Banyak Kasus Viral Bea Cukai, Tarif Pajak Impor & Bea Masuk Perlu Dievaluasi

8 Mei 2024 11:29 WIB
ยท
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi bea cukai. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bea cukai. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pengamat Pajak sekaligus Kepala Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, mengomentari rentetan kasus yang terjadi pada Direktorat Jenderal Bea Cukai. Dia menyebut instansi di bawah komando Menteri Keuangan Sri Mulyani itu seperti berada di kursi pesakitan.
ADVERTISEMENT
"Otoritas kepabeanan bak berada di kursi pesakitan," kata Fajry dalam keterangan resminya, Rabu (8/5).
Fajry mengatakan, selama dua pekan terakhir Bea Cukai dihakimi karena dianggap menyulitkan masyarakat yang keluar masuk Indonesia. Prosedur ekspor-impor serta aturan mengenai barang bawaan, barang kiriman, atau barang hibah turut mendapat sorotan tajam.
Viralnya Bea Cukai bermula ketika penerapan denda yang lebih besar dari nilai barang dalam kasus sepatu impor, terjadinya keterlambatan penerimaan dan kerusakan sebuah mainan action figure milik influencer Medy Renaldy. Serta alat bantu belajar tunanetra berstatus hibah untuk SLB-A Tingkat Nasional yang tertahan selama dua tahun di Bea Cukai.
"Beragam isu ini memicu tumbuhnya sentimen negatif yang lebih besar terhadap Bea Cukai. Padahal citra otoritas kepabeanan belum sepenuhnya pulih setelah Eko Darmanto (ED) dan Andhi Pramono (AP) ditahan dalam perkara korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU)," ungkap Fajry.
ADVERTISEMENT
Fajry melihat kritik publik terhadap otoritas kepabeanan sebagian besar dapat diterima. Menurutnya, kritik diperlukan untuk membangun birokrasi yang lebih baik. Ia menekankan, kritik publik juga harus proporsional. Otoritas kepabeanan memiliki peran besar dalam ekonomi terkait arus barang antar yurisdiksi.
"Jadi terlalu besar untuk dibekukan atau bahkan dibubarkan," tegasnya.
Lebih lanjut, Fajry menyebut masyarakat salah, jika melihat otoritas kepabeanan hanya sebagai revenue collector, yakni mengoptimalkan penerimaan negara.
Dia mengungkapkan, Bea Cukai memiliki tiga fungsi utama. Pertama, sebagai trade facilitator untuk menekan biaya tinggi dari perdagangan internasional sehingga Indonesia mempunyai daya saing ekonomi.
Kedua, Bea Cukai juga sebagai industrial assistance untuk mendukung industri dalam negeri agar dapat bersaing di pasar global. Ketiga, sebagai community protector dengan memberikan perlindungan untuk masyarakat dari barang-barang yang dilarang seperti narkoba.
ADVERTISEMENT
"Semenjak era perdagangan bebas, penerimaan kepabeanan tidak lagi menjadi sumber penerimaan utama dari DJBC," kata Fajry.
Menteri Keuangan Sri Mulyani berbincang dengan penumpang saat mengunjung Bea Cukai Bandara Soekarno-Hatta pada Minggu (6/4) untuk memastikan perbaikan pelayanan bagi para penumpang. Foto: Dok. Kemenkeu
Dia membeberkan, menurut data anggaran pendapatan dan belanja negara alias APBN 2024, kontribusi penerimaan kepabeanan dalam perpajakan hanya 3,24 persen. Bagi Bea Cukai, kontribusi penerimaan kepabeanan hanya 23,34 persen di mana sisanya dari penerimaan cukai.
"Masalah utama dalam keriuhan beberapa minggu terakhir adalah kepercayaan publik," ungkapnya.
Fajry kemudian menyinggung soal Kementerian Keuangan bahwa membangun kepercayaan publik tidak seperti membalikkan telapak tangan. Sebab, butuh proses dan waktu yang panjang. Menurut Fajry, membangun kepercayaan publik tidak bisa hanya mengandalkan komunikasi publik, tapi perlu perubahan nyata. Misalnya lewat perbaikan pelayanan, meningkatkan pengawasan internal agar tidak ada oknum-oknum nakal, serta perbaikan birokrasi dan administrasi agar mencegah penyelewengan.
ADVERTISEMENT
"Betul, dalam hukum terdapat adagium Ignorantia juris non excusat yang artinya ketidaktahuan akan hukum tidak membenarkan siapa pun. Namun otoritas wajib melakukan sosialisasi," tuturnya.
Oleh sebab itu, dia menilai para petugas di lapangan perlu memberikan informasi lengkap mengetahui ketentuan yang berlaku. Terlebih, banyak masyarakat umum yang mengimpor barang kiriman sebagai dampak dari digitalisasi.
Fajry juga menyebut perlu kemudahan regulasi terutama yang mengatur soal persyaratan. Selain itu, kata dia, perlu evaluasi besaran bea masuk dan sanksi.
Menurutnya, keriuhan publik terjadi karena besaran kepabeanan dan sanksi atas PDRI (pajak dalam rangka impor) yang ditanggung masyarakat tidak sebanding dengan nilai impor. Artinya, perlu perubahan paradigma bahwa sanksi yang besar akan membuat orang patuh.
ADVERTISEMENT
Kemudian, Fajry juga meminta pemerintah perlu mengevaluasi tarif terkait PDRI, terutama besaran tarif PPh 22 Impor yang naik drastis dalam satu dekade terakhir, serta tarif bea masuk atas beberapa produk yang naik dalam beberapa waktu terakhir.
"Koordinasi antar kementerian dan lembaga menjadi penting. Sebab, ketentuan barang kiriman tidak hanya ranah otoritas kepabeanan, tapi juga Kementerian Perdagangan maupun Badan Pengawas Obat dan Makanan atau BPOM," pungkasnya.