Mo Farah: Berlari Sepanjang Zaman, Ber-Islam Sepanjang Hayat

Katondio Bayumitra Wedya
Moslem. Author of Arsenal: Sebuah Panggung Kehidupan
Konten dari Pengguna
8 Mei 2019 8:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Katondio Bayumitra Wedya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mo Farah saat merayakan kemenangannya di nomor lari 10.000 meter Olimpiade London 2012. Foto: Wikimedia Commons
zoom-in-whitePerbesar
Mo Farah saat merayakan kemenangannya di nomor lari 10.000 meter Olimpiade London 2012. Foto: Wikimedia Commons
ADVERTISEMENT
Bagi anak-anak di Somalia, masa kecil bukanlah masa di mana mereka dapat asyik bermain perosotan dan ayunan. Bukan pula masa di mana anak-anak dapat bersepeda sambil menikmati padang rumput yang hijau di bawah langit cerah. Kalau pun bisa, mereka mungkin melakukannya dengan was-was--atau setidaknya orang tua mereka yang khawatir.
ADVERTISEMENT
Somalia, terutama pada medio 80-an hingga 2000-an awal, bisa dikatakan bukan negara yang ramah anak. Sebab, perang saudara berkecamuk di sana. Bom meledak, peluru-peluru bertebaran. Seperti di film Black Hawk Down.
Banyak orang tua yang membawa serta anak mereka untuk mengungsi, lari dari Somalia, menuju tempat yang lebih aman. Begitu juga dengan keluarga Muktar Farah. Ia, istri, dan keempat anaknya sebelumnya tinggal di kota asal mereka, Gabiley.
Gabiley pada tahun 80-an, mungkin tak separah Mogadishu. Selama tinggal di Gabiley, salah seorang anaknya mengaku tidak pernah melihat tentara di jalanan, maupun bom yang meledak di jalan. Akan tetapi, melihat kondisi negara yang semakin tak kondusif, Muktar tetap memutuskan untuk mengungsikan istri dan anak-anaknya ke tempat yang dinilai lebih aman, Djibouti.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Muktar tidak ikut ke Djibouti karena harus bekerja di Inggris. Anak-anaknya tinggal di bawah asuhan ibu dan kakek-nenek. Perubahan terbesar selanjutnya dalam hidup mereka terjadi saat kakeknya anak-anak meninggal dunia. Sang nenek memutuskan pindah ke Almelo, Belanda, sementara ibunya anak-anak memilih ke Inggris dengan membawa serta keempat buah hatinya itu.
Satu orang anak, Mohamed Muktar Jama Farah, bersedih karena harus berpisah dari nenek yang amat dicintainya. Anak yang mengaku tak pernah melihat tentara di jalanan Gabiley itu pun bertambah sedih karena kembarannya, Hassan, sakit, sehingga tak bisa ikut ke Inggris dan harus menetap di Djibouti bersama keluarga besar di sana.
Namun, siapa sangka, lewat momen tersebut, sang anak yang bersedih kemudian tumbuh besar menjadi legenda atletik dunia dengan nama beken, Mo Farah.
Gaya selebrasi khas Mo Farah. Foto: Wikimedia Commons
Pindah ke Inggris: Antara Sepak Bola dan Atletik
ADVERTISEMENT
Usai menetap di Djibouti, pada usia 8 tahun, Mo Farah pindah ke London, Inggris, yang berjarak ribuan kilometer dari kota kelahirannya, Mogadishu, maupun Gabiley. Di London, Mo Farah tinggal bersama ayah dan ibunya. Adik-adiknya, Ahmed dan Wahib, juga tinggal dengan mereka. Sang ayah sudah lebih dulu memegang paspor Inggris, hingga kelak mereka semua mengikuti jejaknya.
Farah yang lahir pada 23 Maret 1983 itu tumbuh dewasa di Distrik Hounslow, di sisi barat London. Namun, ia justru kemudian jatuh cinta pada sebuah klub sepak bola yang justru berada di sisi utara London, Arsenal Football Club.
Farah diketahui sangat mencintai sepak bola. Namun, ibarat seorang cowok yang sedang pedekate dengan seorang cewek, ujung-ujungnya si cowok tidak jadian dengan cewek yang didekatinya, melainkan dengan sahabatnya. Ya, cintanya kepada sepak bola malah semakin menuntunnya untuk menjadi atlet pelari atletik profesional.
ADVERTISEMENT
Bakatnya sebagai pelari pertama diketahui oleh seorang guru pendidikan jasmani bernama Alan Watkinson. Itu tak lama setelah Farah tinggal di London. Watkinson tertarik mengasah bakat Farah, tetapi bagaimana? Farah lebih suka main sepak bola.
Akhirnya, Watkinson memperbolehkan Farah untuk bermain sepak bola dulu selama 30 menit. Setelah itu, barulah ia akan membawanya ke klub lari.
Dari tahun ke tahun, Farah tetap dalam bimbingan Watkinson. Pada tahun 1996, saat itu usianya 13 tahun, ia pernah mengikuti suatu kejuaraan lari dan hanya finis ke-9. Watkinson mungkin agak gemas, bagaimana seorang yang punya bakat alamiah tapi tidak mampu memaksimalkannya. Watkinson yakin Farah bisa.
Setahun kemudian, Farah kembali didaftarkan pada suatu kejuaraan lari. Agar Farah dapat lebih serius, Watkinson membujuknya dengan berkata (dilansir BBC Sport), “Menanglah tahun ini dan aku akan membelikanmu jersi sepak bola.”
ADVERTISEMENT
Benar saja, Farah menyabet gelar juara. Bukan hanya satu, melainkan lima gelar kejuaraan lari tingkat sekolah.
Pada tahun 2001, ia memenangkan gelar juara bergengsi pertamanya, European Junior Championships kategori lari 5000 meter. Pada tahun yang sama menjuarai European Cross Country Championships kategori Tim Junior dan menyabet juara kedua pada kategori Junior Individual.
Saat itu, Farah dilatih oleh Alan Storey dan Mark Rowland. Sebelum lomba lari 5.000 meter dimulai, mereka berdua memastikan Farah tetap kompetitif. Motivasi tambahan datang dari atlet pelari jauh perempuan asal Inggris, Paula Radcliffe, yang memberinya wejangan sebelum tanding.
"Dia (Paula Radcliffe) berkata kepadaku, ‘Go out and be brave. Just believe in yourself'," ujar Farah, dilansir BBC Sport.
ADVERTISEMENT
Masih mengutip dari BBC Sport, salah satu langkah penting dalam karier Farah adalah ketika ia memutuskan pindah bersama pelari Australia, Craig Mottram; dan beberapa pelari asal Kenya, salah satunya Micah Kogo, juara lari 10.000 meter. Mereka berlatih bersama, dan ia mengaku banyak mendapat masukan positif.
"Mereka tidur, makan, berlatih, dan beristirahat, itu saja yang mereka lakukan tetapi sebagai atlet anda harus melakukan semua hal itu. Berlari bersama Craig membuat saya merasa lebih positif," katanya.
Pencapaian Bergengsi: Kejuaraan Eropa, Dunia, hingga Olimpiade
Mo Farah dan Usain Bolt di Olimpiade Londos 2012. Mereka saling bertukar gaya selebrasi. Foto: Wikimedia Commons
Mo Farah berbeda dengan pelari asal Jamaika, Usain Bolt. Pendukung klub Manchester United itu lebih terkenal di nomor lari 100-400 meter, sedangkan Farah lebih eksis di nomor lari 5.000-10.000 meter, bahkan maraton (42.195 kilometer) dan setengah maraton (21.0975 kilometer).
ADVERTISEMENT
Sejumlah jejak prestasi telah ia ukir di berbagai ajang lari bergengsi. Mulai dari beberapa kejuaraan tingkat Eropa, Kejuaraan Dunia, Olimpiade, maraton, setengah maraton, dan banyak lagi.
Mo Farah di nomor lari 5.000 meter Olimpiade London 2012. Foto: Wikimedia Commons
Berikut adalah sedikit contoh dari sekian banyak daftar prestasi juara pertama yang telah diraih Mo Farah sepanjang kariernya, hingga artikel ini diturunkan.
Islam sebagai Pegangan Hidup
ADVERTISEMENT
Itu adalah kalimat yang dikatakan oleh Farah kepada Emel Magazine (dilansir The Independent, 10 Agustus 2012). Tentang betapa pentingnya Tuhan dan Islam bagi kehidupannya sebagai atlet. Ia mengaku terinspirasi untuk berlatih keras, salah satunya, juga dari Alquran.
“Juga dikatakan dalam Alquran bahwa anda harus bekerja keras dalam apa pun yang anda lakukan, jadi saya bekerja keras saat berlatih dan itu banyak berdampak pada kesuksesan. Itu (kesuksesan) tidak hanya datang dalam semalam, anda harus berlatih untuk itu dan percaya pada diri sendiri; itu hal yang paling penting," lanjutnya.
Selain berikhtiar, Farah juga percaya kepada kekuatan doa. Dari sumber yang sama, dikatakan bahwa ia mengaku kerap berdoa sebelum bertanding. Baginya, penting untuk mengajak Tuhan turut ikut ‘berlari’ bersamanya.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2013, Royal Islamic Strategic Studies Centre yang berbasis di Amman, Yordania, memasukkannya ke dalam 500 muslim paling berpengaruh di dunia. Ia dan musisi Yusuf Islam menjadi bagian dari 23 wakil Britania Raya dalam daftar itu.
Sisi religius Mo Farah tidak datang begitu saja. Ia sudah dididik dalam lingkungan muslim sejak dini. Secara eksklusif, ia menulis untuk The Telegraph dan tulisan yang sebagian berisi kenangan masa kecilnya itu dipublikasikan pada 6 Oktober 2013.
Di dalamnya, Farah mengisahkan bahwa ia dan kembarannya, Hassan, masuk sekolah madrasah Islam pada usia 5 tahun. Madrasah tempat Farah dan Hassan bersekolah berada di sebelah masjid.
“Pelajaran kami berfokus pada Alquran, tetapi kami juga mempelajari sejarah Prancis dan lokal. Beberapa pagi di madrasah, kami bergiliran membacakan ayat-ayat (Alquran) di depan kelas. Ini sulit bagi saya karena saya tidak bisa membaca atau menulis dan saya menderita disleksia,” tulisnya.
ADVERTISEMENT
Uniknya, Farah tidak begitu saja menyerah walau menderita disleksia. Jika besok paginya ada tes, maka Farah akan menghabiskan waktu semalaman untuk menghafalkan lebih dulu ayat-ayat itu. Keesokan harinya, ia akan membacakan hafalannya di depan kelas, tetapi dengan gaya seolah-olah ia sedang membaca teks.
Selain itu, walaupun Farah kerap mengibarkan bendera Union Jack saat berselebrasi merayakan kemenangannya, tetapi ia tetap menjadi inspirasi bagi masyarakat Somalia, khususnya yang tinggal di Inggris. Abdi Kadir Ahmed, seorang pekerja dari komunitas Somalia di Camden, London utara, mengatakan kepada The Independent bahwa Farah menunjukkan bagaimana cara orang-orang Somalia berintegrasi dengan orang Inggris asli, salah satunya melalui prestasi.
ADVERTISEMENT