"Analisis KR" Hari Ini: Profesor Sutrisna Wibawa Ajak Pembaca Sungkeman Virtual

SEVIMA
Sentra Vidya Utama (Sevima) adalah Education Technology yang berdiri sejak tahun 2.004, dengan komunitas dan pengguna platform yang tersebar di lebih dari 1.000 kampus se-Indonesia. Bersama kita revolusi pendidikan tinggi, #RevolutionizeEducation!
Konten dari Pengguna
10 Mei 2021 9:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari SEVIMA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Prof. Dr. Sutrisna Wibawa, M.Pd. adalah guru besar filsafat Jawa dan Mantan Rektor Universitas Negeri Yogyakarta. Selain dikenal sebagai guru besar, Sutrisna Wibawa juga seorang teknokrat yang pernah menjabat sebagai Sekretaris Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia. Saat ini ia mengajar di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa.
ADVERTISEMENT
Kerap disapa sebagai Profesor Milenial, hari ini (Senin 10/05), Prof. Sutrisna Wibawa membagikan pemikirannya di Rubrik Analisis Kedaulatan Rakyat. Artikel ini sudah terbit dahulu di Halaman 1 Koran KR.
Berikut kutipannya:
TIAP bangsa di dunia memiliki kekhasan ekspresi budaya lebaran. Bagi masyarakat Indonesia, khususnya orang Jawa, momentum riyaya bakda pasa atau lebaran dimanfaatkan sebagai ajang memaafkan dan silaturahim.
Dari keluarga, sanak saudara, hingga kerabat tidak luput menjadi sasaran permohonan maaf. Di Jawa kegiatan tersebut diwujudkan dengan sungkem, yang merupakan tanda bakti dan hormat, yang biasanya dilakukan anak kepada orang tua atau keluarga yang lebih sepuh.
Etika sungkem, dilakukan seusai salat Id ditunjukkan dengan bersimpuh, mencium tangan, dan ungkapan rendah hati, rasa bersalah selama setahun belakangan.
ADVERTISEMENT
Almarhum Umar Kayam, budayawan Yogya, pernah berteori perihal sungkeman yang sangat lekat di tengah masyarakat Jawa. Prosesi sungkeman, sebagaimana tradisi mudik dan perayaan lebaran, merupakan produk akulturasi budaya Jawa dan Islam.
Akulturasi ini bukti kearifan para ulama di masa silam dalam menjaga kerukunan dan kesejahteraan masyarakat setempat. Kedudukan tradisi sungkeman tidak memperlihatkan rendahnya derajat seorang manusia di antara sesama.
Namun, menyimbolkan kemuliaan akhlak dalam hubungan sosial. Tujuan utama tradisi ini sebetulnya bukan hanya permohonan maaf atas kesalahan dan kelalaian. Melainkan juga tanda penghormatan kepada orang lain yang telah memberikan teladan dan hikmah kehidupan.
Lebaran tanpa sungkeman bagai sayur tanpa garam. Jika Idul Fitri tidak dibarengi dengan sungkeman, menurut budaya dan tradisi Jawa, sama halnya seperti kehilang- an esensi maknanya. Momentum ini tera- mat spesial bagi masyarakat umum, bahkan sebagian besar orang harus menempuh usa- ha ekstra untuk mencapainya. Bagi peran- tau di kota besar, sungkeman adalah kesem- patan yang ditunggu karena tidak terulang dua kali. Sebelum pandemi Covid-19 orang rela mengeluarkan ongkos mahal agar bisa pulang kampung. Mereka sampai rela berdesak-desakan, bersabar terhadap kema- cetan, maupun tulus bertahan semalam suntuk agar mendapatkan tiket pulang.
ADVERTISEMENT
Betapa berartinya sungkeman bagi alam pikiran tradisi dan budaya Jawa itu. Mudik, sungkeman, dan perayaan di Idul Fitri merupakan wujud penghayatan orang Jawa atas realitas sangkan paraning dumadi (asal-usul kehidupan). Fenomena tersebut membuktikan khazanah kebudayaan Jawa yang bersifat konstruktif, teoretis, dan filosofis. Bagi orang Jawa semua itu sudah melekat sebagai nilai hidup serta perilaku kemanusiaannya. Ikatan kultural yang mewujudkan tradisi sungkeman sesungguh- nya menunjukkan keseimbangan, kese- larasan, dan keserasian kehidupan sehari- hari. Itulah sebabnya, orang harus mudik karena keterikatan budaya yang telah men- jadi prinsip hidup.
Pemerintah Indonesia melarang mudik lebaran tahun ini. Pengetatan perjalanan dan peniadaan mudik disebutkan dalam Surat Edaran Satgas Penanganan Covid-19 Nomor 13 Tahun 2021. Surat tersebut berlaku mulai 22 April-5 Mei dan 18-24 Mei. Meskipun tra- disi mudik telah berjalan secara turun-temu- run, pandemi membuatnya lebih fleksibel. Kebudayaan Jawa selalu akomodatif terhadap situasi dan kondisi. Tradisi mudik masa pan- demi dilakukan secara virtual demi kebaikan bersama. Mudik virtual menawarkan solusi sungkeman tanpa risiko penyebaran dan penularan Covid-19. Bahkan sangat mungkin ditayangkan secara live streaming melalui zoom atau google meet.
ADVERTISEMENT
Sungkeman virtual tersebut seharusnya juga menjadi jalan keluar bagi pihak lemba- ga atau instansi apa pun ketika akan menggelar open house. Justru cara inilah yang paling tepat untuk merawat tradisi sekaligus melek teknologi. Dengan demi- kian, Revolusi Industri 4.0. menawarkan ke- mudahan sungkeman dan mudik virtual yang tengah dihadapi sebagian besar ma- syarakat Indonesia. Selain terjangkau bagi siapa saja, jalan tengah ini turut mengaksel- erasi pemulihan semua sektor yang ter- dampak karena virus Corona. Tanpa kerja sama dan kerelaan dari berbagai pihak, pe- nanganan Covid-19 sukar dimungkinkan. Paling tidak titik berangkat pemecahannya melalui mudik dan sungkeman virtual.
(Penulis Mantan Rektor UNY, Guru Besar pada Pascasarjana Pendidikan Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa)-f