Menelaah Kembali Gagalnya ITO dan Kemunculan GATT dalam Rezim Perdagangan Dunia

Krisman Heriamsal
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
26 September 2023 16:44 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Krisman Heriamsal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pelabuhan perdagangan. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pelabuhan perdagangan. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tata Kelola Perdagangan Global mengalami perkembangan yang kian masif. Di bawah pengawasan organisasi Perdagangan Dunia (WTO), liberalisasi perdagangan Internasional secara lebih terbuka semakin mewarnai interaksi ekonomi antar negara.
ADVERTISEMENT
Menarik untuk melihat kembali ke belakang bagaimana negara-negara mulai melirik perdagangan Internasional sebagai isu yang perlu diatur dan dipayungi oleh sebuah organisasi. Selain itu, pergantian rezim perdagangan internasional yang banyak dipengaruhi oleh kepentingan negara super power menjadi penting untuk diulas kembali melihat fenomena liberalisasi perdagangan saat ini.

Kegagalan ITO sebagai Rezim Perdagangan Global

Salah satu wacana dalam tata kelola perdagangan global adalah pembentukan rezim perdagangan internasional yaitu International Trade Organization (ITO). Wacana ini dibicarakan pada Konferensi Perdagangan dan Ketenagakerjaan di Havana, sebagai kerangka kelembagaan sistem perdagangan internasional pascaperang (Williams, 2016).
Sebetulnya cikal bakal wacana pembentukan ITO berawal dari Konferensi Moneter dan Keuangan Perserikatan Bangsa-Bangsa dilakukan di Bretton Woods tahun 1944. Konferensi tersebut menghasilkan dua lembaga internasional yakni Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (IBRD).
ADVERTISEMENT
Di samping itu, para pemimpin negara juga mulai memikirkan ide terkait pentingnya pembentukan Organisasi Internasional yang mampu mengatur dan mengkoordinasi jalannya perdagangan dunia, di mana pada saat itu dianggap sebagai salah satu isu penting.
Menindaklanjuti akan hal itu, Proposals for Expansion of World Trade and Employment, diajukan oleh Amerika Serikat pada pertemuan United Nations Economic and Social Council (ECOSOC). Tahun 1947-1948 Konferensi Perdagangan dan Ketenagakerjaan dilakukan di Kuba, dan menghasilkan Piagam Havana sebagai dasar untuk pembentukan ITO.
Sebelum konferensi Havana, sebetulnya telah ada pertemuan di Genewa oleh 23 negara untuk membahas upaya pemotongan tarif dalam perdagangan. Mereka memutuskan pengurangan tarif, dan mekanisme sementara untuk mengawasi pemotongan tersebut yang dikenal dengan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) (William, 2016). Lambatnya ratifikasi Piagam Havana, menjadikan GATT sebagai solusi sementara pemberlakuan kebijakan pengurangan tarif yang diinginkan sesegera mungkin berlaku.
ADVERTISEMENT
Hingga pada tahun 1950 Sekretaris Jenderal PBB belum juga menerima Piagam Havana, dan di saat yang sama Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menyatakan bahwa Piagam Havana tidak akan diajukan lagi ke Kongres, yang kemudian berakhir pada kegagalan terbentuknya ITO (Srinivasan, 2004).
Sebagai negara dengan kekuatan ekonomi yang paling baik, dan mendominasi global pada waktu itu, apalagi sebagai perancang proposal pembentukan ITO, wajar jika setiap keputusan yang diambil oleh Amerika berpengaruh terhadap kebijakan internasional termasuk pembentukan ITO.
Bagi Amerika Serikat, terdapat aturan tertentu dalam Piagam Havana yang disepakati sebagai kerangka hukum ITO yang tidak sejalan dengan kepentingannya. Banyak kelompok bisnis yang menentang ITO karena khawatir bahwa ITO tidak cukup liberal dan menawarkan terlalu banyak konsesi kepada negara-negara yang berupaya melindungi industri mereka sendiri. Hal ini dilihat sebagai ancaman bagi industri Amerika (Robert O’Brien, 2016).
ADVERTISEMENT
Dalam kondisi ini bisa dilihat bahwa pelaku bisnis internasional, maupun kaum proteksionis dan liberal di Amerika saling tarik menarik mempertimbangkan kepentingan jika ITO dibentuk. Sementara itu, di awal-awal wacana pembentukan ITO, Konggres di AS didominasi oleh anggota partai republik, yang notabene pola kebijakannya bersifat isolasionis. Kebijakan sebelumnya yang mendukung perdagangan bebas berubah jadi proteksionisme. Mereka melihat bahwa ITO terlalu memberikan perlindungan bagi negara berkembang.
Maka, dapat dikatakan bahwa kegagalan ITO dibentuk sebagai Organisasi resmi perdagangan dunia disebabkan oleh keputusan Amerika yang tidak meratifikasi Piagam Havana yang menjadi dasar hukum dan pembentukan ITO. Keputusan tersebut didasarkan pada keputusan dalam kongres Amerika sebagai otoritas konstitusional yang menolak meratifikasi Piagam Havana dikarenakan adanya benturan kepentingan antara ketentuan dalam Piagam Havana dan Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT

GATT Sebagai Rezim Perdagangan Internasional

Ilustrasi Dollar Amerika saat pandemi corona. Foto: Yuriko Nakao/REUTERS
Setelah wacana pembentukan ITO gagal, GATT menjadi satu-satunya rezim internasional yang diakui berbagai negara yang memainkan peran penting sebagai dasar dalam perdagangan internasional. GATT memuat seperangkat aturan untuk mengatur perdagangan satu sama lain dan mempertahankan pengurangan tarif impor dalam perdagangan internasional (Crowley, 2003).
Antara tahun 1947 dan 1994, aturan dalam GATT menjadi pusat sistem perdagangan dunia yang ditetapkan pada tahun 1947 dan secara bertahap telah direvisi, diamandemen, dan diperluas sejak saat itu (Oatley, 2011).
Sebagai rezim perdagangan internasional, GATT mengelola sistem perdagangan internasional dengan menyediakan kode peraturan, mekanisme penyelesaian perselisihan dan forum negosiasi perdagangan. Kepentingan utamanya terletak pada perannya sebagai forum negosiasi perdagangan dan pengurangan tarif maksimum yang dapat dikenakan oleh negara-negara terhadap impor dari anggota GATT lainnya. Hal ini dapat diidentifikasi dari perjalanan GATT sebagai rezim perdagangan internasional yang melalui berbagai tahapan perundingan dari tahun ke tahun yang melibatkan berbagai negara.
Tabel Putaran perundingan GATT, Foto: Marc Williams, 2016.
GATT juga memberikan kerangka normatif dan mekanisme penyelesaian sengketa. Selain itu, Perjanjian GATT memberikan kontribusi yang besar terhadap perkembangan hukum ekonomi internasional karena perjanjian ini memuat seperangkat aturan yang menetapkan kerangka kerja untuk transaksi komersial internasional (William, 2016).
ADVERTISEMENT
Keberhasilan GATT sebagai rezim perdagangan internasional tidak terlepas dari prinsip dasar pengelolaan sistem perdagangan internasional. Pertama, prinsip dasar timbal balik. prinsip ini merujuk pada praktik yang terjadi dalam putaran perundingan GATT, di mana satu negara menawarkan untuk mengurangi hambatan perdagangan dan negara kedua membalasnya dengan menawarkan untuk mengurangi salah satu hambatan perdagangannya sendiri. Prinsip ini akan menyediakan mekanisme bagi negara-negara untuk berkomitmen terhadap perdagangan yang lebih bebas.
Kedua, Prinsip non-diskriminasi atau perlakuan setara, maksudnya adalah jika salah satu anggota GATT menawarkan manfaat atau konsesi tarif kepada anggota GATT lainnya, maka anggota tersebut harus menawarkan pengurangan tarif yang sama kepada seluruh anggota GATT. Contohnya, menetapkan tarif yang sama terhadap impor dari semua negara.
ADVERTISEMENT
Tetapi, untuk prinsip ini terdapat sejumlah pengecualian seperti Perjanjian perdagangan regional baik kawasan perdagangan bebas maupun serikat pabean diperbolehkan. Pemerintah juga dapat menggunakan proteksi yang diatur mengenai tarif khusus yang digunakan untuk tujuan tertentu (Crowley,2013).
Meskipun GATT sukses dalam beberapa kebijakannya, pada tahun 1980 GATT menghadapi beberapa masalah. Pertama, sulitnya menemukan solusi atas beberapa sengketa antar negara mulai dari subsidi pemerintah untuk ekspor hingga peraturan mengenai investasi asing langsung, melalui mekanisme GATT. Kedua, komoditas seperti produk pertanian dan tekstil, tidak jarang dikecualikan dari disiplin GATT.
Ketiga, bentuk-bentuk perlindungan perdagangan tertentu seperti bea masuk antidumping, pembatasan ekspor sukarela, dan bea penyeimbang, membatasi perdagangan dan mendistorsi pola perdagangan di banyak sektor penting. Keempat, tidak adanya aturan mengenai perdagangan jasa.
ADVERTISEMENT
Kelima, kurangnya perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual. Keenam, peraturan mengenai langkah-langkah investasi perdagangan misalnya, persyaratan pembelian dalam negeri untuk pabrik yang dibangun dari investasi asing langsung, masih diperdebatkan (Crowley,2013).
Adanya ketidakpuasan terhadap GATT menjadi cikal bakal World Trade Organization (WTO) sebagai organisasi internasional permanen dengan cakupan lebih besar daripada GATT. Hal ini dilakukan untuk membalikkan proteksionisme dan mendukung liberalisasi perdagangan. Langkah ini membuat GATT cenderung luput dari perhatian masyarakat luas karena kekuasaan WTO yang luas telah memberikan profil yang jauh lebih tinggi dibandingkan GATT (Robert O’Brien, 2016).
Selain itu, Meskipun GATT pada dasarnya merupakan perjanjian kontrak antar negara anggotanya, WTO adalah organisasi internasional yang memiliki badan hukum yang serupa dengan organisasi antar pemerintah lainnya seperti IMF dan Bank Dunia. Hal itulah mengapa keberadaan GATT terkadang luput dari perhatian karena posisinya yang cenderung di bawah dari WTO.
ADVERTISEMENT