Kejuaraan Nasional Bola Bekel dan Bentengan World Championship

Katondio Bayumitra Wedya
Moslem. Author of Arsenal: Sebuah Panggung Kehidupan
Konten dari Pengguna
19 November 2020 14:57 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Katondio Bayumitra Wedya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Andai permainan tradisional anak Indonesia bisa punya kejuaraan nasional laiknya sepak bola. Foto: Pixabay/luvmybry
zoom-in-whitePerbesar
Andai permainan tradisional anak Indonesia bisa punya kejuaraan nasional laiknya sepak bola. Foto: Pixabay/luvmybry
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
The Crimson Love Letter. Itu adalah judul film ke-21 'Detective Conan'. Di Jepang, film itu rilis pertama kali pada April 2017.
ADVERTISEMENT
Latar belakang cerita The Crimson Love Letter adalah karakter bernama Kazuha Toyama harus mengikuti kejuaraan nasional kartu karuta. Namun, ada ancaman bom, sehingga Conan Edogawa beserta Heiji Hattori harus menemukan pelakunya dan menyelamatkan Kazuha dan peserta lain.
Akan tetapi, pada stori ini, saya enggak mau mengulas panjang tentang inti cerita film tersebut. Yang membuat saya tergelitik adalah soal kejuaraan nasional kartu karuta itu.
Saya berpikir, awalnya, itu hanya hiperbola anime. Masa iya, sih, permainan kayak begitu doang ada kejuaraan nasionalnya.
Dan ternyata, setelah melakukan browsing, saya tahu bahwa permainan tradisional Jepang itu memang ada kejuaraan tingkat negaranya. Juara laki-laki diberi gelar 'Meijin (Master)', juara perempuan dianugerahi titel 'Queen (Ratu)'. Gokil.
ADVERTISEMENT

Apa sih permainan kartu karuta?

Permainan kartu karuta. Foto: Wikimedia Commons
Gampangnya begini. Sejumlah kartu bergambar dan bertuliskan kalimat tertentu disebar di lantai. Dua pemain berhadapan di antara kartu-kartu itu. Nah, selain kedua pemain, ada satu orang yang membacakan puisi tentang gambar yang ada di kartu.
Kedua pemain harus beradu cepat menebak itu puisi yang dibacakan adalah tentang kartu yang bergambar apa, lalu pilih kartunya sebelum keduluan pemain lain. Yang paling banyak menebak, dia yang menang.
Konon katanya, permainan ini sudah ada sejak abad ke-16. Kala itu, orang-orang Jepang terinspirasi dari para pedagang Portugis yang suka main kartu, lalu orang Jepang membuat permainan kartunya sendiri, ya, karuta ini.
Kapan biasanya orang Jepang memainkannya? Biasanya, di malam Tahun Baru atau waktu senggang kumpul keluarga saja.
ADVERTISEMENT
Cuma, yang menggelitik saya adalah kok, orang Jepang kepikiran, ya, menjadikan permainan tradisionalnya yang terkesan game 'iseng-iseng' ini sampai ada kejuaraan nasionalnya?

Mungkin orang Indonesia bisa meniru

Saya lalu berpikir, ah, mungkin sebenarnya orang Indonesia juga bisa membuatkan kejuaraan nasional untuk permainan tradisionalnya. Misalkan, membuat Kejuaraan Nasional Bola Bekel.
Ada yang suka main bola bekel waktu kecil? Itu kan terkesan cuma permainan 'iseng-iseng' yang dimainkan bocah-bocah di waktu senggang.
Walau begitu, permainan bola bekel kan ada rasa kompetitifnya. Orang yang paling banyak mengambil biji bekel selama bola dilemparkan adalah pemenangnya.
Bayangkan, kalau bola bekel ada turnamen tingkat negaranya. Pasti seru banget. Nanti dibagi kelas-kelasnya: Kelas ringan (pakai bola bekel kecil), kelas sedang (pakai bola voli), kelas berat (pakai bola bowling). Misalkan.
ADVERTISEMENT
Nanti mungkin bisa divariasikan lagi: Ada nomor tunggal dan beregu; disesuaikan dengan jenis bola serta jumlah, ukuran, dan berat biji bekel. Seru.
Contoh lain permainan tradisional, bentengan. Orang kelahiran 1990-an, era-era belum ada medsos atau smartphone, barangkali suka memainkan permainan ini di sekolah. Sederhana, tetapi seru.
Para pemain dibagi ke dalam dua grup. Tujuannya adalah menyentuh benteng grup lawan. Kalau ada pemain yang kena sentuh pemain lawan, dia disandera.
Biasanya, pemain yang punya lari kencang akan dijadikan andalan. Saya, waktu SD, jarang diajak main karena lari saya lelet. Kalaupun diajak, cuma disuruh jaga benteng. Kalau lawan berhasil mencuri sentuh benteng tim saya, saya yang disalahkan. Sial.
Makanya, kalau dikasih kesempatan maju sama teman, saya pakai strategi. Waktu zaman saya SD, kami memainkannya di lapangan dan lapangan sekolah selalu penuh anak-anak saat jam istirahat.
ADVERTISEMENT
Selain kami yang bermain bentengan, ada yang bermain sepak bola, bermain tazos, dan lain sebagainya. Untuk mendekati benteng lawan, saya suka menyamar sebagai anak-anak yang bermain sepak bola atau permainan lainnya. Kamuflase. Mimikri.
Dengan begitu, saya yang larinya lelet ini bisa mendekati benteng lawan perlahan-lahan, untuk kemudian mencuri sentuh atau menyelamatkan teman yang tersandera. Cerdas, bukan?
Bayangkan kalau permainan bentengan yang sederhana ini bisa naik ke level nasional, dengan segala variasinya. Pasti seru, akan ada atlet-atlet nasional bentangan dan boleh jadi menarik minat orang luar negeri, sehingga terciptalah Bentengan World Championship.

Jangan pandang sebelah mata hal sederhana

Sejumlah siswa bermain bola bekel. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Kayaknya salah satu penyebab Indonesia belum jadi negara maju adalah karena kita masih suka meremehkan hal sederhana. Lihat saja orang Jepang itu, permainan karuta yang sederhana malah diadakan turnamen nasionalnya.
ADVERTISEMENT
Enggak cuma karuta, Jepang juga punya permainan lain yang memiliki turnamen nasional, seperti Shogi dan Renju, bahkan ada tingkat globalnya juga. Eksis.
Orang Indonesia tampaknya tak pernah kepikiran membuatkan kejuaraan nasional untuk permainan-permanian tradisionalnya, entah itu bola bekel, bentengan, congklak, atau yang lainnya. Pantas saja kalau permainan ini bisa saja punah.
Padahal, mungkin banyak manusia di Nusantara ini yang sebenarnya punya bakat besar di cabang bola bekel, bentengan, atau lainnya. Bayangkan, mereka bisa memberi makan diri sendiri dan anak-istri mereka dengan uang dari profesi 'atlet' bola bekel atau bentengan.
Namun, karena sarana penyaluran bakatnya tidak ada, akhirnya yang jago bola bekel hanya jadi pengangguran. Atau mungkin, orang-orang yang sekadar punya lari kencang memilih jadi maling jemuran. Miris.
ADVERTISEMENT
Padahal mungkin, mereka punya potensi positif. Sayangnya, bakat dan minat mereka mungkin cuma dipandang sebelah mata oleh orang-orang di sekitarnya dan para pemangku jabatan.