Eksploitasi dalam Berpose

Khalid Rasyid Siregar
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Mulawarman
Konten dari Pengguna
18 September 2023 18:20 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Khalid Rasyid Siregar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Lusuh dan Kusut di Balik Pesona Victoria's Secret

Ilustrasi Ajang Fashion Show. Foto: unsplash.com/@guoshiwushuang
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Ajang Fashion Show. Foto: unsplash.com/@guoshiwushuang
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Brand atau merek Victoria’s Secret sudah tidak asing lagi di mata masyarakat internasional. Brand ini berdiri pada 1977, didirikan oleh dua bersaudara Roy dan Gaye Raymond.
ADVERTISEMENT
Seiring berjalannya waktu, Victoria’s Secret tumbuh menjadi salah satu brand kecantikan paling terkenal di dunia. Bahkan sekarang sudah memiliki aset sekitar 11,5 miliar US dolar.
Merek ini dikenal dengan produk-produk fashion dan kecantikannya seperti pakaian dalam, parfum, dan aksesori lainnya. Dan, tak ketinggalan, juga ajang kecantikan Victoria’s Secret Fashion Show yang mendunia.
Namun di balik pesona kecantikan dan kemewahan, Victoria’s Secret mendapat berbagai tuduhan dan kritik, yang mana Victoria’s Secret dianggap menggunakan pabrik produksi yang tidak layak di mana terdapat banyak bentuk eksploitasi pekerja di dalamnya.
Pabrik-pabrik ini dikenal dengan istilah sweatshops atau toko keringat, merupakan pabrik atau tempat produksi yang mana kondisi kerja dan regulasinya dinilai tidak layak di masa modern sekarang.
ADVERTISEMENT
Sweatshop sering digambarkan dengan ruang kerja yang sempit, ventilasi yang buruk, waktu istirahat yang sedikit—bahkan kadang kala tidak ada—minim pencahayaan, berbahaya, upah di bawah standar, dan yang cukup kontroversial berupa pelanggaran tenaga kerja anak.
Realitanya ternyata terdapat banyak perusahaan besar multinasional yang mendapat kritikan telah menggunakan sweatshops. Contohnya seperti Adidas, Nike, H&M, Uniqlo, dan belasan perusahaan lain.
Lokasi sweatshops dari perusahaan tadi berada di negara ketiga/berkembang. Hal ini dinilai dikarenakan lemahnya regulator negara-negara tersebut terkait peraturan mengenai ketenagakerjaan. Victoria’s Secret sendiri dikritik menggunakan sweatshops dalam proses produksinya yang berada di Yordania, Bangladesh dan Sri Lanka.
Dikutip dari New York Times, untuk Yordania sendiri, ketua dari Komite Nasional Pekerja, Charles Kernaghan, menyatakan kondisi sweatshops di Yordania merupakan salah satu yang terburuk, di mana waktu kerja non-stop 48 jam.
ADVERTISEMENT
Kartu identitas pekerja pun disita oleh pabrik yang mana hal tersebut dapat membahayakan mereka saat sedang berada di luar pabrik. Dan yang lebih mengejutkan eksploitasi pekerja tidak berakhir di dalam sweatshops, melainkan jauh sebelum sampai ke pabrik-pabrik ini.
Eksploitasi pekerja perusahaan besar ini dimulai dari kebun-kebun bahan mentah untuk keperluan produksi. ahan baku sweatshop Victoria’s Secret berasal dari pekerja anak di kebun kapas di Burkina Faso.
Anak-anak itu tidak mendapat hak seperti anak pada umumnya seperti sekolah, bermain, dan hak dilindungi dari segala bentuk eksploitasi. Namun, keadaan berkata lain. Mereka diharuskan bekerja dengan waktu yang tidak teratur dan keamanan dan kesejahteraan yang tidak terjamin.
Dengan perkembangan globalisasi, isu sweatshops ini menjadi hal yang penuh akan perdebatan. Di satu sisi, seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, sweatshops dinilai melakukan eksploitasi terhadap para pekerjanya.
ADVERTISEMENT
Namun di sisi lain, banyak juga yang berpendapat bahwa keberadaan sweatshop membawa dampak yang baik terhadap perekonomian negara tempat sweatshop itu berada.
Seperti yang dipublikasikan oleh Garry Canepa dari Universitas Northeastern Massachusetts Amerika Serikat, bahwa pekerja di sweatshops biasanya akan memperoleh penghasilan yang memungkinkan mereka untuk keluar dari kemiskinan di wilayahnya. Hal ini dapat dibuktikan di Tiongkok dan India yang mana terjadi penurunan tingkat kemiskinan ekstrem dalam beberapa dekade terakhir.
Hingga saat ini belum ada pernyataan resmi dari Victoria’s Secret terkait tuduhan melakukan eksploitasi pekerja melalui sweatshops. Hal ini dapat mengindikasikan kebenaran akan tuduhan yang dilayangkan oleh berbagai pihak.
Walaupun secara regulasi tidak ada pelanggaran yang terjadi dikarenakan kebijakan negara tempat sweatshops itu sendiri, tetapi dalam dunia bisnis dan ekonomi, terdapat etika yang kiranya harus dipatuhi oleh setiap pihak yang terlibat. Terlebih seperti Victoria’s Secret adalah perusahaan besar multinasional dan mendunia.
ADVERTISEMENT
Terdapat beberapa etika dalam bisnis yang berkaitan dengan penggunaan sweatshops dalam produksinya. Yang pertama perusahaan multinasional seharusnya sudah memiliki standar dan komitmen menjunjung tinggi HAM, termasuk hak-hak pekerja di dalamnya secara menyeluruh/global.
Kemudian, perusahaan besar juga memiliki tanggung jawab dalam menjaga kondisi di tempat mana pun yang memiliki keterlibatan atas produksinya. Serta berkomitmen transparan pada setiap hasil pengawasan yang dilakukan.
Tidak berhenti sampai di situ, setelah dilakukan pengawasan dan penjagaan, perusahaan kiranya berkomitmen memperbaiki kondisi di lapangan apabila terdapat ketidaksesuaian. Perusahaan dapat bekerja sama, baik dengan pemerintah setempat atau dengan organisasi internasional seperti ILO, Unicef, ILRF dan lembaga pekerja lainnya.
Terakhir, perusahaan harus aktif melakukan edukasi kepada seluruh pihak, baik itu kepada karyawan, konsumen, dan masyarakat terkait eksploitasi pekerja. Hal ini dapat dilakukan melalui pertemuan dan kampanye di berbagai platform.
ADVERTISEMENT