Konflik Budaya Politik di Papua: Mimpi dan Ketidakpuasan Desentralisasi

Kaori Anindwipa
Undergraduate Political Science Student at Brawijaya University
Konten dari Pengguna
16 April 2024 11:40 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kaori Anindwipa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tetua Adat Kampung Kapatcol Yoseph Weutot bersama Petuanan Adat Yohanis Hay dan Alex Mangar laksanakan pelarungan Pon Fapon saat prosesi Tradisi Buka Sasi di Perairan Misool, Distrik Misool Barat, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, Senin (25/3) Foto: Bayu Pratama S/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Tetua Adat Kampung Kapatcol Yoseph Weutot bersama Petuanan Adat Yohanis Hay dan Alex Mangar laksanakan pelarungan Pon Fapon saat prosesi Tradisi Buka Sasi di Perairan Misool, Distrik Misool Barat, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, Senin (25/3) Foto: Bayu Pratama S/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Konflik budaya politik di negara kepulauan yang luas di Indonesia menghadirkan tantangan unik dalam tata kelola pemerintahan. Desentralisasi yang diterapkan setelah rezim Suharto, pada awalnya bertujuan untuk memberdayakan pemerintah daerah dan mengatasi keluhan-keluhan yang terjadi dalam sejarah.
ADVERTISEMENT
Namun, ketegangan antara pemerintah pusat dan provinsi yang kaya sumber daya alam seperti Papua terus meningkat. Papua, sebuah wilayah dengan identitas budaya yang berbeda dan sejarah perjuangan untuk menentukan nasib sendiri, merupakan contoh konflik budaya politik yang timbul dari persaingan visi pemerintahan.
Masyarakat Papua, yang sebagian besar adalah orang Melanesia dengan tradisi animisme dan Kristen, merasa berbeda secara budaya dari masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam di Indonesia. Fokus pemerintah pusat pada persatuan nasional sering kali bertentangan dengan aspirasi masyarakat Papua untuk mendapatkan otonomi yang lebih besar dan pengakuan atas identitas budaya mereka.
Menurut pendapat ahli pada sidang Mahkamah Konstitusi 2020 silam, dijelaskan bahwa Papua memerkukan adanya desentralisasi asimetris yang khusus agar dapat mengurai konflik satu persatu (MKRI, 2020).
ADVERTISEMENT
Desentralisasi sebagai sebuah sistem yang bertujuan untuk mendistribusikan kekuasaan dan sumber daya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, telah menjadi bahan perdebatan dan penerapan yang intens di seluruh dunia.
Di Papua, Indonesia, peralihan ke arah desentralisasi diharapkan sebagai sarana untuk memberdayakan masyarakat lokal, mendorong pembangunan, dan menumbuhkan rasa otonomi. Namun kenyataannya jauh lebih kompleks, ditandai dengan konflik budaya politik yang mengakar dan berujung pada ketidakpuasan dan keresahan.
Esai ini menggali dinamika desentralisasi di Papua, menelusuri mimpi-mimpi yang muncul, tantangan-tantangan yang dihadapi, dan ketegangan sosial-politik yang diakibatkannya.
Desentralisasi sebenaranya dapat menjadi peluang untuk mengatasi keluhan sejarah, menegaskan identitas budaya, dan mengupayakan pembangunan berkelanjutan yang disesuaikan dengan kebutuhan lokal.
ADVERTISEMENT
Konflik identitas budaya yang melibatkan kepemilikan tanah di Papua seringkali terjadi, di mana kepemilikan tanah adat atau tanah kolektif menimbulkan berbagai permasalahan dalam proses jual beli, yang kemudian memicu maraknya kasus pemasangan patok batas tanah.
Di tengah situasi yang mendesak ini, muncul sentimen identitas lokal berdasarkan suku dan perebutan kekuasaan di tingkat lokal, yang menjadi arena pertarungan bagi para elit lokal dan suku untuk menunjukkan jati diri mereka (Suryawan, I.N., 2011). Janji otonomi sangat terasa di wilayah yang memiliki warisan budaya khas dan warisan marginalisasi di bawah pemerintahan pemerintah pusat.
Selain itu, desentralisasi diharapkan dapat membawa perbaikan dalam tata kelola pemerintahan, karena kewenangan pengambilan keputusan dilimpahkan kepada pemerintah daerah yang lebih dekat dengan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pergeseran ini diharapkan dapat meningkatkan akuntabilitas, mendorong partisipasi masyarakat, dan mendorong pembuatan kebijakan yang responsif. Secara teori, desentralisasi merupakan jalan menuju pembangunan inklusif dan memperkuat demokrasi di Papua.
Adapun upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam merespon pada isu desentralisasi yang terjadi di Papua. Salah satunya adalah dengan memperkenalkan kebijakan dan program untuk memberdayakan masyarakat lokal dan mengakui hak-hak mereka atas sumber daya alam, khususnya hutan.
Inisiatif utamanya adalah Program Kehutanan Masyarakat, yang memungkinkan masyarakat adat untuk terlibat dan mengambil alih kegiatan pengelolaan hutan (Sudiyono, 2007). Namun, hal ini tidak sepenuhnya menyelesaikan konflik desentralisasi di Papua.
Meskipun terdapat pengalihan wewenang administratif, otonomi yang sejati masih sulit diperoleh, dibayangi oleh tantangan politik, ekonomi, dan sosial. Korupsi, inefisiensi, dan kapasitas yang tidak memadai melanda pemerintah daerah, sehingga melemahkan kemampuan mereka dalam mengatur dan memberikan layanan penting secara efektif.
ADVERTISEMENT
Selain itu, masuknya migran dari daerah lain di Indonesia telah memicu ketegangan mengenai hak atas tanah, alokasi sumber daya, dan identitas budaya, sehingga memperburuk keluhan yang ada di kalangan penduduk asli Papua.
Selain itu, penerapan desentralisasi juga bersinggungan dengan isu-isu yang lebih luas mengenai eksploitasi sumber daya dan pelanggaran hak asasi manusia di Papua. Kekayaan alam yang melimpah di kawasan ini, termasuk hutan, mineral, dan minyak, telah menarik kepentingan dalam dan luar negeri, sehingga menyebabkan degradasi lingkungan dan dislokasi sosial.
Masyarakat adat sering kali menanggung beban terbesar dari pembangunan ini, menghadapi pengungsian, hilangnya mata pencaharian, dan marginalisasi di tanah mereka sendiri. Selain itu, sekuritisasi Papua telah mengakibatkan kehadiran militer dalam jumlah besar, sehingga memperburuk ketidakpercayaan dan konflik antara negara dan masyarakat lokal.
ADVERTISEMENT

Konflik Budaya Politik

Inti dari ketidakpuasan seputar desentralisasi di Papua terletak pada konflik budaya politik yang mengakar. Masyarakat adat Papua, dengan identitas dan aspirasi mereka yang berbeda untuk menentukan nasib sendiri, telah berbenturan dengan kebijakan asimilasi dan kontrol terpusat yang diterapkan oleh negara Indonesia.
Marginalisasi, penindasan, dan kekerasan selama puluhan tahun telah memicu kebencian dan perlawanan di kalangan masyarakat Papua, yang memandang desentralisasi sebagai solusi parsial terhadap ketidakadilan yang terjadi dalam sejarah.
Kasus kekerasan dan konflik yang terjadi bahkan sejak disahkannya bergabungnya Papua Barat ke NKRI pada tahun 1969 menjadi sorotan media massa nasional hingga internasional yang menunjukkan bahwa tata kelola pemerintahan dan penegakan hukum di Indonesia tidak mempunyai strategi mapan untuk meresolusikan konflik-konflik dan membangun adanya integritas nasional serta keharmonisan antar masyarakat kepada sesama masyarakat dan masyarakat dan pemerintah (Taum, Y. Y., 2015).
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, pada dasarnya desentralisasi di Papua penuh dengan impian pemberdayaan dan aspirasi otonomi, tetapi dirusak oleh adanya konflik-konflik yang terjadi. Kesenjangan antara retorika dan kenyataan masih besar, karena konflik budaya politik, kesenjangan sosial-ekonomi, dan keluhan sejarah terus membentuk dinamika desentralisasi di wilayah ini.
Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini memerlukan dialog inklusif yang berkelanjutan, penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat, dan komitmen terhadap tata kelola yang inklusif. Hanya melalui keterlibatan dan rekonsiliasi yang berarti, Papua dapat mewujudkan impian desentralisasinya dan mengatasi warisan ketidakpuasan yang telah mengganggu lanskap politiknya.