Mengulas Banjir Jakarta yang Nyaris Terjadi Setiap Tahun

Kania Pinasti S
SainsAsyikFGMI
Konten dari Pengguna
14 Maret 2020 6:57 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kania Pinasti S tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Banjir Jakarta di awal tahun 2020.
zoom-in-whitePerbesar
Banjir Jakarta di awal tahun 2020.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Banjir adalah kata yang identik dengan Jakarta. Banjir sepertinya sudah tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat yang tinggal di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Setiap kali musim hujan tiba, Kota Jakarta seolah tidak pernah terlepas dari pemberitaan seputar kejadian banjir yang melanda wilayahnya.
ADVERTISEMENT
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan, banjir Jakarta dan sekitarnya disebabkan curah hujan ekstrem.
Namun jika dilihat dari curah hujan, pada 2020 terjadi anomali, seperti data yang telah dirangkum di bawah ini:
Perbandingan data curah hujan dari tahun-tahun sebelumnya.
Data yang dihimpun dari beberapa titik pengukuran didapat per 1 Januari 2020, intensitas curah hujan tercatat 377 mm/hari di Stasiun BMKG TNI AU Halim, 355 mm/hari di Stasiun BMKG Taman Mini, dan 259 mm/hari di Stasium BMKG Jatiasih.
Tetapi memang abnormalnya curah hujan ini bisa jadi bukan penyebab utama seandainya penataan air di Jakarta sudah memperkirakan kemungkinan curah hujan sebesar itu. Yang perlu diketahui atau dilakukan adalah menghitung seberapa besar kapasitas Jakarta dalam “menangkap” air hujan.
ADVERTISEMENT
Banjir di Jakarta sangat (lebih) mungkin disebabkan oleh aliran air permukaan (run off). Daya serap tanah sudah pasti tidak akan mampu lagi menyerap air hujan lebat. Kemampuan saluran yang ada baik got, sungai maupun saluran banjir kanal tidak mampu menahan banjir bila hujan sangat deras.
Mekanisme penyebab terjadinya banjir
Pada prinsipnya, air yang berasal dari hujan akan masuk ke dalam tanah. Namun tidak semua air dapat ditampung oleh tanah. Hal ini disebabkan karena setiap jenis batuan memiliki kemampuan menyerap yang berbeda-beda.
Sebagian air yang lain akan menjadi air yang mengalir di permukaan tanah disebut run-off water.
Kemampuan Infiltrasi berdasarkan jenis penyusun batuan.
Secara mudah daya serap air atau infiltrasi digambarkan seperti gambar di atas. Apabila tanahnya berbutir kasar dan berpori-pori bagus, maka air akan terserap. Ketika air hujan menjatuhi tanah lanau yang lebih halus, maka kapasitas infiltrasinya kurang banyak. Demikian pula ketika air hujan turun tepat diatas lempung, ya lebih sulit lagi terserap.
ADVERTISEMENT
Lho, kalu tanahnya udah disemen gimana, dong? Itu sih, air hujan langsung menjadi air limpasan (run-off-water).
Pemprov DKI menunjukkan sebuah peta bahwa saat ini 90% lahan di DKI Jakarta sudah di beton. Yang tentunya secara masif pula menyedot air tanah dan berperan mempercepat penurnan tanah (land subsidence).
Berikut merupakan peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta setiap dekadenya. Jika melihat peta RTRW tersebut, pada tahun 1980, DKI Jakarta memiliki cukup banyak lahan hijau, dan semakin berkurang tiap tahunnya pda rentang 1999 – 2005 berganti menjadi kuning yang menggambarkan pemukiman. Pada peta RTRW 2010 – 2030 nyaris semua kawasan di Jakarta menjadi kuning.
Peta RTRW tahun 1980, Jakarta masih memiliki cukup banyak lahan hijau.
Peta RTRW tahun 2010-2030, menyisihkan sedikit sekali ruang terbuka hijau.
Penyebab banjir di Jakarta sejatinya bukan hanya masalah curah hujan ekstrem dan fenomena meteorologis. Akan tetapi, ada beberapa faktor lain, seperti besarnya limpahan air dari daerah hulu, berkurangnya waduk dan danau tempat penyimpanan air banjir.
ADVERTISEMENT
Sejarah Banjir Jakarta
Tahu nggak kamu, kalau bencana Banjir besar yang melanda Jakarta pada awal tahun 2020 bukan pertama kali terjadi, lho!
Banjir di Jakarta memang sudah terjadi sejak jaman baheula. Tercatat yang terbesar adalah yang terjadi pada tahun 1621, 1654, 1725 dan yang paling besar adalah yang terjadi pada tahun 1918, yang merupakan akibat dari pembabatan hutan untuk perkebunan teh di Puncak.
Banjir itulah yang membuat Pemerintah Belanda pada saat itu membuat perencanaan untuk mencegah banjir di Batavia. Rencana pencegahan itu kemudian terkenal dengan apa yang disebut sebagai “Strategi Herman Van Breen” (1920 – 1926), disebut demikian karena Meneer van Breen adalah ketua tim pencegahan banjir di Batavia pada saat itu.
ADVERTISEMENT
Strateginya sangat sederhana yaitu mengendalikan air agar tidak masuk kota. Untuk itu dibuatlah kolektor air di pinggiran selatan kota dan untuk kemudian dialirkan ke laut melalui tepi barat kota. Waktu itu batas selatan kota adalah di Mangarai. Jadi saluran itu dimulai dari sana terus melalui pinggir kota dan berakhir di Muara Angke. Saluran tersebut yang terkenal dengan sebutan Banjir Kanal (sekarang Banjir Kanal Barat). Kanal ini pada saat sekarang sudah tidak bisa bekerja secara optimal karena Jakarta sudah menjadi sangat luas dan tempat parkir air di hulu sudah semakin sempit. Aliran air menjadi semakin liar mulai dari hulu.
Gambaran Strategi Mengatasi Banjir dari Meneer Van Breen.
Selama ini saat terjadi banjir, yang selalu dipermasalahkan adalah kondisi di permukaan saja. Diskusi pencegahan banjir jarang mengikutkan kondisi geologi Jakarta yang sebenarnya punya peran penting sebagai penyebab banjir.
ADVERTISEMENT
Yuk, Mengenal Kondisi Geologi Jakarta!
Menurut ahli Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jan Sopaheluwakan, banjir Jakarta tidak akan dapat diselesaikan dengan sistem kanal karena secara geologis Jakarta sebenarnya merupakan cekungan banjir. Sebaliknya, kawasan utara Jakarta (sekitar Ancol dan Teluk Jakarta) mengalami pengangkatan karena proses tektonik. Cekungan ini terbentuk dari endapan alluvial muda sangat tebal, baik berasal dari endapan hasil erosi gunung api purba, maupun dari endapan sungai dan pantai. Endapan tersebut belum terkonsolidasi, sifatnya masih lepas-lepas dan belum memadat.
Hubungan peta titik lokasi rendaman Banjir dengan Peta Geologi yang digambarkan oleh berwarna hijau muda menandakan kawasan terbentuk dari endapan sungai dan pantai, dan warna merah muda menandakan endapan vulkanik.
Selain itu, [Pusat Penelitian Geoteknologi – LIPI, Bandung, melakukan studi mengungkap bawah permukaan Jakarta. Berdasarkan beberapa titik pengamatan kemudian tersusun penampang bawah Jakarta, yang didominasi oleh endapan lempung, sebagian endapan laut (warna biru). Lempung merupakan salah satu lapisan yang mampu menahan air agar tidak melaluinya. Maka air akan cenderung mengalir secara horizontal, dan tak akan meresap bergerak secara vertikal.
Penampang Endapan Kuarter Wilayah Jakarta didominasi oleh lempung.
Selain secara geologi Jakarta merupakan daerah cekungan, secara geomorfologi Jakarta juga merupakan dataran banjir (flood plain). Dataran banjir merupakan daerah yang terbentuk akibat proses sedimentasi saat terjadi banjir. Dataran banjir pada umumnya berada di sekitar aliran sungai yang berkelok-kelok.
ADVERTISEMENT
Dengan keberadaan 13 aliran sungai yang melintasi Kota Jakarta, maka memang cukup banyak dataran banjir yang tersebar di wilayah DKI Jakarta. Oleh karena itu, cukup bisa dimaklumi bahwa potensi banjir di wilayah DKI Jakarta memang sangat tinggi. Sket ke-13 aliran sungai yang melintasi Kota Jakarta tergambar dalam seperti di bawah ini.
Jakarta dan ke-13 sungai yang melintasinya.
Dikarenakan geologis Jakarta berbentuk cekungan, serta air dari 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta tidak bisa mengalir lancar ke laut. Air tersebut akhirnya terperangkap di cekungan besar Jakarta yang menyebabkan banjir.
Berdasarkan riset tim peneliti geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB), setiap tahunnya terjadi penurunan permukaan tanah dengan kedalaman mencapai 25 cm di Jakarta Utara. Jika terus berlangsung, maka diprediksi wilayah di Ibu Kota itu bakal tenggelam pada tahun 2050.
ADVERTISEMENT
Menurut ahli Geologi, Sukmandaru Prihatmoko mengatakan, setidaknya ada empat yang menjadi penyebab Jakarta Utara akan tenggelam di masa depan:
1. Secara geologis batuan di bawah Jakarta terutama Jakarta Utara itu masih lunak jadi itu adalah konfaksi atau pemadatan alamiah secara geologis.
2. Penyebab tenggelamnya Jakarta Utara disumbang juga oleh banyaknya bangunan atau pengurukan tanah.
3. Penggunaan air tanah yang berlebihan menjadi salah satu penyebab amblasnya tanah di Jakarta Utara.
4. Tektonik geologinya memungkinkan untuk amblas.
Oleh karena itu, “tenggelamnya” Jakarta Utara merupakan hal yang alami dan pemerintah hanya bisa mengelola keempat penyebabnya dengan baik.
Selain itu, Badan Geologi berpendapat bahwa penurunan muka tanah ini akibat eksploitasi air tanah yang berlebihan. Berdasarkan catatan Badan Geologi saat ini tercatat lebih dari 4500 sumur produksi yang mengambil air tanah Jakarta untuk keperluan komersil, belum lagi sumur-sumur illegal tidak memiliki izin pengusahaan air tanah yang tidak masuk dalam hitungan. Kondisi tersebut menyebabkan permukaan tanah Jakarta mengalami penurunan dan berdampak menjadi ancaman serius tenggelamnya Jakarta.
ADVERTISEMENT
Risiko banjir hanya dapat dikurangi, bukan ditiadakan. Jadi, wilayah DKI Jakarta sejak dulu memang sudah merupakan daerah banjir. Ditambah dengan keberadaan ke-13 aliran sungai yang melintasi wilayah DKI Jakarta menjadi akses bagi aliran air permukaan (run-off) yang bersumber dari curah hujan di daerah hulu untuk masuk ke wilayah DKI Jakarta.
Pembangunan infrastruktur banjir dan upaya konservasi lingkungan untuk memperbaiki kondisi area yang telah rusak hanyalah merupakan langkah-langkah untuk mengurangi potensi resiko bencana banjir, bukan bersifat menghilangkan resiko banjir menjadi tidak ada sama sekali.
Singkatnya, jika seandainya infrastruktur dan kondisi lingkungan catchment area dalam kualitas yang baik saja masih akan selalu ada potensi resiko banjir di wilayah DKI Jakarta, lantas bagaimana jika keduanya tidak berfungsi dengan baik? Akibatnya seperti inilah yang terjadi sekarang. Bencana banjir semakin akrab dengan kehidupan masyarakat Jakarta dan sekitarnya setiap kali musim hujan tiba.
ADVERTISEMENT
Selama ini pengelolaan air permukaan (run-off) dilimpahkan seluruhnya pada pemerintah. Padahal jika masyarakat ikut terlibat, run-off tersebut bisa berkurang banyak. Contohnya bisa dengan membuat sumur resapan di setiap rumah.
Pemerintah dan masyarakat diharapkan terus meningkatkan kesadarannya terhadap lingkungan dan semua persoalan yang menjadi penyebab banjir Jakarta, dan secara umum terhadap risiko bencana terkait iklim dan cuaca (hidrometeorologi) di masa mendatang.