The Bird Dancer, Kisah Perjuangan Pengidap Sindrom Tourette di Bali

Konten Media Partner
1 Desember 2019 17:51 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gusti Ayu Suartini (KR14)
zoom-in-whitePerbesar
Gusti Ayu Suartini (KR14)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Derita Gusti Ayu Suartini, mungkin tak bisa dibayangkan oleh siapa pun. Sejak di bangku sekolah dasar kelas 3, ia tiba-tiba mengidap penyakit langka. Setiap saat dia bisa menggaruk tubuhnya tanpa kendali, atau bergerak ke kanan dan kiri. Ditambah lagi, dengan gampang meludah di mana pun tanpa terasa sama sekali.
ADVERTISEMENT
Alasan itu membuatnya terlempar dari bangku sekolah. Keluarganya merasa malu dan orang-orang di lingkungannya menganggapnya gila. Ia bahkan mendapatkan diolok-olok sebagai penari burung alias Bird Dancer karena perilakunya.
"Biasanya, orang-orang akan menyingkir kalau saya datang," katanya, Sabtu (30/11) malam dalam diskusi di Taman Baca Kesiman, Denpasar.
Tapi kini di saat usianya sudah menginjak 45 tahun, julukan itu justru mendatangkan keberuntungan. Gara-garanya seorang produser film membuat kisah mengenai dirinya dan memenangkan sebuah penghargaan internasional. "Saya menjadi model seseorang yang bisa bertahan meskipun mengidap penyakit Tourette," katanya. Penyakit yang dimaksudnya adalah sindrom saraf Tourette yang sangat jarang di seluruh dunia.
Anak bungsu dari tiga bersaudara dari keluarga miskin di Tengkulak, Gianyar ini sempat menjalani berbagai pengobatan. Awalnya, adalah ala Balian (dukun-red) dengan aneka metode. Ia pernah disundut dengan besi panas, dilumuri tahi sapi hingga pemijatan yang berujung pelecehan oleh sang dukun.
ADVERTISEMENT
Semua itu dijalani karena anggapan perlunya pengusiran terhadap roh buruk yang ada dalam dirinya. "Tapi tidak ada yang mempan, sampai semua keluarga putus asa karena saya dianggap hanya menghabiskan uang,"ujarnya.
Pengobatan medis pun telah dicoba ke sejumlah dokter saraf. Namun obat-obatan yang diberikan hanya membuatnya mengantuk dengan dada yang terus berdebar-debar. Sampai suatu ketika dia diperkenalkan dengan Rob, seorang produser film yang membantunya dalam pengobatan.
Sementara itu, ia sendiri memisahkan dirinya dari keluarga dengan bekerja sebagai pembantu rumah tangga. "Majikan tetap memberi pekerjaan meskipun kondisi saya belum sembuh. Tapi tidak boleh setrika dan pekerjaan lain yang berbahaya," ujarnya.
Dalam perkembangannya, dia bertemu dengan Agung Alit dari Mitra Bali yang memberinya pekerjaan di bidang kerajinan tangan dan souvenir. Ia pun menekuni pekerjaan itu dan sekarang mengaku lebih sejahtera. Sindrom itu pun pelan-pelan bisa dikendalikannya.
ADVERTISEMENT
Tekadnya untuk bertahan juga karena pernah bertemu dengan penderita tourette lainnya, Ibu Ayu dari Sanur. "Beliau bilang harus kuat dengan cobaan ini, mungkin ada kelebihan lain dalam diri kita," ujarnya.
Mengenai teman hidup, ia mengaku sempat menjalin hubungan dengan seorang pria tapi akhirnya memilih berpisah karena teman prianya itu hanya akan menguras uangnya. Suatu kali dia juga menjalin hubungan dekat seorang teman curhat dari hati ke hati. Namun ketika ia meminta hubungan lebih jauh, pemuda itu mengaku sebagai gay dan secara fisik tak bisa berhubungan dengan perempuan.
"Jadi sekarang saya serahkan pada Tuhan saja, kalau memang ada jodoh saya masih membuka hati. Kalau tidak, sekarang ini hidup saya sudah bahagia," ujarnya. (kanalbali/KR14)
ADVERTISEMENT