Kemenkeu Yakin Simplifikasi Cukai Rokok Bisa Kerek Penerimaan Negara

30 Juli 2020 8:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pegawai pabrik rokok melakukan produksi manual. Foto: ANTARA/M Risyal Hidayat
zoom-in-whitePerbesar
Pegawai pabrik rokok melakukan produksi manual. Foto: ANTARA/M Risyal Hidayat
ADVERTISEMENT
Pemerintah berkomitmen untuk menjalankan reformasi fiskal, utamanya terkait penyederhanaan tarif cukai hasil tembakau hingga 2024. Kebijakan ini dinilai dapat menekan konsumsi rokok, peredaran rokok ilegal, hingga mendorong penerimaan negara.
ADVERTISEMENT
Aturan mengenai simplifikasi tarif cukai rokok itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77 Tahun 2020, yang merupakan aturan turunan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 18 Tahun 2020 mengenai RPJMN 2020-2024.
Dalam aturan itu, salah satunya disebutkan bahwa tarif cukai rokok akan disederhanakan secara bertahap menjadi hanya tiga hingga lima layer di 2024, dari saat ini masih sebanyak sepuluh layer.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu, Febrio Kacaribu mengatakan, selain untuk pengendalian rokok, kebijakan simplifikasi juga akan mengoptimalkan penerimaan negara. Hal ini pun perlu dilakukan dengan koordinasi dan kerja sama antarkementerian dan lembaga, pemerintah daerah, hingga masyarakat.
Adapun hingga akhir Juni 2020, realisasi penerimaan cukai mencapai Rp 75,38 triliun atau tumbuh 13 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu (yoy). Namun pertumbuhannya melambat dibandingkan akhir Juni 2019 yang mampu tumbuh 32,85 persen (yoy).
Febrio Kacaribu saat dilantik sebagai Kepala BKF oleh Menteri Keuangan RI Sri Mulyani, Jumat (3/4). Foto: Dok. Kemenkeu RI
Realisasi cukai hasil tembakau atau rokok mencapai Rp 72,91 triliun tumbuh 14,23 persen (yoy), juga melambat dibandingkan akhir Juni 2019 yang mampu tumbuh 33,66 persen (yoy).
ADVERTISEMENT
“Tentang layer, intinya kita sederhanakan agar tidak banyak peredaran rokok ilegal, kepatuhan meningkat, penyederhanaan sistem administrasi, dan optimalisasi penerimaan negara,” kata Febrio dalam keterangannya, Kamis (30/7).
Dia melanjutkan, reformasi cukai itu juga dapat mengurangi ketergantungan dan konsumsi tembakau. Terutama pada generasi muda dan anak-anak, yang kesejahteraan dan kesehatannya harus dilindungi, termasuk dari konsumsi rokok.
Arah pembangunan nasional 2020-2024 juga tertulis bahwa pemerintah akan fokus pada pembangunan sumber daya manusia, menjamin kesehatan ibu hamil, kesehatan bayi, balita, anak sekolah, penurunan stunting, hingga peningkatan kualitas pendidikan.
“Ada Perpres 18/2020 sebagai arahan baru. Dari 2020, data terakhir 9,1 persen di 2018, kita mau perokok anak bisa turun ke 8,7 persen dalam beberapa tahun ke depan. Reformasi kebijakan cukai, sistem cukai diperbaiki, struktur cukai disederhanakan,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Partner Tax Research and Training Services Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji menyatakan, kebijakan simplifikasi tarif cukai rokok merupakan kebijakan yang seimbang untuk mencapai tujuan kesehatan, mengoptimalkan penerimaan negara, menciptakan persaingan usaha yang sehat, dan memperketat pengawasan cukai tembakau.
Dalam laporan DDTC mengenai ‘Kebijakan Cukai Hasil Tembakau yang Berimbang dan Berkepastian’ yang diterima kumparan, lembaga riset perpajakan ini merekomendasikan urgensi simplifikasi cukai rokok untuk menjawab tumpang tindih kebijakan cukai yang saat ini terjadi.
Simplifikasi cukai rokok juga dinilai tak akan mengakibatkan kematian industri kecil dan terjadinya oligopoli. Justru, saat ini perusahaan kecil menengah di golongan II dan III bersaing langsung dengan entitas besar, melalui tarif cukai hasil tembakau dan harga jual yang sama.
Ilustrasi tembakau untuk rokok. Foto: Selfy Sandra Momongan/kumparan
Bawono menjelaskan, sengkarut kebijakan cukai rokok saat ini kerap menimbulkan polemik dan bersifat dilematis. Bahkan menurutnya, tujuan pengendalian tembakau tidak akan efektif karena kompleksnya struktur tarif cukai saat ini.
ADVERTISEMENT
“Yang mengakibatkan adanya pergeseran tarif cukai dari tier atas ke bawahnya, ketika terjadi peningkatan harga. Jadi inilah yang sebenarnya cukup penting untuk dilakukan simplifikasi karena pemerintah jadi lebih bisa mengendalikan konsumsi,” kata Bawono.
Dalam laporan DDTC juga tertulis, penggabungan batasan produksi Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM) menjadi Sigaret Mesin (SM) ini pun hanya akan berdampak pada perusahaan besar multinasional saja.
“Pelaku usaha lokal yang membuat pabrikan industri hasil tembakau skala menengah, juga tidak akan terdampak ataupun dipaksa naik ke golongan teratas,” tulis laporan tersebut.
Sebelumnya, Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan mengatakan, pemerintah perlu mempertahankan struktur tarif cukai hasil tembakau sebagaimana diatur dalam PMK 152 Tahun 2019. Dalam aturan ini, struktur tarif cukai hasil tembakau terdiri dari sepuluh lapisan, dinilai ideal bagi jenis produk serta golongan pabrik besar, menengah, dan kecil.
ADVERTISEMENT
“Struktur tarif cukai hasil tembakau yang terdiri dari sepuluh layer adalah paling ideal, berkeadilan, dan bijak bagi jenis produk serta golongan pabrik I, II dan III (besar, menengah, dan kecil) yang banyaknya 700-an unit pabrik aktif dengan ukuran/skala dan pasar yang bervariasi," kata Henry dalam keterangannya, Sabtu (18/7).
Dia melanjutkan, penyederhanaan struktur tarif cukai, baik dengan menggabungkan golongan pabrik maupun jenis produk, akan berdampak buruk bagi industri rokok. Utamanya pada pabrik kecil dan menengah.
“Penggabungan tarif dapat menyebabkan pabrik kelas kecil dan menengah gulung tikar, karena harga produk tidak terjangkau oleh segmen pasarnya," jelasnya.