Ada Konflik Dunia, RI Bisa Manfaatkan Pasar Senjata Global USD 10,8 M

24 April 2024 19:30 WIB
ยท
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pengamat militer, Connie Rahakundini Bakrie. Foto: Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Pengamat militer, Connie Rahakundini Bakrie. Foto: Dok. Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pengamat militer, Connie Bakrie mengatakan ada potensi pasar USD 10,8 miliar di dunia. Angka tersebut masih pada potensi senjata ringan, belum senjata yang lebih besar. Menurutnya pasar tersebut memiliki potensi yang besar untuk dimanfaatkan industri pertahanan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Direktur Eksekutif IODAS (Institute of Defense and Security Studies) itu menjelaskan, di pasar global ketentuan ekspor dan impor persenjataan telah digagas di dalam Perjanjian Perdagangan Senjata (The Arms Trade Treaty/ATT) di mana awalnya Indonesia adalah salah satu negara penggagasnya, namun dalam perjalanan Indonesia memutuskan hengkang.
Dia menjelaskan alasan hengkangnya Indonesia waktu itu adalah Indonesia mengambil pandangan semestinya perjanjian ATT seharusnya memiliki ketentuan yang seimbang antara posisi negara eksportir dan importir.
"Intinya negara eksportir tidak bisa seenaknya melakukan embargo, sehingga penting untuk adanya standar yang universal yang baku. Bukan standar ganda," kata Connie kepada kumparan, Rabu (24/4).
Abstain-nya Indonesia dalam keanggotaan ATT itu menurutnya justru membuat posisi Indonesia makin strategis untuk mengukuhkan diri menjadi eksportir senjata untuk pasar global.
ADVERTISEMENT
"Dengan potensi pasar senjata ringan saja, yang akan berkembang hingga USD 10,8 miliar hingga pada tahun 2030. Sangat lezat untuk Industri pertahanan Indonesia, baik BUMN maupun swasta bisa melahap devisa ekspor," kata Connie.

Permintaan Senjata Melesat di Tengah Konflik

Pengamat militer, Connie Rahakundini Bakrie. Foto: Dok. Pribadi
Potensi pasar tersebut distimulus oleh makin panasnya eskalasi konflik global, mulai dari Rusia-Ukraina, sampai Iran-Israel. Dari data Bloomberg per 16 April 2024, negara dengan estimasi persentase pengeluaran untuk sektor pertahanan di tahun 2023 lalu paling besar adalah Rusia, mencapai 4,4 persen dari PDB mereka, disusul Amerika Serikat dengan persentase 3,3 persen.
Sementara di urutan ketiga dan seterusnya adalah Korea Selatan dengan estimasi 2,8 persen terhadap PDB, Inggris 2,6 persen, Iran 2,2 persen, Australia 2 persen, India 1,9 persen, Jerman 1,6 persen, Prancis 1,6 persen, Italia 1,5 persen, China 1,3 persen, Jepang dan Spanyol 1,2 persen, hingga Kanada 0,9 persen.
ADVERTISEMENT
"Untuk senjata yang lebih besar belum ada estimasi pasti, namun secara logis jika banyak conflict permintaan pasar pasti meningkat. Contoh untuk drones saja, sebelumnya tidak disangka negara sebesar Russia bisa mengimpor drones kamikaze dari Iran," kata Connie.
Reuters melaporkan, belanja Rusia untuk pertahanan tahun 2024 ini diperkirakan meningkat hampir 70 persen dibanding tahun 2023.
Makin kuatnya posisi Rusia mempengaruhi negara lainnya, salah satunya Norwegia yang berencana meningkatkan belanja militer mereka sebesar USD 56 miliar hingga tahun 2036 demi meningkatkan pertahanannya melawan Rusia dan tantangan keamanan lainnya. Peluang pasar ini menurutnya bisa dimanfaatkan oleh Indonesia.
"Ini ditambah dengan konsentrasi negara konflik atau pendukung konflik yang sedang berkonsentrasi produksi untuk penggunaan domestik atau supply ke negara yang didukung. Sehingga negara produsen baru seperti Indonesia punya kesempatan bisnis lebih baik dan besar," tegas dia.
ADVERTISEMENT

Kesiapan RI Sambut Potensi Pasar Pertahanan

Menhan Prabowo Subianto kunjungi PTDI, serahkan 3 alutsista ke KSAL. Foto: Biro Humas Setjen Kemhan
Peneliti Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia, Beni Sukadis mengatakan saat ini kemampuan BUMN Pertahanan membuat alutsista sudah cukup baik dan bisa berkembang lebih pesat lagi.
Menteri BUMN Erick Thohir sebelumnya juga mengamini Holding Defend ID, yang dari 5 perusahaan, yaitu PT Len Industri (Persero), PT Dahana, PT Pindad, PT Dirgantara Indonesia, dan PT PAL Indonesia, turut mendapat untung dari meningkatnya kontrak kerja di tengah konflik dunia yang memanas.
Yang menjadi catatan Beni, meskipun TNI merupakan pengguna utama produk-produk alat pertahanan buatan Defend ID, namun belum semua alutsista yang dibutuhkan telah dibeli secara masif oleh TNI, sehingga perlu komitmen yang kuat pemerintah untuk membeli produk unggulan industri pertahanan Indonesia dengan jumlah yang besar dan secara kontinu.
ADVERTISEMENT
"Kedua, keterbatasan modal menjadi hambatan dalam meningkatkan kapasitas produksi yang dibutuhkan untuk memenuhi permintaan yang semakin meningkat," kata Beni.
Catatan ketiga, adalah tantangan SDM yang masih belum optimal menjadi persoalan serius yang menghambat kemajuan BUMN industri pertahanan ini.
Menurutnya, meskipun kondisi geopolitik dunia yang tidak menentu memunculkan peluang besar untuk meningkatkan permintaan produk pertahanan, tanpa mengatasi tantangan internal tersebut potensi industri pertahanan Indonesia untuk berkembang secara signifikan akan terbatas.
"Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah strategis untuk mengatasi kendala-kendala ini agar industri pertahanan Indonesia bisa benar-benar berkembang dan memberikan kontribusi maksimal dalam menjaga kedaulatan negara," pungkasnya.
Sebelumnya, Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan eskalasi geopolitik dunia yang memanas turut berdampak pada kontrak kerja Defend ID, Holding BUMN industri pertahanan.
ADVERTISEMENT
"Pasti Defend ID akan mendapat tadi, peningkatan dari kontrak kerja. Apakah itu di maintenance, apakah itu di pengadaan," kata Erick Thohir saat media gathering di Jakarta, Sabtu (20/4).