Penggusuran Paksa: Gali Lubang Tutup Lubang?

Khalilla Putri Harivi
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
15 Desember 2022 19:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Khalilla Putri Harivi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto diambil sendiri oleh penulis.
zoom-in-whitePerbesar
Foto diambil sendiri oleh penulis.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pelanggaran HAM merupakan satu dari sekian banyak permasalahan hukum yang masih sering terjadi dan merupakan hal yang pelik di masyarakat. Berbicara mengenai hak asasi manusia, hak asasi manusia ialah hak yang melekat pada setiap diri manusia sejak manusia lahir. Hak asasi manusia adalah bentuk anugerah dari Tuhan kepada hambaNya tanpa terkecuali yang harus dihormati dan dijunjung tinggi.
ADVERTISEMENT
Salah satu contoh dari hak asasi manusia adalah hak asasi sipil. Beberapa hak dalam hak-hak sipil terdiri dari hak untuk tidak mendapatkan kekerasan dan hak untuk hidup dengan kehidupan yang layak. Salah satu contoh pelanggaran hak sipil yang masih sering ditemukan hingga saat ini adalah penggusuran paksa.
Penggusuran paksa kerap terjadi di kota-kota besar seperti penggusuran paksa Kampung Pulo di Bantaran Sungai Ciliwung, penggusuran di Jalan Raya Fatmawati—untuk proyek Mass Rapid Transit (MRT)—, penggusuran paksa warga Waduk Pluit, penggusuran warga Tamansari di Bandung, dan masih banyak kasus penggusuran paksa di wilayah lainnya.
Penggusuran atau pengusiran lahan kerap kali dilakukan oleh pemerintah secara paksa terhadap mereka yang lahannya atau tempat tinggalnya ingin diambil alih oleh pemerintah. Penggusuran lahan dilakukan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan pemerintah, seperti penertiban lahan yang tidak memiliki surat hak milik atas tanah, penertiban kawasan urban yang kumuh, penggusuran lahan untuk membangun infrastruktur negara, dan masih banyak lagi.
ADVERTISEMENT
Lahan yang kumuh biasanya terdapat di kawasan urban yang dilatarbelakangi oleh fenomena urbanisasi, yaitu penduduk dari daerah desa yang pindah ke ibukota untuk mengadu nasib, tetapi tidak berhasil. Hal ini menyebabkan mereka terpaksa membangun tempat tinggal di tempat yang tidak layak. Permukiman kumuh tersebut biasa dikenal dengan Slum area.
Slum area dianggap akan melemahkan strategi perencanaan pembangunan kota dan menghilangkan kemampuan pemerintah kota untuk mengelola fasilitas kota. Kawasan kumuh yang dinilai merusak estetika dan mengurangi ruang terbuka hijau di kota-kota besar akhirnya terpaksa harus digusur oleh pemerintah.
Setelah digusur, mereka memang diberi tempat tinggal pengganti seperti rusun. Akan tetapi, rusun tersebut tidaklah gratis, melainkan harus membayar sewa. Sebelum tempat tinggal mereka digusur, perekonomian mereka sudah berada di garis kemiskinan. Setelah digusur, mereka harus membayar uang sewa rusun yang jelas akan menambah beban ekonomi mereka.
ADVERTISEMENT
Belum lagi jika tempat tinggal baru mereka jauh dari tempat mereka bekerja sebelumnya sehingga ada kemungkinan mereka akan mengganti pekerjaan mereka. Mereka beruntung jika mendapatkan pekerjaan baru. Akan tetapi, jika tidak mendapatkan pekerjaan baru, mereka akan menjadi pengangguran.
Hal ini membuktikan bahwa ganti rugi yang diberikan kepada korban penggusuran oleh pemerintah belumlah efektif dan solutif. Malah masih banyak korban penggusuran yang belum mendapatkan ganti rugi yang sesuai dengan yang sudah dijanjikan. Padahal, persoalan ganti rugi sudah diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, pemerintah berkewajiban memberikan ganti rugi secara layak bagi para korban penggusuran.
Niat pemerintah untuk mengatasi kawasan kumuh dengan menggusur, malah menambah masalah baru. Hal ini seperti gali lubang tutup lubang. Pemerintah tidak bisa mengatasi suatu permasalahan dengan menimbulkan permasalahan baru. Tentunya dalam mengatasi sebuah masalah-masalah negara, pemerintah seharusnya lebih tahu permasalahan mana yang lebih diprioritaskan.
ADVERTISEMENT
Melihat realitas permasalahan ini, pemerintah sebaiknya berhenti untuk melakukan penggusuran paksa jika pemerintah masih belum menemukan solusi yang efektif bagi permasalahan ini dan belum mampu memberikan keadilan ganti rugi yang adil bagi korban penggusuran. Menurut Commission on Human Rights Resolution 1993/77, penggusuran paksa adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia atau gross violation of human rights atau pelanggaran HAM kategori berat.
Pada pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Indonesia dengan tegas menolak keras perbuatan apapun yang melanggar perikemanusiaan dan perikeadilan. Undang-Undang Dasar Tahun 1945, juga memuat hak-hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang salah satunya adalah mengatur hak atas kesejahteraan, misalnya setiap orang berhak mendapatkan tempat tinggal dan kehidupan yang layak dan jaminan sosial.
ADVERTISEMENT
Undang-undang yang mengatur hak atas memiliki tempat tinggal yang layak di antaranya terdapat pada Undang-Undang Dasar Negara Pasal 28E yang menyatakan bahwa setiap orang berhak menentukan di mana ia tinggal, ingin meninggalkan tempatnya, dan berhak untuk kembali lagi.
Terdapat pula pada Pasal 28H yang menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk memiliki kehidupan yang sejahtera dengan tinggal dan hidup dengan baik dan sehat. Itu berarti hak atas memiliki tempat tinggal yang layak sudah dijamin oleh konstitusi. Namun, apakah hak atas tempat tinggal yang layak sudah dipenuhi oleh negara?
Dengan melakukan penggusuran paksa, berarti pemerintah belum bisa memenuhi hak atas tempat tinggal yang layak bagi warga negaranya. Pemerintah melanggar hak yang dimiliki oleh rakyat di mana mereka seharusnya bebas untuk memilih tempat tinggal mereka sendiri dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan layak.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, pemerintah malah mengabaikan hak-hak rakyatnya untuk memiliki kehidupan yang lebih layak dengan melakukan penggusuran paksa. Solusi yang diberikan kepada korban penggusuran juga masih belum efektif. Penggusuran paksa merupakan bentuk dari pelanggaran terhadap hak asasi manusia sebab hak untuk memiliki tempat tinggal yang layak sudah diatur dan dijamin oleh konstitusi.
Pemerintah seharusnya tidak melakukan penggusuran paksa karena hal tersebut melanggar Undang-Undang Dasar 1945. Pemerintah masih memiliki banyak opsi untuk melakukan perbaikan kawasan kumuh atau pembukaan jalur hijau tanpa harus melakukan penggusuran paksa dan seharusnya lebih mengutamakan hak-hak rakyat terlebih dahulu.