ditanggung sendiri oleh sang pilot pemula.
“Karena pilotnya banyak dan ada risiko pada perusahaan. Dulu, kami biayai satu orang untuk investasi jadi pilot kurang lebih sekitar USD 340 ribu. Dan pilot itu lisensinya enggak boleh ditahan perusahaan. Lisensi harus dipegang setiap terbang. Lalu kalau pilot kabur (ke maskapai lain), siapa yang nangis?” tutur Kepala HRD Sriwijaya Group, Agus Setiawan.
Kualifikasi Khusus Pilot (Foto: Chandra Dyah Ayuningtyas/kumparan)
Pun setelah memegang ATPL dan type rating yang harganya selangit, belum ada jaminan pilot pemula pasti diterima di maskapai. Masih ada syarat selanjutnya yang menurut Wahyu merupakan syarat terpenting dalam kondisi saat ini, yaitu kenalan yang memiliki wewenang di maskapai yang dilamar.
ADVERTISEMENT
“Sepintar-pintarnya saya, seberuntung-beruntungnya saya, sekaya-kayanya saya, tapi enggak punya relasi, nihil. Nol,” tutur Wahyu.
Ucapan Wahyu diamini Bagas (juga bukan nama sebenarnya), sesama pilot pemula yang belum lama ini diterima di salah satu maskapai besar Indonesia.
Serupa Wahyu, Bagas sudah melakukan segala cara agar dapat diterima bekerja di maskapai penerbangan.
“Saya mencoba di setiap tes. Saya belajar terus. Tiap gagal, saya pelajari lagi di mana letak kesalahannya,” kata Bagas, Kamis (25/1).
Namun, menurut Bagas, belajar saja ternyata tak cukup. Ia akhirnya menyerah berjuang dengan kemampuan sendiri, dan mencoba peruntungan dengan meminta bantuan seorang kenalan yang memiliki jabatan di maskapai.
“Lalu saya jadi tahu dari ngobrol-ngobrol, ternyata ada (pilot pemula) yang tidak sesuai kualifikasi, (tapi diterima). Jadi saya rasa relasi tuh penting di airlines. Saya mencoba mencari kenalan-kenalan, siapa tahu ada yang mau membantu. Ternyata ada yang bantu,” ujarnya.
Siswa sekolah pilot. (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
Soal ratusan pilot pengangguran ini, maskapai Lion Air berpendapat kemampuan pilot pemula Indonesia kurang memenuhi syarat, bahkan pada hal mendasar seperti Bahasa Inggris.
ADVERTISEMENT
“Selama ini yang banyak enggak lulus di TOEIC. Kami mensyaratkan 700, tapi ada yang mencoba sampai tujuh kali tapi tetap enggak lulus,” ujar Managing Director Lion Air Group, Daniel Putut Kuncoro Adi.
Ia mengatakan, pada Juni 2017, dari 150 pilot yang dibutuhkan, hanya 55 pilot yang lolos seleksi. Sementara pada Desember 2017, dari 300 pendaftar, hanya 2 pilot yang lolos.
Namun, ucapan soal kemampuan pilot pemula yang kurang itu, dipertanyakan Wahyu dan Bagas. Sebab, mereka berdua adalah siswa berprestasi di sekolahnya dengan kemampuan Bahasa Inggris mumpuni.
Wahyu memiliki skor TOEIC 850, dan Bagas pernah tinggal di negara berbahasa Inggris untuk waktu relatif lama.
Kementerian Perhubungan kini mengupayakan berbagai cara untuk menyelesaikan persoalan pengangguran pilot yang membeludak ini. Dari mendidik kembali para pilot pemula, menertibkan sekolah-sekolah pilot, hingga menawarkan pilot-pilot tersebut ke maskapai negara-negara lain.
ADVERTISEMENT
Penertiban sekolah pilot misalnya dengan melakukan moratorium sekolah penerbangan, dan menutup dua sekolah yang tidak memenuhi persyaratan.
Pakar dan konsultan penerbangan Gerry Soejatman berpendapat, masalah pilot pengangguran ini dapat teratasi jika pemerintah serius menangani.
“Dengan asumsi kemampuan para pilot itu normal, tidak jelek, tahun 2020 hal ini mestinya sudah terselesaikan,” tutur Gerry di kediamannya, Jakarta Selatan, Selasa (30/1).
Pertanyaan selanjutnya: bagaimana para pilot pengangguran itu menjaga kemampuan terbang mereka selama menunggu nasib baik di darat?
Ini kembali jadi dilema.
ADVERTISEMENT
Ah, cita-cita menjadi pilot benar-benar harus dipikir ulang.
Siswa pilot. (Foto: Jafrianto/kumparan)
------------------------
Jangan lewatkan isu mendalam lain dengan mengikuti topik Ekspose di kumparan.