Buya Syafii Maarif: Pesan Guru Bangsa untuk Umat Islam Indonesia

Mohamad Kamil Firdaus
Mahasiswa Ilmu Sejarah, Universitas Negeri Semarang
Konten dari Pengguna
24 Juli 2022 13:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mohamad Kamil Firdaus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Masjid Agung Jawa Tengah (Koleksi Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Masjid Agung Jawa Tengah (Koleksi Pribadi)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Adalah petuah bijak dari almarhum Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif, atau yang lebih dikenal dengan Buya Syafii.
ADVERTISEMENT
Ahmad Syafii Maarif dilahirkan di Sampur Kudus, Sumatera Barat, pada tanggal 31 Mei 1935. Selama hidupnya Buya Syafii pernah mengenyam pendidikan di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Lintau (1953) dan Yogyakarta (1956), FKIP Universitas Cokroaminoto Surakarta (1964). Tamat FKIS IKIP Yogyakarta (1968), pernah belajar sejarah pada Northern Illinois University (1973) dan memperoleh gelar Master of Art dalam ilmu sejarah pada Ohio University, Amerika Serikat (1980). Gelar Ph.D. dalam bidang pemikiran Islam diperoleh dari University of Chicago, Amerika Serikat (1982).
Buya Syafii semasa hidupnya adalah dosen FPIPS IKIP, IAIN Sunan Kalijaga dan Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Selain itu, Buya Syafii Maarif juga pernah menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah selama tujuh tahun, beliau menjabat dari tahun 1998 sampai tahun 2005.
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang cendekiawan muslim Indonesia, Buya Syafii selama hidupnya sangat aktif menyumbang pikiran untuk bangsa, yang dampak positifnya tidak hanya dirasakan oleh kalangan akademisi saja, tapi juga dirasakan oleh seluruh masyarakat yakni kalangan umat beragama di Indonesia, terkhusus umat Islam Indonesia.
Melalui karyanya yang berjudul “Islam dan Masalah Kenegaraan”, diterbitkan oleh LP3ES pada Februari 1985. Dalam karyanya tersebut, Buya Syafii menilai bahwa untuk memahami perjuangan yang berorientasi islam agaknya perlu dibahas terlebih dulu mengenai apa yang dimaksud dengan ‘islam sejarah’ dan ‘islam cita-cita’. Karena kedua ungkapan tersebut, penting untuk dipahami sebelum memahami lebih jauh hubungan Islam dan politik.
Pertama, istilah Islam sejarah adalah Islam yang sebagaimana dipahami dan diterjemahkan ke dalam konteks sejarah oleh umat Islam Indonesia dalam jawaban mereka tentang sosial-politik yang dihadapkan kepada mereka sebelum dan sesudah kemerdekaan. Hal ini berarti bahwa terdapat penekanan lebih aspek politik dari jawaban umat terhadap tantangan-tantangan tersebut.
ADVERTISEMENT
Kedua, Islam cita-cita adalah Islam yang seperti yang dikandung dan dilukiskan oleh Al-Quran dan sunnah otentik dari Nabi Muhammad, tetapi yang belum tentu senantiasa terefleksi dalam realitas sosio-historis umat islam sepanjang abad. Lebih lanjut, Islam cita-cita ini menggambarkan suatu totalitas pandangan hidup muslim, meskipun pada masa abad pertengahan belum pernah dirumuskan secara sistematis oleh yuris manapun dalam sejarah Islam, namun hal ini merupakan kekuatan pendorong bagi berbagai gerakan sosio-politik Islam sepanjang sejarah.
Menurut Buya Syafii harus ada korelasi yang positif dan mudah dipahami dari Islam cita-cita dan Islam sejarah. Tujuannya adalah agar gerak maju dapat terealisasi. Begitu juga sama pentingnya bagi gerakan tersebut agar menjadi ideal (cita-cita), dan berada pada posisi paling tinggi. Mengingat jika tidak demikian, maka kesadaran nurani menjadi tumpul dan aktual menjadi berhenti sampai ke suatu titik yang mana kepentingan golongan atau malah semata-mata terjatuh dalam kepentingan individu.
ADVERTISEMENT
Meskipun umat Islam Indonesia sendiri masih belum berhasil menciptakan suatu dasar yang lebih kuat bagi kalangan intelektual agamanya, tetapi sebagai anggota pinggiran dari pusat dunia Islam, umat Islam Indonesia dipandang oleh Buya Syafii seringkali beruntung setidaknya dalam satu segi.
Adapun segi yang dimaksud Buya Syafii adalah kenyataan bahwa umat Islam Indonesia belum pernah terlibat secara serius dalam kontroversi filosofi-teologis, seperti yang terjadi di kalangan para yuris, sarjana, filsuf, dan teolog muslim abad pertengahan di Timur Tengah, sampai batas tertentu India dan Pakistan.
Hal ini akibat dari mereka belum terjerat tradisi yang sangat mengikat, sehingga cukup beralasan bagi Islam Indonesia untuk memulai langkah yang segar bagi rekonstruksi sosio-politik dan moral islam. Selain itu, rekonstruksi juga sudah seharusnya ditegakkan, terutama atas ajaran-ajaran etik al-Quran dan sunnah Nabi yang sejati. Di sinilah letak tantangan yang sebenarnya bagi Islam Indonesia di masa yang akan datang.
ADVERTISEMENT
Oleh sebab itu, bagi Buya Syafii, jika Islam Indonesia mencoba menghindari tantangan di atas baik secara sadar ataupun tidak, dalam jangka panjang ia mungkin binasa dalam proses transformasi dan ditelan oleh organisme sosio-kultural yang lain, bisakah suatu masyarakat mulai hidup pada masa lalu, betapapun manis kenangannya dan gagal menghadapi kenyataan kini yang tulus, betapapun tidak mengenakannya, maka masyarakat sudah pasti menjadi fosil: sudah menjadi sunnatullah yang tetap bahwa fosil tidak tahan lama.