46 Negara Dapat Keringanan Cicilan Utang dari G20, Indonesia Termasuk?

24 November 2020 12:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas melayani penukaran uang dolar Amerika di salah satu gerai penukaran valuta asing, Jakarta. Foto: Antara/Puspa Perwitasari
zoom-in-whitePerbesar
Petugas melayani penukaran uang dolar Amerika di salah satu gerai penukaran valuta asing, Jakarta. Foto: Antara/Puspa Perwitasari
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Negara-negara yang tergabung dalam kelompok utama ekonomi dunia atau G20 menyepakati untuk menangguhkan utang pada 46 negara miskin. Program Debt Service Suspension Initiative (DSSI) itu diperpanjang hingga Juni 2021, dari sebelumnya hanya pada akhir tahun ini.
ADVERTISEMENT
Dalam laporan G20 yang diterima kumparan, Selasa (24/11), total utang yang direlaksasi itu senilai USD 5,7 miliar atau sekitar Rp 80,94 triliun (kurs Rp 14.200 per dolar AS).
46 negara itu kebanyakan berasal dari Benua Afrika, di antaranya Angola, Kongo, Somalia, Togo, hingga Zambia. Sementara di Asia Timur di antaranya Kamboja, Vanuatu, Papua Nugini, dan Timor Leste.
Di Asia Selatan ada enam negara yang utangnya ditangguhkan, di antaranya Afghanistan, Pakistan, dan Nepal. Untuk Eropa dan Asia Tengah di antaranya Uzbekistan, Moldova, dan Kosovo. Serta Amerika Latin dan Karibia di antaranya Dominika, Nicaragua, hingga St Vincent.
Negara-negara tersebut merupakan negara berpendapatan rendah (low income). Berdasarkan catatan Bank Dunia, negara berpendapatan rendah itu memiliki pendapatan nasional bruto per kapita atau Gross National Income (GNI) maksimal USD 1.035.
Ilustrasi Mata Uang Dolar Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Dalam program DSSI yang disepakati G20, negara-negara tersebut dinilai akan semakin menderita akibat pandemi COVID-19 jika utangnya tak ditangguhkan. Negara-negara itu juga sebagian besar pendapatannya hanya cukup untuk memulihkan kesehatan warganya atau stimulus fiskal. Bahkan di antaranya justru mengalami kekurangan likuiditas.
ADVERTISEMENT
“Dampak pandemi COVID-19 membuat dunia menderita, bahkan negara-negara berpendapatan rendah merasakan penderitaan yang lebih karena kurangnya likuiditas,” tulis laporan G20.
Selain itu, 46 negara itu juga memiliki peringkat utang yang rendah hingga buruk dari berbagai lembaga pemeringkat global. Di antaranya memiliki rating CCC dengan prospek negatif.
Hal itu membuat negara tersebut semakin sulit untuk mencari pendanaan di tengah pandemi. Itulah salah sebabnya G20 memutuskan untuk menunda cicilan utang pada negara-negara miskin.
Indonesia sendiri, yang juga anggota G20, tidak masuk dalam kategori negara berpendapatan rendah. Artinya, Indonesia tak mendapat tangguhan cicilan utang.
Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo memastikan, Indonesia tak mendapat tangguhan utang dari negara lain. Sebab porsi terbesar utang Indonesia adalah SBN.
ADVERTISEMENT
“Tidak, karena kita kan anggota G20 dan porsi utang bilateral/multilateral kita tidak besar. Porsi terbesar kita SBN,” kata Yustinus kepada kumparan, Selasa (24/11).
Bank Dunia menaikkan kelas Indonesia menjadi negara dengan berpendapatan menengah ke atas. GNI per kapita Indonesia tahun 2019 naik menjadi USD 4.050, dari posisi sebelumnya USD 3.840.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa pandemi COVID-19 membuat defisit fiskal seluruh negara meningkat, termasuk Indonesia. Namun, sejumlah negara yang masuk berpendapatan rendah tidak mampu membiayai lagi defisit anggarannya.
Sementara di Indonesia, negara dinilai masih bisa membiayai defisit fiskal. Tahun ini, pemerintah menargetkan defisit anggaran Rp 1.039,2 triliun atau 6,34 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Pembiayaan utang ditargetkan Rp 1.220,5 triliun.
ADVERTISEMENT
Hingga akhir Oktober 2020, pembiayaan utang pemerintah mencapai Rp 958,6 triliun atau tumbuh 143,8 persen dari periode yang sama tahun lalu. Secara rinci, penerbitan SBN mencapai Rp 943,5 triliun dan pinjaman Rp 15,2 triliun.
"Beda dengan posisi Indonesia, yang low income country ini mungkin utangnya sudah sangat tinggi dan tidak mampu membiayai lagi," kata Sri Mulyani dalam konferensi APBN KiTa.
"Dibahas mengenai bagaimana membantu negara miskin yang utangnya sudah sangat besar dan tertimpa COVID-19, untuk diberikan penangguhan atau moratorium terhadap utang mereka," jelasnya.