Benarkah Meninggalkan Salat Jumat 3 Kali Berturut-turut Kafir?

KH M. Cholil Nafis
Dosen Tetap Program Doktor FEB UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pengasuh Pondok Pesantren Cendekia Amanah Depok
Konten dari Pengguna
29 Maret 2020 14:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari KH M. Cholil Nafis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi mengajak anak salat Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mengajak anak salat Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sering kali saat saya wawancara di TV atau radio banyak pertanyaan tentang hadis yang menyebutkan bahwa orang yang meninggalkan salat Jumat tiga kali berturut-turut jadi keras hatinya bahkan ada yang menyebut kafir dan wajib bersyahadat kembali. Benarkah?
ADVERTISEMENT
Saya penasaran pada kesimpulan itu, lalu saya mencari referensi, kira-kira hadis yang mana ya. Sebatas pencarian saya dalam kitab-kita hadis maka saya temukan hadis riwayat Abu Daud, nomor 1.052; Tirmidzi, nomor 500; dan Nasai, nomor 1.369 dari Abi Al-Ja'd r.a. Rasulullah SAW bersabda:
‎مَنْ تَرَكَ ثَلَاثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ)
"Barang siapa yang meninggalkan salat Jumat sebanyak tiga kali dengan meremehkannya, maka Allah tutup hatinya."
‎من ترك ثلاث جمع متواليات من غير عذر طبع الله على قلبه
"Siapa yang meninggalkan jumatan 3 kali berturut-turut tanpa udzur, Allah akan mengunci mati hatinya." (HR. At-Thayalisi dalam Musnadnya 2.548)
Hadis ini sahih namun pemaknaan tetap harus sesuai kaidah ilmu ushul fikih kalau ingin memetik hukum (istinbathul Ahkam) dari teks hadis ini.
ADVERTISEMENT
Pertama, hadis ini menyebutkan bahwa orang yang meninggalkan Jumatan/salat Jumat tiga kali berturut-turut karena meremehkan, bahkan dalam riwayat lain disebutkan bukan karena udzur. Artinya yang karena udzur dan bukan karena mengabaikan tidak termasuk dalam hadis ini.
Karenanya, orang yang tak Jumatan itu boleh jadi karena udzur juga bisa karena malas, bahkan mungkin tak percaya hukum kewajiban salat Jumat.
Ulama fikih merinci hukumnya secara berbeda. Bagi yang karena udzur tentu boleh tak Jumatan dan diganti dengan salat zuhur seperti karena sakit atau ketakutan. Dalam kasus COVID-19 bisa karena keduanya yaitu karena sakit bagi Pasien Dalam Pengawasan(PDP) dan takut menular bagi Orang Dalam Pamantauan (ODP) juga masyarakat yang takut tertular.
ADVERTISEMENT
Tak Jumatan karena malas atau meremehkan kewajiban salat Jumat hukumnya haram atau ma’siat kepada Allah. Nah, dalam hadis ini ancamannya bagi yang meninggalkan Jumatan tiga kali berturut-turut maka dicap oleh Allah sebagai munafik dan antikebaikan sehingga tertutup hatinya dari menerima kebaikan. Akhirnya ia cenderung menolak terhadap ajakan kebaikan dan bahkan resah dari seruan baik dari agama.
Jika meninggalkan salat Jumat karena inkar/tak percaya pada rukun Islam atau kewajiban Jumatan maka tak perlu sampai tiga kali Jumatan maka saat itu juga ia telah kufur kepada Allah dan keluar dari Islam.
Nah, fatwa ulama se-Dunia yang membolehkan tidak salat Jumat dan ditetapkan oleh pemerintah DKI dan daerah merah COVID-19 tidak boleh salat Jumat itu bukan karena alasan masjid atau kewajiban salat yang dilarang tapi untuk menghindari kerumunan banyak orang yang dikhawatirkan jadi arena penularan COVID-19 yang membahayakan. Jadi larangan itu bukan salat Jumatan atau jemaahnya, tapi berkerumun banyak orang yang membahayakan.
ADVERTISEMENT
Dalam prinsip Hukum Islam: “Mencegah dari mafsadah/keburukan didahulukan daripada memperoleh kebaikan”.
Sebab menurut dugaan kuat (ghalabatuzhzhan) virus itu menyebar kepada orang lain dengan cepat saat orang dalam kerumunan. Makanya salat Jumat diliburkan dan diganti dengan salat zuhur itu saddan lidzdzari’ah (langkah preventif) dari bahaya COVID-19.
Allah SWT tetap mencatat pahala Jumatan bagi orang yang sudah biasa salat Jumat tapi beberapa kali tidak melakukan karena udzur wabah Corona. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
‎قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
“Rasulullah saw. bersabda: ‘Apabila seorang hamba sakit atau bepergian (safar), dicatat (amalannya) seperti apa yang dikerjakannya ketika dia bermukim dan sehat.” (HR Bukhari)
ADVERTISEMENT