Mengapa Penetapan Jaminan Produk Halal oleh Majelis Ulama Indonesia?

KH M. Cholil Nafis
Dosen Tetap Program Doktor FEB UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pengasuh Pondok Pesantren Cendekia Amanah Depok
Konten dari Pengguna
14 Maret 2022 15:09 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari KH M. Cholil Nafis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Logo Halal baru (kiri) dan Logo Halal lama. Foto: LPPOM MUI dan Kemenag
zoom-in-whitePerbesar
Logo Halal baru (kiri) dan Logo Halal lama. Foto: LPPOM MUI dan Kemenag
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Karena yang pertama, sedari awal yang menginisiasi sertifikasi produk halal itu Majelis Ulama Indonesia. Sebelumnya masyarakat Indonesia resah dengan isu produk tak halal yang dikonsumsi masyarakat muslim. Sebab untuk memastikan kehalalan suatu produk pangan di pasaran tidak ada yang bertanggung jawab dan tidak ada tandanya. Di sinilah awal mula gagasan dan realisasi dari MUI untuk melakukan sertifikasi halal.
ADVERTISEMENT
Meskipun istilah sertifikat halal produk sempat menjadi polemik di masyarakat sebab di dalam al-Qur’an al-Karim Allah hanya merinci beberapa jenis secara dzati yang haram sedangkan yang tak disebut berarti dihalalkan. Menurut logika itu seharusnya MUI menetapkan barang-barang yang diharamkan. Namun pada akhirnya masyarakat menerima penetapan produk halal dengan ketentuan bahwa produk itu dijamin kehalalannya dan tidak berarti yang tidak bersertifikat halal ada haram. Karena realitanya, kemampuan teknologi memungkinkan dan banyak sekali barang olahan yang bercampur dengan barang haram atau najis.
Karena yang kedua, halal adalah istilah yang melekat dengan ajaran Islam. Bahwa pokok ajaran Islam adalah halal dan haram, sedangkan syubhat adalah sesuatu yang tidak jelas status kehalalan dan keharaman. Jadi istilah halal itu sudah islami maka tidak perlu ditambah istilah lain seperti halal syar’i atau halal islami.
ADVERTISEMENT
Karena yang ketiga, konstitusi negara Indonesia mengamanahkan bahwa negara tidak boleh masuk ke dalam esensi ajaran agama dan tidak dapat menentukan kebenaran beragama. Maka substansi kebenaran ajaran pemeluk agama dikembalikan kepada majelis agama. Di sinilah yang menentukan bahwa penetapan kehalalan produk dilakukan melalui sidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia dengan melibatkan pihak terkait. Oleh karena posisi MUI sebagai tempat berhimpun para ulama dari organisasi-organisasi kemasyarakatan Islam sehingga dianggap mewakili kepentingan Umat.

Inisiasi Sertifikasi Produk Halal di Indonesia

Rintisan sertifikasi jaminan produk halal dimulai oleh Majelis Ulama Indonesia saat heboh dari hasil penelitian Tri Susanto, yang menemukan adanya turunan produk babi dalam beberapa produk makanan dan minuman. Penemuan tersebut dipublikasikan dalam buletin Canopy bulan Januari 1988 dan menjadi rumor ketika dikutip oleh media massa. Pada situasi saat itu penjualan produk makanan dan minuman turun sampai 80% hingga menekan pertumbuhan ekonomi nasional dan menimbulkan amarah kaum muslim di Indonesia. Kasus ini dapat diredakan setelah pemerintah mengakui adanya sertifikasi halal melalui Majelis Ulama Indonesia.
ADVERTISEMENT
Selain itu, banyak sekali produk kemasan yang diproduksi dalam negeri dan luar negeri sehingga masyarakat merasa waswas. Sementara di Indonesia tidak ada mufti khusus dan tidak ada lembaga yang khusus menangani dan menjamin kehalalan produk kemasan. Lalu MUI ambil alih atas keluhan masyarakat dan melakukan sertifikasi halal secara sukarela dari pelaku usaha. Tujuan adalah menjaga umat (himayatul ummah) dari konsumsi dan barang gunaan haram secara bahan pokoknya (dzatiyah) bukan cara mendapatkannya
Dalam standar Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dimaksud produk halal adalah produk yang memenuhi persyaratan halal sesuai dengan syariat Islam, yaitu (1) tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi; (2) tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti bahan-bahan yang berasal dari organ manusia, darah, kotoran-kotoran dan sebagainya; (3) semua bahan yang berasal dari hewan halal yang disembelih menurut tata cara syariat Islam; (4) Semua tempat penyimpanan, tempat pengolahan, dan transportasi tidak boleh digunakan untuk babi. Jika pernah digunakan untuk babi atau barang yang tidak halal lainnya terlebih dahulu harus dibersihkan dengan tata cara menurut syariat Islam; (5) semua makanan dan minuman yang tidak mengandung khamar.
ADVERTISEMENT
Atas dalih perlindungan konsumen dan menyangkut penegakan hukum kemudian disahkan Undang-undang nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Seyogyanya batas waktu dimulainya mandatori sertifikasi halal adalah 17 Oktober 2019 dan ternyata Peraturan Pemerintah berkenaan dengan besaran tarif dan aturan teknis lainnya belum dapat diterbitkan maka untuk efektivitas pelaksanaan Undang-undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal diterbitkan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 982 tahun 2019 tentang layanan sertifikasi Halal. KMA ini mendiskresi Undang-undang karena tidak bisa dilaksanakan sesuai amanahnya. Bahwa Diktum tersebut mengatur tentang diskresi besaran tarif layanan sertifikasi halal, sembari menunggu terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
KMA menjelaskan secara rinci bahwa pengajuan dan penerbitan sertifikat halal dilakukan oleh BPJPH sebagaimana kewenangan yang diamanahkan oleh Undang-undang. Sedangkan pemeriksaan kehalalan dan/atau pengujian kehalalan produk dilakukan oleh LPPOM. Adapun pengkajian ilmiah terhadap hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk dan pelaksanaan sidang fatwa proses sertifikasi halal dilakukan oleh MUI.
ADVERTISEMENT

Proses Sertifikasi dan Label Produk Halal

Proses pemberian sertifikat halal berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, berdasarkan pasal 29 bahwa permohonan sertifikat halal diajukan oleh pelaku usaha secara tertulis kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Permohonan sertifikat halal harus dilengkapi dengan dokumen data pelaku usaha, nama dan jenis produk dan daftar produk dan bahan yang digunakan dan proses pengolahan produk
Untuk melakukan pemeriksaan halal BPJPH menetapkan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang bertugas melakukan pemeriksaan halal dan/atau pengujian kehalalan produk (Pasal 30 ayat 1). Pasal 31 mengatur, pemeriksaan dan/atau Pengujian kehalalan produk dilakukan oleh auditor halal di lokasi usaha pada saat proses produksi, apabila terdapat bahan yang diragukan kehalalannya dapat dilakukan pengujian di laboratorium.
ADVERTISEMENT
Setelah LPH selesai melaksanakan tugasnya pemeriksaan halal selanjutnya menyerahkan hasilnya ke BPJPH dan kemudian BPJPH menyerahkannya kepada MUI untuk memperoleh menetapkan kehalalan Produk (Pasal 32). Untuk menentukan apakah produk itu halal atau tidak maka MUI melakukan sidang Fatwa Halal (Pasal 33). Sidang Fatwa MUI diikuti oleh pakar, unsur kementerian/lembaga dan atau instansi terkait.
Apabila dalam sidang fatwa halal, menyatakan produk halal, maka BPJPH menerbitkan sertifikat halal dalam waktu paling lama 7 hari sejak keputusan halal dari MUI. Sebaliknya apabila dalam sidang fatwa halal MUI menyatakan produk tidak halal, maka BPJPH mengembalikan permohonan sertifikat halal kepada pelaku usaha disertai dengan alasan. Selanjutnya BPJPH harus mempublikasikan penerbitan sertifikat halal (pasal 34).
Pelaku usaha yang telah memperoleh sertifikat halal dari BPJPH, wajib mencantumkan label halal pada kemasan produk, bagian tertentu atau tempat tertentu pada produk yang mudah dilihat, dibaca serta tidak mudah dihapus, dilepas dan dirusak (Pasal 38 dan 39). Pelaku usaha yang tidak mencantumkan label halal sesuai ketentuan pasal 38 dan 39 dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan, peringatan tertulis, pencabutan sertifikat halal.
ADVERTISEMENT
Jadi, label halal itu adalah bagian dari kewajiban pelaku usaha untuk memenuhi hak konsumen agar mudah dikenali. Logo yang tersebar sekarang sebenarnya tidak pernah menjadi logo resmi yang diputuskan oleh MUI, tetapi kepercayaan masyarakat yang produknya mendapat jaminan halal dari MUI dan masyarakat mudah mengenalnya maka dicantumkan logo cap MUI dan ada tulisan Halal. Tujuan utama (maqshudul a’zham) logo itu mengenalkan kehalalan kepada umat. Maka seharusnya domainnya adalah ajaran agama serta tulisan yang sifatnya mudah dipahami dan berlaku secara universal. Namun demikian logo halal yang beredar sekarang berlaku lima tahun ke depan dari sejak Peraturan Pemerintah dikeluarkan.
Sebenarnya Majelis Ulama Indonesia yang telah menginisiasi sertifikasi halal merasa bahagia dan bangga karena diakui oleh semua kalangan dan memberi manfaat kepada orang lain hingga menjadi mandatori kepada pelaku usaha. Seharusnya yang terpenting bukan logo halalnya tapi prosesnya benar-benar dilakukan secara profesional dan bertanggung jawab serta mendapat kepercayaan umat. Apalah arti sebuah logo kalau sekiranya tak menggambarkan isinya apalagi tak dipercaya masyarakat.
ADVERTISEMENT