Dimensi Pemilu yang Tampak Kabur

Khairul Ikmam
Mahasiswa Hukum Universitas Ahmad Dahlan (UAD)
Konten dari Pengguna
1 Maret 2024 12:10 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Khairul Ikmam tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Warga mencoblos surat suara saat pemungutan suara ulang (PSU) Pemilu 2024 di TPS 52 lapangan Entrop, distrik Jayapura Selatan, Jayapura, Papua (24/2/2024). Foto: ANTARA FOTO/Chairil Indra
zoom-in-whitePerbesar
Warga mencoblos surat suara saat pemungutan suara ulang (PSU) Pemilu 2024 di TPS 52 lapangan Entrop, distrik Jayapura Selatan, Jayapura, Papua (24/2/2024). Foto: ANTARA FOTO/Chairil Indra
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tulisan ini didasari oleh pernyataan Mahfud MD dalam bukunya “Politik Hukum Di Indonesia” bahwa “Pemilu mutlak diperlukan oleh negara yang menganut paham demokrasi”. Oleh karena itu penulis ingin membongkar beberapa dimensi lain pemilu yang jarang dilihat dan akan diukir rapi dalam tulisan ini.
ADVERTISEMENT

Masyarakat Adalah Angka

Jika diibaratkan, Pemilu adalah ruang yang mengubah suara masyarakat menjadi angka-angka. Disadari atau tidak, kenyataannya memang demikian. Suara kita yang berubah menjadi angka merupakan representasi dari masyarakat sebagai entitas yang memiliki hak pilih, one man one vote.
Banyak yang tidak menyadari fakta ini bahwa dalam masa 5 tahun ke depan suara kita dipertaruhkan. Oleh karena itu sudah seharusnya digunakan dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai terbawa arus dalam sosial media yang segalanya bisa dimanipulasi sedemikian rupa.
Tak dapat dipungkiri, pertaruhan suara tersebut sebenarnya merupakan jalan untuk memilah calon pemimpin yang bijaksana. Melalui kampanyenya, calon pemimpin sangat memungkinkan melakukan apa pun untuk menjadi pemenang. Dimulai dari pencitraan hingga cara-cara kotor seperti politik uang. Maka angka yang telah kita pertaruhkan dalam pemilu kepada mereka jangan sampai terbuang sia-sia karena memilih pemimpin yang tidak bijaksana.
ADVERTISEMENT

Fanatisme Pendukung

Dari sekian banyak hal persoalan yang jarang dilihat adalah fanatisme pendukung yang merujuk pada kesetiaan yang berlebihan pada calon tertentu. Hal ini sering kali menyebabkan seseorang tidak bersikap rasional dalam dukungan mereka bahkan sangat mungkin sampai kepada tingkat mengabaikan fakta maupun logika.
Ihwal ini terjadi di Pemilu hari ini di mana intoleransi atas pandangan yang berbeda serta kebencian terhadap kelompok yang dianggap “lawan”. Oleh karena itu, fanatisme pendukung menjadi penyakit berbahaya jika negara membiarkan hal ini selalu terjadi dan akan sangat berimplikasi terhadap terjadi perpecahan di masyarakat. Sehingga kemudian sangat penting bagi negara untuk mengambil langkah tindak lanjut mengatasi masalah ini.
Sangat relevan kiranya jika dikatakan bahwa sesuatu yang berlebih-lebihan tidak bagus, apalagi dalam hal memilih pemimpin yang sifatnya harus sungguh-sungguh. Maka sangat fundamental kiranya edukasi politik secara masif kepada masyarakat untuk mencegah fanatisme seperti ini berkembang biak.
ADVERTISEMENT

Sebuah Pasar

Pemilu sarat atas berbagai macam kepentingan politik, sebuah tempat ramai yang sengaja dibuat guna menghasilkan pemimpin yang sejati melalui proses yang demokratis. Namun, realitas empirisnya kemudian memperlihatkan dimensi yang berbeda di mana Pemilu menjadi tempat transaksional.
Lantaran demikian, sistem transaksional ini meneguhkan pernyataan daripada Robert A Dahl yang beranggapan bahwa Pemilu sebenarnya adalah “Pasar”, yakni sebuah mekanisme di mana masyarakat menjadi konsumen dalam memilih kandidat politik tertentu selaku produsen. Adapun masyarakat terkadang menganggap bahwa fenomena transaksional merupakan hal yang biasa sehingga jika selalu dibiarkan fenomena transaksional akan menjadi hal yang normal padahal sejatinya abnormal.
Oleh karena itu, jika Pemilu selalu dibumbuhi dengan bau tidak sedap transaksional, pada akhirnya Pemilu hanyalah sebuah formalitas bukan substansialitasnya di mana yang dilihat adalah “jumlah transaksinya” bukan “gagasan dan idenya”. Maka daripada itu, sangat penting kiranya dimensi-dimensi ini turut diperhatikan untuk menciptakan pemilu yang lebih berintegritas. Perlu kita sadari, bahwa pemilu bukanlah alat untuk mencapai kekuasaan namun sebuah perangkat dalam menciptakan kebijaksanaan.
ADVERTISEMENT