Chatib Basri Tanggapi Bank Dunia soal Perbaikan CAD Salah Sasaran

11 September 2019 11:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kepala Mandiri Institute, M. Chatib Basri pada Mandiri Investment Forum 2019 di Hotel Fairmont, Jakarta, Rabu (29/1/2019). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Kepala Mandiri Institute, M. Chatib Basri pada Mandiri Investment Forum 2019 di Hotel Fairmont, Jakarta, Rabu (29/1/2019). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Defisit transaksi berjalan atau Current Account Deficit (CAD) dinilai sebagai suatu hambatan untuk mendorong perekonomian domestik. Pemerintah pun melakukan segala upaya agar CAD tak semakin melebar bahkan mengurangi defisit tersebut.
ADVERTISEMENT
Adapun di kuartal II 2019, CAD Indonesia mencapai USD 8,4 miliar atau 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), naik dari kuartal sebelumnya yang hanya 2,6 persen dari PDB.
Dalam materi presentasi Bank Dunia kepada pemerintah yang diterima kumparan, lembaga pembiayaan internasional ini memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia akan semakin tertekan sepanjang tahun ini di tengah perlambatan ekonomi global.
Selain risiko perekonomian dan geopolitik global yang makin tinggi, tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia juga disebabkan oleh lemahnya produktivitas dan pertumbuhan tenaga kerja yang melambat.
Di samping itu, Bank Dunia juga menilai pelemahan ekonomi Indonesia disebabkan oleh CAD yang makin melebar. Namun, solusi utama untuk menjaga stabilitas ekonomi domestik dinilai bukan dengan menekan CAD, melainkan meningkatkan investasi asing langsung atau Foreign Direct Investment (FDI).
Mantan Menteri Keuangan 2013-2014, Chatib Basri (kiri). Foto: Selfy Momongan/kumparan
Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri menilai, cara pemerintah untuk fokus memperbaiki CAD dalam jangka pendek dengan mengurangi impor merupakan hal yang keliru. Sebab saat ini 90 persen impor masih didominasi oleh bahan baku dan barang modal, yang dapat meningkatkan produksi dan perekonomian.
ADVERTISEMENT
"Jadi kalau pemerintah fokusnya mau bikin CAD kita enggak defisit, itu berarti harus mengurangi impor. Kalau kita ngurangin impor, itu berarti kita berhentiin bahan baku dan barang modal. Kalau bahan baku dan barang modalnya diberhentiin, enggak ada produksi, ya kan bisa bicara jangka pendek ya," kata Chatib Basri saat berbincang dengan kumparan, Rabu (11/9).
Chatib Basri Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Dia menuturkan, adanya CAD di suatu negara bukanlah dosa yang harus ditutupi. Hampir seluruh negara bahkan pernah mengalami CAD yang lebih besar dari Indonesia.
"Semua negara di dunia, dalam tahap awal pembangunannya itu punya CAD. Singapura bisa punya 10 persen dulu CAD, China itu bisa 10 persen, Vietnam baru punya current account surplus baru 2013. Kenapa? Karena di tahap awal pembangunan negara-negara ini masih berkembang, di enggak punya modal, dia harus impor," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Dia melanjutkan, permasalahan yang muncul adalah dana untuk membiayai CAD tersebut. Sepanjang CAD ditutupi dengan FDI, amanlah negara tersebut.
FDI ini terkait dengan investasi aset-aset produktif, misalnya pembelian atau konstruksi sebuah pabrik, pembelian tanah, peralatan atau bangunan yang dilakukan oleh perusahaan asing.
Chatib Basri Foto: Nicha Muslimawati/kumparan
Sayangnya, sampai saat ini arus masuk FDI ke Indonesia masih kecil. Dalam lima tahun terakhir, Bank Dunia mencatat rata-rata FDI ke Indonesia hanya 1,9 persen terhadap PDB. Level ini jauh di bawah Kamboja yang sebesar 11,8 persen, Vietnam 5,9 persen, Malaysia 3,5 persen, dan Thailand 2,6 persen terhadap PDB. Artinya, CAD Indonesia saat ini memang masih mengandalkan portofolio asing, seperti saham atau obligasi pemerintah.
"CAD itu bukan dosa, yang jadi masalah itu adalah biayai CAD pakai apa. Kalau itu dibiayai oleh portofolio di capital account, dengan stock, dengan bond, utang pemerintah dalam bentuk obligasi, itu setiap kali ada shock di Amerika, uangnya pulang," kata dia.
ADVERTISEMENT
Sementara jika CAD dibiayai oleh FDI, Chatib bilang, jika ada tekanan di global, maka investor tak akan mudah melepas dananya dari Indonesia.
"Katakanlah kita punya CAD 3 persen, tapi dibiayainnya sama FDI, ya enggak bisa ditarik pulang. Walaupun CAD naik lebih dari 3 persen, dia mau pulang gimana, masa aspalnya dibawa pulang ke Amerika, enggak mungkin, enggak segampang itu bawa pabrik pulang," tambahnya.
Kantor Pusat Bank Dunia (World Bank). Foto: Reuters
Sebelumnya, Bank Dunia menyebut, mengimpor modal untuk membiayai pertumbuhan investasi yang lebih tinggi bukanlah masalah.
“Yang menjadi masalah adalah Indonesia membiayai CAD dengan arus modal yang volatile dari investor portofolio,” terang Bank Dunia.
Seharusnya, pengurangan CAD dipacu oleh arus masuk modal yang lebih stabil seperti FDI yang berorientasi ekspor. Selain tidak mudah keluar dan masuk layaknya investasi portofolio, FDI juga menciptakan lapangan pekerjaan di dalam negeri yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
Bank Dunia memproyeksi, CAD Indonesia di akhir 2019 sebesar USD 33 miliar, naik dari tahun sebelumnya yang sebesar USD 31 miliar. Selain itu, investasi asing atau Foreign Direct Investment (FDI) Indonesia hanya USD 22 miliar hingga akhir tahun ini.
Dengan kondisi itu, Bank Dunia menilai, Indonesia membutuhkan dana asing masuk (inflow) minimal USD 16 miliar per tahun untuk menutup gap defisit tersebut.
“Pembiayaan eksternal yang dibutuhkan bisa lebih banyak jika capital outflow yang diprediksi benar-benar terjadi,” tulisnya.