Ekonom Sebut Tenaga Kerja hingga Investasi Masih Jadi Tantangan Manufaktur RI

5 April 2024 17:23 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Proses produksi dan perakitan motor listrik merek ALVA di pabrik berlokasi di Cikarang, Jawa Barat. Foto: ALVA Indonesia
zoom-in-whitePerbesar
Proses produksi dan perakitan motor listrik merek ALVA di pabrik berlokasi di Cikarang, Jawa Barat. Foto: ALVA Indonesia
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia, Teuku Riefky, menyebut pertumbuhan sektor manufaktur di Indonesia sudah pulih pascapandemi.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan S&P Global, Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada bulan Maret 2024 berada di level 54,2 atau naik 1,5 poin dibanding capaian bulan Februari yang menyentuh angka 52,7.
Angka tersebut menunjukkan bahwa sektor industri manufaktur Indonesia sedang berada pada posisi ekspansif selama 31 bulan berturut-turut. Ini sejalan juga dengan capaian Indeks Kepercayaan Industri (IKI) pada bulan Maret yang sama-sama berada pada fase ekspansi di level 53,05.
Kinerja PMI Manufaktur Indonesia pada Maret 2024 lebih baik dibandingkan PMI Manufaktur negara-negara peers yang masih berada di fase kontraksi, seperti Malaysia (48,4), Thailand (49,1), Vietnam (49,9). Bahkan pencapaian tersebut lebih baik dari beberapa negara industri maju seperti Jepang (48,2), Korea Selatan (49,3), Jerman (41,6), Prancis (45,8), dan Inggris (49,9).
ADVERTISEMENT
“Sektor manufaktur merupakan penyumbang produk domestik bruto (PDB) terbesar dalam perekonomian Indonesia,” tutur Riefky dalam keterangannya, Jumat (5/4).
Meski demikian, sektor manufaktur tersebut mengalami berbagai tantangan yang membuat performanya tidak maksimal. Mulai dari daya saing tenaga kerja hingga investasi.
"Kalau kita lihat faktor apa yang mempengaruhi, ada bermacam-macam, dari sisi daya saing tenaga kerja, produktivitas tenaga kerja, investasi yang masuk, iklim persaingan usaha, infrastruktur dan berbagai macam faktor lainnya," katanya.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang melakukan sidak penerapan protokol kesehatan ke Pabrik PT Pan Brothers Tbk, Tangerang, Banten, Sabtu (21/8). Foto: Dok. Kemenperin
Menurut Riefky, ada berbagai kebijakan yang dikeluarkan berbagai kementerian atau lembaga negara yang dengan sendirinya memberikan imbas negatif pada performa sektor industri manufaktur.
“Saya tidak menyebutkan kementerian mana secara spesifik, tapi banyak kebijakan dari sisi regulasi, investasi, perbaikan infrastruktur, kemudahan berusaha, serta regulasi terkait misalnya akuisisi lahan yang memberikan dampak negatif terhadap industri dalam negeri,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Riefky juga menjelaskan bahwa sisi kebijakan fiskal Indonesia seperti bea masuk dan sebagainya ikut punya andil dalam daya saing sektor industri manufaktur Indonesia. "Dari sisi bea masuk juga tentu ada dampaknya terhadap daya saing industri nasional," tambah Riefky.
Menurut dia, pemerintah perlu mendorong sektor industri dalam negeri agar mampu bersaing dengan luar negeri. Namun pemerintah harus jelas dalam memberikan insentif untuk industri agar dapat bersaing dengan baik.
"Industri kita perlu diekpose pada persaingan dengan produk-produk luar disertai dengan insentif. Namun bukan berarti harus diproteksi secara utuh, kemudian tidak terekspose dari sisi persaingan terhadap kondisi global," tambahnya.
Sementara itu, Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB), Yustinus Gunawan mengungkapkan bahwa kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) menjadi salah satu pendorong industri dalam negeri.
ADVERTISEMENT
“Kebijakan HGBT membuat industri nasional tumbuh dan survive dan berkontribusi terhadap peningkatan pajak, penambahan devisa dengan peningkatan ekspor dan penghematan devisa karena penurunan impor, peningkatan investasi serta penambahan serapan tenaga kerja,” ungkap Yustinus.
Kebijakan HGBT mendorong performa sektor industri manufaktur pasca menghadapi pandemi COVID-19. Tujuh sektor penerima HGBT meliputi pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, gelas kaca, sarung tangan karet memberikan nilai tambah bagi sektor perekonomian nasional mencapai Rp 157,2 triliun.
Dia menjelaskan, kelanjutan kebijakan HGBT yang akan habis pada Desember 2024 perlu dilaksanakan. "Hal ini untuk menjaga momentum industrialisasi dan menjaga kepercayaan investor yang sedang merealisasi pabrik-pabrik dengan skema HGBT dan ke depannya," terang Ketua FIPGB, Yustinus Gunawan.
Sebelumnya, Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi Golkar, Mukhtarudin, menyebut bahwa kebijakan HGBT memiliki posisi sangat penting dan strategis untuk kinerja industri nasional. Dirinya meminta pemerintah untuk memperpanjang kebijakan program HGBT.
ADVERTISEMENT
"Terkait kebijakan HGBT untuk industri khususnya yang di 7 sektor yang sudah diputuskan Pemerintah pada masa yang lalu, HGBT ini dan posisinya sangat penting dan strategis dalam konteks subsidi pupuk," ungkap Mukhtarudin.
Namun, ia juga meminta adanya perluasan sektor industri penikmat harga gas murah. Hal ini perlu dilakukan agar industri di Tanah Air dapat berdaya saing. Diketahui, situasi ekonomi global saat ini tengah dihadapkan sejumlah tantangan. Untuk itu, kinerja industri dalam negeri perlu didongkrak agar berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
"Karena kalau HGBT ini tidak dilanjutkan, maka tentu sangat berpengaruh terhadap industri," pungkasnya.