news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Dugaan Pelanggaran Tambang di Lingga, Abdul Wahid Bakal Lapor Kapolri dan KLHK

Konten Media Partner
18 Agustus 2021 14:12 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Salah satu lokasi tambang di Pulau Singkep, Kabupaten Lingga. Foto: Istimewa/kepripedia.com.
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu lokasi tambang di Pulau Singkep, Kabupaten Lingga. Foto: Istimewa/kepripedia.com.
ADVERTISEMENT
Anggota Komisi VII DPR RI, Abdul Wahid, bakal melaporkan temuannya terhadap dugaan pelanggaran aktivitas tambang di Lingga ke Kapolri dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).
ADVERTISEMENT
Termasuk salah satu yang menjadi perhatiannya saat kunjungan kerja di Lingga, terkait aktivitas penambangan di kawasan hutan di Pulau Singkep, Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau.
Abdul Wahid menyorot salah satu perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) adalah PT YBP yang beroperasi di Desa Tinjul, Kecamatan Singkep Barat.
Perusahaan tersebut sudah mengantongi IUP Operasi Produksi sejak tahun 2010 dan mendapat perpanjangan izin tahun 2018. Namun, Abdul Wahid mengaku heran karena perusahaan tidak mengurus Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan dari Menteri LHK.
"Kita tidak anti investasi, tapi patuhi aturan mainnya. Bayangkan sudah 11 tahun mengantongi IUP dan menambang di kawasan hutan tanpa izin Menteri LHK. Ada apa ini? Siapa yang bertanggungjawab terhadap kerusakan hutan ini," ucap Abdul Wahid.
ADVERTISEMENT
Saat melakukan kunjungan ke lokasi IUP PT YBP, anggota komisi yang membidangi Energi, Industri, Riset dan Teknologi ini tak menemukan seorang pun karyawan atau pengurus perusahaan.
"Tadi, saya sudah cek koordinatnya, selain menambang di kawasan hutan tanpa izin, perusahaan ini juga menambang dan mengangkut mineral dari luar IUP. Ini jelas pidana dan aparat penegak hukum tak boleh membiarkannya," tegasnya.
Mengenai itu, Wahid menyebut tindak tersebut dapat dijerat dengan UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Dalam Pasal 17 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2013, disebutkan jika setiap orang dilarang membawa alat-alat berat, melakukan kegiatan penambangan, mengangkut, membeli dan menjual hasil tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri.
ADVERTISEMENT
"Bagi yang melanggar dapat dipidana penjara paling singkat 8 tahun dan paling lama 20 tahun, serta pidana denda paling sedikit Rp 20 miliar dan paling banyak Rp50 miliar,” paparnya.
Tak sampai disitu, ia juga menyebutkan, dalam Pasal 161 UU No. 3 Tahun 2020, sanksi pidananya juga ditegaskan, setiap orang yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengangkutan dan penjualan Mineral yang berasal dari luar IUP dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 100 miliar.
Diberitakan sebelumnya, anggota Komisi VII DPR RI, Abdul Wahid melakukan kunjungan kerja selama tiga hari di Kabuoaten Lingga. Beberapa agendanya yakni meninjau aktivitas pertambangan dan reklamasi pasca tambang di Pulau Singkep.
Anggota Komisi VII DPR RI, Abdul Wahid bersama Wabup Lingga, Neko Wesha Pawelloy meninjau lokasi tambang. Foto: Istimewa/kepripedia.com
Pada Selasa (17/8), Abdul Wahid  mengunjungi sejumlah lokasi PT dengan IUP. Seperti, PT YBP, PT TBJ, PT CSS, dan PT GI di Singkep Barat, serta PT SMA di Singkep Selatan.
ADVERTISEMENT
Hasil sidaknya itu, ia menyebut jika tata kelola dan aktivitas pertambangan di sejumlah tempat yang ia kunjungi masih tidak teratur dan bahkan ada potensi pelanggaran hukum.
"Tata kelolanya tambangnya betul-betul amburadul. Tadi, saya juga menemukan pembuangan limbah di luar IUP di PT CSS. Pohon-pohon yang digenangi limbah sudah mati semua. Ini juga jelas pidana," ujarnya kesal.
Menurutnya, berdasarkan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pemegang IUP yang sengaja atau karena kelalaiannya mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup dapat dipidana.
"Ancaman hukumnya pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun dan denda paling sedikit Rp 3 miliar dan paling banyak Rp 10 miliar," demikian Wahid.
ADVERTISEMENT