Bos BPJS Kesehatan Jelaskan Rujukan Online: Ini Revolusi Sistem

9 September 2018 10:48 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan akan menerapkan digitalisasi rujukan atau rujukan online. Beberapa pihak keberatan sistem rujukan online karena dinilai sebagai cara BPJS untuk mengurangi layanan di tengah defisit keuangan. Saat ini, rujukan online ini memasuki uji coba fase 2 pada 1-15 September 2018, dan fase 3 pada 16-30 September 2018.
ADVERTISEMENT
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menjelaskan rujukan online justru untuk mempermudah layanan peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Para peserta ke depan tidak lagi membutuhkan dokumen berbentuk kertas untuk berobat karena cukup membawa kartu.
Peserta BPJS Kesehatan tidak perlu khawatir apabila kehilangan surat rujukan dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) seperti Puskesmas hingga klinik. Sebab database peserta terekam dalam sistem online, baik di FKTP maupun di rumah sakit rujukan.
Kemudian, pasien tidak perlu antre berlama-lama karena pemegang kartu BPJS akan diarahkan ke rumah sakit rujukan terdekat yang sesuai dengan kondisi kesehatan dan daya tampung.
Fachmi juga tak menampik potensi kehilangan pendapatan dari rumah sakit. Alasannya, sistem rujukan online akan mengatur pola antrean sehingga tidak ada lagi penumpukan di satu rumah sakit saja, sementara di rumah sakit lainnya yang lokasi masih berdekatan masih memiliki banyak kuota untuk menampung pasien.
ADVERTISEMENT
Pada kesempatan yang sama, Fachmi juga bercerita tentang dugaan pengurangan manfaat dalam penjaminan pelayanan katarak, persalinan caesar, dan rehabilitasi medik. Pengurangan layanan ini merujuk pada Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan (Perdir Jampelkes) BPJS Kesehatan nomor 2, 3, dan 5 tahun 2018.
Berikut ini cuplikan wawancara Dirut BPJS Kesehatan bersama kumparan:
Dirut BPJS Kesehatan, Fachmi Idris, Rabu (5/9). (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Terkait peraturan direktur terhadap penyesuaian pelayanan BPJS, apakah karena terjadi mismatch? Ini sebetulnya prosesnya Juni itu ujungnya. Prosesnya sudah lama. Saya ingat persis di Oktober 2016. Presiden itu mengadakan sidang kabinet terbatas untuk melihat program jangka panjang kemudian kita menyampaikan beberapa angka dan skenario yang bisa terjadi karena mismatch ini. Kemudian di sini dilihat, sisinya 3 tuh. Satu sisi tentang iuran, kedua itu sisi apakah ada manfaatnya masih bisa diatur tapi tidak mengurangi dan menghilangkan. Atau yang ketiga kaitannya dengan suntikan dana tambahan.
ADVERTISEMENT
Kaitan yang kedua ini sebetulnya merupakan resultan saja, sebetulnya pekerjaan utama adalah memastikan pelayanan yang diberikan sesuai dengan indikasi medik dan prosedur. Memastikan itu sebetulnya, jangan sampai nanti ada layanan yang menimbulkan indikasi fraud.
Peraturan ini sebetulnya tidak mengurangi manfaat, apalagi menghilangkan hanya pengaturan manfaat kemudian kita sampaikan. Satu pengaturan tentang layanan bayi lahir normal. Ini bukan sesuatu yang baru sebetulnya. Ini sudah kita lakukan sejak lama saat PT Askes sampai 2016 bahwa kalau melayani ibu bersalin dan bayinya normal, kita bayar satu paket pelayanan seksio. Nanti manajemen rumah sakit yang mengatur jasa dokter anak berapa jadi enggak ada kesan bayinya enggak ditangani dokter anak. Ini soal pengaturan manajemen dokter anak. Nanti kalau, bayinya satu package rawat, ada masalah. Perlu sumber daya khusus. Perlu pelayanan khusus. Perlu spesialis anak yang berkaitan, kalau lahir normal, tentu ada skema pembayaran lain. Kami ingin jelaskan seperti ini. Awalnya teman-teman profesi memahami, kemudian fisioterapi misalnya.
BPJS Kesehatan (Foto: Sabryna Putri Muviola/kumparan)
ADVERTISEMENT
Kita melihat dalam pelayanan ini tentu kita bicara dengan dokter SPKR. Kita bicara ini seperti apa. Teman kedokteran fisik dan rehabilitasi datang ke sini dan saya ingat saya yang terima menyampaikan angka-angka yang perlu lihat bersama. Apa betul orang harus setiap hari fisioterapi. Apa sebaiknya kita dalam penanganan ini menggunakan kaidah medik yang didiagnosis oleh dokter fisioterapi. Kalau enggak ada kemampun fisioterapi, teman-teman di situ akan mengampu kemampuan fisioterapi. Kalau mereka data itu di-treatment sesuai kebutuhan medis. Kalau kebutuhan mediknya lebih dari 8 kali sebulan. Kita bisa bicarakan.
Kemudian operasi katarak, kita lihat kok ada angka utilisasi yang tinggi, kita kan ingin mengontrol angka utilisasi yang tinggi ini. Kita ingin penjadwalan lebih baik lah.
ADVERTISEMENT
Bagaimana sebetulnya komunikasi dengan stakeholder BPJS Kesehatan? Jadi begini tatanan kelembagaan kita sudah hampir sempurna. Di BPJS, di dewan pengawas itu ada representasi Kemenkes, malahan ketua. Kemudian ada representasi kemenkeu, ada representasi pekerja, pengusaha, peserta. Di DJSN itu juga ada representasi Kemenkes, Kemenkeu. Karena DJSN luas maka ada representasi Kemensos, Kemanaker, PMK, teman profesi. Kita juga rapat dengan IDI apakah ada tindakan yang berpotensi ada fraud di sana. Kita lihat itu sama-sama kemudian kita melihat juga ada amanah dari rapat tingkat menteri berkali-kali menyampaikan opsi bauran. Kita memang ditugaskan dari awal, dibicarakan Kemenkes, DJSN. Dalam rapat tingkat menteri ini kan jadi opsi bersama. Ada banyak opsi tapi kita diamanatkan ada 3 opsi. Opsi pertama tentang mitigasi fraud. Opsi kedua mengatur sistem rujukan, ini sedang kita lakukan. Ini rujukan online tingkat berjenjang sebetulnya. Ini opsi dari rapat tingkat menteri mengatur sistem rujukan.
ADVERTISEMENT
Kemudian ada opsi juga melakukan efisiensi terhadap 3 tadi, operasi pelayanan katarak, rehabilitasi medik dan persalinan. Itu sudah jadi rapat di tingkat menteri, dan sudah 1 tahun lebih kita bicara.
Apa alasan penerapan rujukan online itu? Terkait dengan rujukan online, tentu ingin kepuasan peserta. Kita ingin peserta itu di dalam pemilihan terhadap rumah sakit, dokter kompetensinya itu tidak kebingungan. Selama ditunjuk dekat, rumah sakit kelas C misalnya. Di sana mau periksa penyakit jantung tapi di sana enggak ada pelayanan, akhirnya ada rujukan berulang ke sana. Maka dengan rujukan online, dirujuk. Kami ingin menata kelengkapan dan kualitas informasi. Ini revolusi sistem kalau saya katakan. Pasti ada yang kurang nyaman dengan perubahan sistem ini.
ADVERTISEMENT
Kalau Pak Feby ke klinik pratama atau ke puskesmas, kemudian melihat sistem, ada sekian rumah sakit yang kompetensinya dibutuhkan dan jam praktek sekian.
Kedua, melihat kalau datang ke sana bakal ngantre atau enggak. Kalau antrean pajang, kita switch ke rumah sakit yang antreannya tidak terlalu panjang. Itu sebetulnya switching otomatisnya.
Kemudian masyarakat tidak tergiring ke satu tempat, kemudian ramai dan di tempat lain sepi. Ini mulai terjadi distribusi pelayanan. Pasti ada ketidaknyamanan. Misalnya ketidaknyamanan pendapatan, misalnya dari biasa ramai rumah sakitnya, menjadi berkurang pendapatannya karena terbagi.
Ketiga, masyarakat tidak perlu bawa kertas, cukup bawa kartu saja karena datanya sudah terkirim. Misal Pak Feby ke rumah sakit A, tapi di sana sudah ada 100 pasien mengantre. Rumah sakit B sepi jadinya di-switch ke rumah sakit B dengan kompetensi yang dibutuhkan. Hanya bawa kartu enggak perlu bawa kertas.
ADVERTISEMENT
Kemudian rumah sakit mengisi form. Kita ada health facility information system. Rumah sakit mengisi kompetensi apa, prakteknya jam berapa, hari apa saja dengan kelengkapan surat izin praktek. Terus te-record dengan baik, dengan demikian kami pun membantu rumah sakit. Kita sampaikan ke tema-teman profesi tolong BPJS jangan dimusuhi. BPJS dijadikan instrumen untuk sama-sama membenahi sistem pelayanan.