Subak Ubung, Benteng Terakhir Pertanian di Kota Denpasar

Konten Media Partner
26 April 2024 15:44 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pemandangan di Subak Ubung, Denpasar - foto: Angga Wijaya
zoom-in-whitePerbesar
Pemandangan di Subak Ubung, Denpasar - foto: Angga Wijaya
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
DENPASAR, kanalbali.com - Siang amat terik saat saya, wartawan media ini, mendatangi rumah Pak Agung Subak Tani di Jalan Cokroaminoto Gang Taman Sari, Ubung Kaja, Denpasar Utara.
ADVERTISEMENT
Pemilik nama lengkap Anak Agung Ngurah Gede Windhi Kusjana ini sejak 2021 berkecimpung di bidang pertanian, menjadi penggerak warga banjar Petangan Gede untuk melestarikan Subak Ubung dan membantu para petani lokal.
Mereka harus bertahan agar tetap eksis di tengah masifnya alih fungsi lahan yang membuat sawah kini menjadi pemandangan yang langka di Kota Denpasar.
Menurutnya, Subak Ubung dulu sangat luas yakni 380 hektar dan kini tinggal tersisa hanya 5 hektar. Ia bercerita tentang pengembangan kota Denpasar dengan istilah keren Land Consodilation (LC) sejak 1992 membuat banyak lahan produktif di sekitar Ubung, termasuk Jalan Cargo dan Jalan Mahendradatta berubah menjadi hunian warga, pertokoan, rumah kos, terminal truk, atau tempat usaha.
Fasilitas jaringan pengairan di Subak Ubung - foto: Angga Wijaya
“Padahal, leluhur kami berpesan agar subak jangan sampai hilang karena dari sana warga bisa makan dari padi yang dihasilkan di sawah-sawah di Ubung,” kata Agung.
ADVERTISEMENT
Anggota Subak Ubung berjumlah 20 orang. Meski tidak banyak, produksi beras di sana cukup untuk menghidupi para petani dan keluarganya.
“Kami juga menanam kangkung Lombok untuk dikonsumsi sendiri selain dijual. Hasilnya bisa untuk mememenuhi kebutuhan sehari-hari anggota subak,” ujar Agung.
Keberadaan Subak Ubung tidak berarti tanpa hambatan. Agung mengatakan, di wilayah Subak Ubung terindikasi terdapat tempat pemotongan ayam, ikan, dan juga pabrik tempe dimana limbahnya tidak diolah dan dibuang begitu saja di parit yang menjadi jalur irigasi petani. Akibatnya, air menjadi tercemar dan kesuburan tanah berkurang.
Anak Agung Ngurah Gede Windhi Kusjana (depan) bersama penulis - Foto selfie
Dari diskusi dengan banyak pihak, Agung menemukan terobosan atau cara mengembalikan nutrisi tanah dengan ecoenzim. Alhasil, tanah menjadi subur kembali dan saluran irigasi menjadi normal kembali setelah dilakukan pendekatan dengan pemilik usaha yang sebelumnya membuang limbah sembarangan.
ADVERTISEMENT
Berbicara soal pertanian dengan Pak Agung, membuat saya paham bahwa kendala dan permasalahan yang dihadapi para petani begitu kompleks. Ia menyerukan dilakukannya konservasi pertanian, dengan cara pemerintah membuat regulasi untuk melindungi para petani. Salah satunya dengan membeli gabah petani dengan harga tinggi karena selama ini harga gabah sangat rendah.
“Perlu adanya perbaikan sistem pertanian. Di Bali, pemerintah tidak cukup dengan hanya memberi bantuan alat produksi atau traktor, misalnya. Setelah itu petani dibiarkan begitu saja. Perlu adanya pendampingan secara holistik, dari mulai menanam bibit padi hingga pasca panen,” ucap Agung.
Sehingga, tambah dia, kehidupan petani dan keluarganya menjadi terjamin.
“Bayangkan saja, jika dalam satu musim petani hanya mendapatkan penghasilan bersih hanya Rp200.000 artinya per bulan mereka hanya mendapatkan Rp50.000. Maka kita tidak bisa menyalahkan jika mereka kemudian memilih mengkontrakkan bahkan menjual tanah mereka, karena minimnya pendapatan sebagai petani,” tukas Agung.
ADVERTISEMENT
Berkaca dari negara-negara maju di mana proteksi terhadap petani sangat bagus, semestinya Indonesia atau Bali khususnya bisa melakukan hal itu.
“Ada usulan pemberian pinjaman lunak kepada petani, tetapi bunganya masih tergolong tinggi yakni 10 %. Untuk keseharian saja mereka sulit, bagaimana bisa membayar pinjaman itu? Mestinya bunga pinjaman bisa ditekan di angka 1,5 %. Itu baru akan bisa membantu petani,” sebut Agung.
Subak Ubung menjadi salah satu subak yang masih bertahan di Kota Denpasar. Agung dan kawan-kawan terus memberi semangat kepada para petani untuk tetap bertahan pada profesi mereka. Edukasi juga kerap dilakukan kepada generasi muda agar mereka tidak memandang sebelah mata terhadap pertanian.
“Mulai banyak anak-anak muda yang tidak hanya menjadikan sawah sebagai obyek untuk berfoto saja, tetapi mencoba berbisnis berkaitan dengan pertanian. Ini bagus, sehingga subak mampu bertahan dan tidak tergerus oleh alih fungsi lahan yang demikian masif di Bali,” ujar Agung.
ADVERTISEMENT
Dalam rencana pembangunan Kota Denpasar pada 2025, BPHTB atau Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditentukan sebesar 22 %, seakan menjadikan alih fungsi lahan sebagai sumber pendapatan pemerintah lokal. Ini tentu sebuah ironi. Di satu sisi pemerintah berbicara lantang tentang pelestarian subak, tetapi di sisi lain menjadikan pajak penjualan tanah sebagai pendapatan untuk menambah kas pemerintah. ( kanalbali/ Angga Wijaya )