Ritus Ramadan dan Teori Panopticon

Kelik Novidwyanto Wibowo
Sejak kuliah telah menekuni dunia penulisan baik sebagai penulis maupun penyunting. Menyelesaikan studi S-1 di jurusan Ilmu Ekonomi Pembangunan, di Kota Jogja. Tahun 2021, menempuh studi Magister Manajemen di UST, Yogyakarta.
Konten dari Pengguna
2 April 2024 13:32 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kelik Novidwyanto Wibowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi menyambut bulan suci Ramadhan Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi menyambut bulan suci Ramadhan Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“People will do anything, no matter how absurd, in order to avoid facing their own souls. One does not become enlightened by imagining figures of light, but by making the darkness conscious.”
ADVERTISEMENT
― Carl Jung, Psychology and Alchemy
Orang-orang akan melakukan apa saja, betapapun absurdnya, untuk menghindari jiwa mereka sendiri. Seseorang tidak menjadi tercerahkan dengan membayangkan sosok cahaya, namun dengan menyadarkan kegelapan. Begitu kira-kira maksud dari quote Carl Jung, murid kebanggaan Sigmund Freud yang kemudian menjadi kritikus sejatinya.
Manusia mencari makna melalui jalan religi. Sumber: Shutterstock.
Menurut Jung, manusia akan melakukan apa saja untuk mendapatkan makna, menghindari kesepian dan menjadi bahagia. Untuk mendapatkan semua itu orang-orang menjadi seseorang ‘yang lain’. Contohnya seperti di media sosial, apa yang mereka share dan upload di instagram, facebook atau twitter tidaklah seperti kehidupan yang sesungguhnya. Tetapi mereka merasa bahagia dan seolah-olah bermakna dengan berpura-pura di dunia maya.
Pencarian manusia akan makna dan kebahagiaan pada akhirnya membentur tembok beku. Tidak ada kebahagiaan paripurna. Kekayaan, keberlimpahan rejeki, banyaknya teman atau jabatan tinggi tidak menjamin manusia menjadi bahagia. Yang mereka peroleh hanyalah pseudo-happiness alias kebahagiaan semu. Maka tidak heran jika anak-anak Gen Z, mereka yang lahir di medio 1997 – 2012, mempunyai kecenderungan mencandu game online, terlibat tawuran dengan geng-geng motor atau menghabiskan banyak waktu nongkrong di kafe-kafe.
ADVERTISEMENT

Ritus Ramadan

Betapapun indah dan mengasyikkannya kenikmatan duniawi, pada kenyataannya tidak pernah bisa menghapus dahaga akan makna. Ada yang disebut dengan limitasi. Keterbatasan itu membuat sesuatu yang melampaui titik kepuasan akan turun menjadi ketidakpuasan. Secara teori termaktub dalam Hukum Gossen I. Yaitu jika pemenuhan kebutuhan suatu jenis barang dilakukan secara terus menerus, maka rasa nikmatnya mula-mula akan tinggi, tetapi semakin lama kenikmatan itu terus menurun sampai akhirnya mencapai batas jenuh.
Contoh sederhananya tatkala kita meminum segelas air. Pada saat dahaga, segelas air bisa menyegarkan tenggorokan. Tapi pada gelas yang berikutnya, perlahan-lahan kenikmatan itu akan berkurang bahkan menghilang. Sialnya, teknologi media sosial menyelisihi Hukum Gossen dengan bermodal algoritma dan dopamin sehingga menciptakan ‘candu’. Pemicu utama candu media sosial adalah peningkatan dopamin otak yang memberi efek kesenangan setelah menggunakannya. Otak mengidentifikasi aktivitas ini sebagai sesuatu yang bermanfaat dan menyenangkan yang harus diulangi, lagi dan lagi.
Iman manusia acapkali naik dan turun. Sumber: Shutterstock.
Pada akhirnya kenikmatan duniawi tidak pernah bisa memenuhi kegelisahan manusia akan makna. Ada jalan lain yang harus ditempuh bernama agama (religion). Bahkan sosok jenius seperti Albert Einstein pernah berujar: "Ilmu pengetahuan tanpa agama adalah timpang, agama tanpa sains adalah buta." Sang ilmuwan mengatakannya kepada William Hermanns dalam sebuah wawancara.
ADVERTISEMENT
Menurut ulama muda Gus Dhofir Zuhry, sains tidak bisa mengambil peran agama karena tidak mempunyai janji keselamatan. Di dalam sains ada teori menggenggam, tetapi agama mempunyai teori melepas melalui sedekah. Ada pertemuan antara si kaya dan si miskin dalam ritus zakat. Agama juga memberikan janji keselamatan setelah kehidupan (after life).
Akar penggemblengan dalam agama Islam demi mencapai hakikat atau makna, berada di salah satu bulan bernama Ramadan. Di bulan ini terdapat kewajiban berpuasa, menahan haus dan lapar dari semenjak terbit fajar sampai waktu maghrib. Di sini ditekankan mekanisme penahanan diri akan memperturutkan nafsu.
Secara filosofis ditegaskan bahwa roh mempunyai derajat lebih tinggi daripada jasad (jism). Manusia bukanlah jasad yang ditiupkan roh di dalamnya, tetapi roh yang dibalut dengan jasadnya. Maka makanan dan minuman yang outputnya menegakkan fisik bisa diselisihi dengan penekanan pada olah batiniah: tadarus Al Quran, sedekah, salat tarawih dan Iktikaf. Semua ritus ini jauh dari tujuan memanjakan fisik, melainkan memberi penguatan pada batiniah.
Ritus ramadhan sebagai jalan penggemblengan batin. Sumber: Shutterstock.
Pada puncak ramadan, diwajibkan bagi umat muslim yang berpuasa untuk menunaikan zakat fitrah. Dalam konteks ini, sebagian harta si kaya dilepaskan untuk diberikan kepada yang membutuhkan. Pertanyaannya kemudian adalah: Kenapa ritus ramadan nampak menyiksa fisik melalui puasa dan seolah-olah membuat miskin dengan kewajiban mengeluarkan zakat? Jawabannya sederhana: supaya kita bisa berempati kepada yang tidak mampu, tidak hanya dengan merasakan lapar tetapi juga dengan berperan aktif melalui memberikan sebagian harta.
ADVERTISEMENT
Tetapi ritus ramadan ini mempunyai kata kunci: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 183). Artinya kewajiban ini berlaku bagi orang-orang yang beriman, di mana iman menurut Islam adalah keyakinan bulat yang dibenarkan oleh hati, diikrarkan lidah, dan dimanifestasikan dengan amal atau pembenaran dengan penuh keyakinan. Tanpa keraguan sedikitpun akan ajaran yang datang dari Allah dan Rasulullah SAW.
Tetapi iman manusia sendiri sejatinya naik dan turun, tidak pernah stabil. Ada kalanya seseorang memiliki keimanan yang kuat. Tindakannya selalu penuh kehati-hatian dan ingatannya selalu bertumpu terhadap akhirat. Namun, ada kalanya seseorang dalam kondisi iman yang turun, sehingga ia cenderung lalai dan malas beribadah. Maka di dalam kasus ini penting adanya suatu kontrol.
ADVERTISEMENT
Kontrol dari luar dibutuhkan supaya kita terjaga kualitas keimanannya. Menurut Gus Dhofir Zuhry, manusia menjadi baik ketika mendapat kontrol dari luar, mendapat kendali dari orang lain. Kontrol ini berasal dari orang-orang tepercaya, seperti alim ulama yang sudah teruji kadar kesalehannya. Fungsi kontrol ini dalam ajaran Yunani Plato dikenal dengan istilah ‘panopticon’ atau light CCTV.

Panopticon

Panopticon atau secara terminologi berarti ’melihat segalanya’, dipopolerkan oleh filsuf Inggris, Jeremy Bentham pada pertengahan abad ke-18. Suatu hari Bentham mengunjungi saudaranya, Samuel. Ia bekerja sebagai pengawas pekerja pabrik di Rusia. Samuel biasa duduk di sebuah pos yang letaknya berada di tengah-tengah pabrik. Pekerjaan Samuel ini memberikan inspirasi kepada Jeremy untuk membuat konsep tentang penjara Panopticon.
ADVERTISEMENT
Penjara Panopticon adalah penjara berbentuk silinder. Di pusat silinder itu ada menara yang memiliki jendela dengan kaca satu arah yang menghadap ke sisi dalam silinder. Dinding silinder terdiri atas sel-sel yang satu jendelanya menghadap ke dalam dan jendela lainnya menghadap keluar untuk mendapat cahaya mentari. Pengawas yang berada di menara bisa melihat para tahanan, tetapi tidak demikian sebaliknya.
Panopticon atau secara terminologi berarti ’melihat segalanya’. Sumber: Shutterstock.
Artinya, pengawas bisa mengawasi ke berbagai arah tanpa diketahui. Kemudian, tahanan bisa terlihat terus dari arah dalam silinder. Sehingga tahanan mengira ia terus diawasi oleh pengawas yang tak bisa dilihatnya. Efeknya, para tahanan akan terus mendisiplinkan dirinya sendiri agar tidak dihukum oleh pengawas yang terus memantau. Konsep ini menjadi dasar filosofis dari pengawasan.
ADVERTISEMENT
Teori ini kemudian digunakan Michel Foucault, seorang filsuf Prancis, sebagai model pengawasan di masyarakat. Bagi Foucault, Panopticon adalah “puncak dari apa yang disebutnya masyarakat disipliner”. Ide ini dibangun supaya masyarakat memahami bahwa mereka selalu disurvei oleh masyarakat yang disiplin, sehingga tidak menimbulkan masalah dan menjadi patuh karena takut dihukum.
Contoh dari Panopticon adalah ketika seseorang memutuskan bekerja di suatu perusahaan, menandatangani kontrak kerja, lalu secara patuh mengikuti aturan perusahaan. Ia mengetahui bahwa manajemen perusahaan akan menilai hasil pekerjaannya kapan pun sehingga memaksanya untuk bekerja sebaik mungkin jika tidak ingin terkena masalah.
Dalam term beragama, panopticon muncul dalam keyakinan akan adanya para ulama fuqaha, entitas Malaikat dan keberadaan Tuhan Allah SWT yang selalu mencatat dan mengawasi perbuatan kita. Sehingga apa pun perbuatan baik atau buruk manusia akan diganjar sesuai dengan perbuatannya. Mekanisme ini membuat manusia memiliki kontrol alias kendali diri supaya menjaga setiap tingkah laku dan perbuatannya. Selain itu, manusia juga memiliki rasa malu jika perbuatannya akan mencoreng nama baik komunitasnya.
ADVERTISEMENT