Malang Nasib Industri Karet, Lahan Semakin Tergusur Kelapa Sawit dan Tebu

1 Januari 2024 12:34 WIB
ยท
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Konversi lahan karet menjadi lahan sawit dan tebu di kawasan Sumatera Selatan. Foto: Dok. Gapkindo
zoom-in-whitePerbesar
Konversi lahan karet menjadi lahan sawit dan tebu di kawasan Sumatera Selatan. Foto: Dok. Gapkindo
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Industri karet di Indonesia semakin tidak baik-baik saja. Kinerja produksi dan ekspor karet alam semakin menurun dari tahun ke tahun, salah satunya imbas penyusutan lahan karena dibabat untuk komoditas lain yang lebih menguntungkan.
ADVERTISEMENT
Assistant Executive Director Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo), Uhendi Haris, mencatat sejak tahun 2017 industri karet alam dalam negeri mencapai titik puncak produksi dan ekspor, angkanya konsisten menurun hingga tahun ini.
"Bukan menjelekkan pemerintah, karena memang pemerintah saat ini sepertinya tidak memiliki atau sangat kecil perhatiannya terhadap komoditas ini," katanya saat ditemui kumparan di kantor pusat Gapkindo, Selasa (19/12).
Uhendi mempertanyakan keberpihakan pemerintah kepada industri karet yang semakin nihil. Komoditas karet bak seorang anak yang harus menelan pil pahit, sebab orang tuanya terlalu mengelu-elukan sang anak emas, yaitu kelapa sawit.
"(Seperti) anak pungut malah. Nah itulah yang tidak sama sekali dimengerti, mestinya ya ada keseimbangan lah. Walaupun fokus kepada tanaman pangan. Tidak berarti menegasikan yang lain," tegasnya.
ADVERTISEMENT
Namun Uhendi maklum, komoditas sawit bisa menyumbang nilai ekspor jumbo hingga USD 30 miliar per tahunnya. Sementara nilai ekspor karet hanya mencapai USD 3 miliar saja dan itu pun terus menurun.
Konversi lahan karet menjadi lahan sawit dan tebu di kawasan Sumatera Selatan. Foto: Dok. Gapkindo
Berdasarkan catatan Gapkindo, pada tahun 2017 produksi karet alam di Indonesia mencapai 3,6 juta ton dengan ekspor sebesar 3,2 juta ton. Nilai ekspor tersebut mencapai USD 5,58 miliar di tahun itu.
Angka tersebut terus menurun. Produksi karet alam di 2018 turun menjadi 3,53 juta ton dengan ekspor 2,95 juta ton. Kemudian di 2019, produksinya 3,3 juta ton dengan ekspor 2,58 juta ton. Di tahun 2020 saat pandemi COVID-19 menerjang, produksi karet alam turun menjadi 3,04 juta ton dan ekspor 2,46 juta ton.
ADVERTISEMENT
Lalu di tahun 2021, produksi karet alam mencapai 3,05 juta ton dengan ekspor 2,38 juta ton. Di tahun 2022, produksi kembali turun di 2,65 juta ton dan ekspor 2,08 juta ton atau senilai USD 3,65 miliar. Sementara di tahun 2023, proyeksi nilai ekspor karet alam hanya tembus USD 2,51 miliar.
"Tapi untuk membangkitkan nilai ekspor USD 3,6 miliar itu juga bukan hal yang gampang kan. Ya mestinya karet yang sudah memang nyata memberikan kontribusi itu dipertahankan sebenarnya," kata Uhendi.
Uhendi menuturkan, meskipun berkontribusi kecil, karet tetap mendatangkan devisa yang nyata bagi Indonesia. Dengan demikian, dia meminta pemerintah setidaknya mempertahankan keberlangsungan industri karet.
"Karet ini memang harus betul-betul diperlakukan sebagai sebuah komoditi unggulan yang nanti bisa mempertahankan neraca perdagangan kita. Ya kalau enggak nanti kita mau defisit terus, nilai ekspor kita akan turun, perolehan devisa akan semakin turun," jelas dia.
ADVERTISEMENT
Dia juga menyoroti perkembangan lahan sawit yang sangat masif di Indonesia. Bahkan, lahan sawit sampai menggerogoti lahan karet, baik perkebunan rakyat maupun BUMN melalui PTPN. Fenomena ini disebut land grabbing atau perampasan lahan.
Uhendi mencontohkan beberapa kawasan karet yang sudah terkonversi sawit, seperti di Kecamatan Tiang Pumpung Kabupaten Merangin, Kecamatan Mestong Kabupaten Muaro Jambi, dan Kecamatan Batin VIII, Kabupaten Sarolangun
"Ini kan sudah ditebangi karet sawit, di tengah-tengah karet sudah masuk sawit gitu. Nanti katanya kalau ini sawitnya sudah besar disuntik, istilahnya dimatikan. Jadi karetnya hilang sawitnya yang muncul," ungkapnya.
Selain sawit, komoditas lain yang melahap area karet yaitu tebu. Menurut dia, pemerintah dengan program ketahanan pangannya menyebabkan maraknya penebangan kayu karet yang masih produktif.
ADVERTISEMENT
"Ini dikhawatirkan kalau semua ditebang, yang produktif ditebang, ini akan berbahaya terhadap kontinuitas. Tapi kalau ditanya seberapa besar sekarang, berapa luas, kita belum punya data. Belum punya data yang akurat tentang itu," ujar Uhendi.
Uhendi menyayangkan Kementerian Pertanian (Kementan) yang belum menyediakan data luasan area karet yang semakin menyusut karena land grabbing ini. Padahal, penurunan produksi dan ekspor menjadi bukti fenomena ini dilakukan dengan masif.
"Itu nyata karena data yang paling akurat dan bisa diverifikasi dan divalidasi itu adalah ekspor. Ekspor itu di tahun 2022 itu 2,038 juta ton. Sementara di tahun 2017 3,2 juta ton, kan 1 juta ton itu ekspor hilang," sebutnya.
Tidak hanya berdampak besar bagi pelaku usaha, lanjut Uhendi, melempemnya industri karet juga merugikan para petani atau penyadap yang bergantung hidup pada komoditas tersebut. Mestinya, ada keseimbangan antara karet dengan komoditas lain.
ADVERTISEMENT
"Ini sudah betul-betul menyangkut kehidupan orang banyak. Hajat hidup orang banyak. Ada 2,5 juta keluarga petani, kalau dikali lima berapa kira-kira? Sudah 12 juta orang sekian kan? Itu petani saja. Belum penyadapnya. Belum industri. Belum lagi tata niaga yang begitu panjang," tegas Uhendi.
Hal ini berkebalikan dengan kemajuan industri karet secara internasional yang pesat. Dibandingkan negara produsen karet lainnya, Indonesia sudah jelas semakin tertinggal.
"Di taraf internasional masih ada pertumbuhan. Jadi kita kok malah menurun, artinya secara karet kita mengalami kemunduran dari negara-negara produsen lain," pungkasnya.