Nurcholish Madjid dan Bung Hatta, serta Masalah Negara Bangsa

KH Anwar Abbas
Wakil Ketua Umum MUI, Ketua PP Muhammadiyah
Konten dari Pengguna
1 Februari 2024 8:59 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari KH Anwar Abbas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bung Hatta. Foto: AFP
zoom-in-whitePerbesar
Bung Hatta. Foto: AFP
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ada dua tipologi pemimpin yaitu pertama bertipe problem solver dan yang kedua bertipe problem maker. Dalam tipe kedua sang pemimpin sering tampil dan hadir membuat gaduh masyarakat, karena sering melanggar konstitusi dan ketentuan yang ada. Mungkin dia berhasil melestarikan kekuasaannya lewat pengendalian yang ketat terhadap lembaga-lembaga negara dan pemerintahan yang ada, tetapi jumlah masyarakat yang kecewa kepadanya semakin hari semakin meningkat saja, karena berbagai tindak ketidakadilan dan ketidakpantasan terpampang terang di depan mata.
ADVERTISEMENT
Berbeda halnya dengan tipe pemimpin bentuk pertama. Dia tampil sebagai sosok yang dinantikan dan diharapkan kehadirannya, karena dia datang yang menurut Nurcholish Madjid untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang timbul dengan pemikiran-pemikiran yang realistis dan rasional.
Oleh karena itu dalam menghadapi demokrasi terpimpinnya Bung Karno, Bung Hatta tampak tampil sangat hati-hati karena Hatta tahu menurut Nurcholish--jika perkembangan politik akan berakhir dengan kekacauan dan demokrasi akan berakhir dengan anarkis maka dia akan membuka jalan bagi lawannya yaitu diktator.
Untuk itu, sudah menjadi tugas bersama untuk memahami kembali secara baik tentang hakikat kebangsaan dan konsep negara bangsa yang sedang kita bangun dan kembangkan, terutama oleh para pemimpinnya. Sebab, tujuan mendirikan negara bangsa yang bernama Indonesia untuk mewujudkan maslahat umum atau kebaikan bagi seluruh warga negara tanpa kecuali.
ADVERTISEMENT
Tetapi, hal inilah yang tidak terlihat akhir-akhir ini, karena fenomena yang mengemuka adalah yang kaya semakin kaya bahkan peningkatan kekayaannya tumbuh berkali-kali lipat. Sementara mereka yang ada di lapis bawah tampak masih terseok-seok dan terkurung dalam kemiskinan yang melilitnya yang jumlahnya masih sangat besar yaitu 25,9 juta jiwa.
Di sinilah ironi itu terjadi sehingga kemiskinan yang telah menjerat masyarakat, dan kata Nurcholish seringkali telah menenggelamkan demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu, jika ingin demokrasi berjalan di negeri ini sesuai dengan yang diharapkan--maka seperti dikatakan Bung Hatta pembangunan demokrasi politik harus sejalan dengan pembangunan demokrasi ekonomi.
Hal inilah yang tidak tampak oleh kita dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang sedang dijalani, karena banyak kebijakan yang dibuat oleh pemerintah telah melenceng dari amanat konstitusi, sehingga tidak lagi tunduk kepada maslahat umum yang menjadi inti dari demokrasi itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Padahal falsafah bangsa kita adalah pancasila. Dari sila pertamanya saja yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa kita telah bisa menilai bahwa fenomena kehidupan politik di negeri ini sekarang ini sangat jauh dari kepantasan moral dan etika, karena pancasila tampaknya baru hanya ada di bibir saja belum mewujud dalam kehidupan keseharian.
Terutama dalam kehidupan para pemimpinnya, padahal menurut Bung Hatta semua kegiatan kenegaraan harus berlangsung di bawah sinar Ketuhanan Yang Maha Esa seperti yang ditegaskan dalam Pasal 29 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ini artinya konstitusi kita menghendaki agar dunia perpolitikan kita harus memiliki dasar metafisis yang kuat, tapi itulah yang kurang terlihat hari ini sehingga yang terjadi adalah penyalahgunaan kekuasaan yang seringkali dilakukan dengan kedok demokrasi.
ADVERTISEMENT
Yang di mana kita menjadi teramat sering disuguhi ketidaksamaan antara kata yang diucapkan dengan apa yang mereka kerjakan. Kasihan sekali nasib bangsaku ini ya?