Cerita Rakyat Asal-usul Surabaya, Pertarungan antara Sura dan Baya

Kabar Harian
Menyajikan beragam informasi terbaru, terkini dan mengedukasi.
Konten dari Pengguna
27 April 2024 20:04 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kabar Harian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Cerita Rakyat Asal-usul Surabaya. Foto: Pexels/Vladimir Srajber
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Cerita Rakyat Asal-usul Surabaya. Foto: Pexels/Vladimir Srajber
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hampir di setiap daerah atau kota di Indonesia memiliki cerita rakyatnya masing-masing. Begitu juga dengan Surabaya. Cerita rakyat asal-usul Surabaya ini cukup populer di kalangan masyarakat, bahkan yang bukan penduduk Surabaya pun penasaran akan cerita ini.
ADVERTISEMENT
Mengutip dari Surabaya adalah kota dengan banyak pilihan - Informatika IT Telkom Surabaya, 25 Oktober 2022, dalam situs bif-sby.telkomuniversity.ac.id, Kota Surabaya letaknya berada di tengah wilayah Indonesia dan tepat di selatan Asia.
Hal ini yang menjadikan Surabaya sebagai salah satu hubungan penting bagi kegiatan perdagangan di Asia Tenggara. Surabaya juga merupakan ibu kota Provinsi Jawa Timur, tempat berpusatnya pemerintahan daerah, politik, perdagangan, industri, pendidikan, serta kebudayaan.

Cerita Rakyat Asal-usul Surabaya, Pertarungan antara Sura dan Baya

Ilustrasi Cerita Rakyat Asal-usul Surabaya. Foto: Unsplash/Liana Mikah
Cerita rakyat asal-usul Surabaya selalu menjadi topik yang menarik untuk dibahas. Banyak masyarakat Indonesia yang tertarik untuk mencari tahu tentang asal-usul kota ini.
Bahkan, di bangku sekolah pun, tak jarang guru memberikan tugas untuk mencari tahu asal-usul Surabaya.
ADVERTISEMENT
Kota Surabaya terkenal dengan sebutan Kota Pahlawan karena sejarahnya yang sangat diperhitungkan dalam perjuangan Arek-Arek Suroboyo (Pemuda-pemuda Surabaya) dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia dari serangan penjajah.
Selain itu, kota ini juga merupakan salah satu kota terpenting yang menopang perekonomian Indonesia.
Hal itu dibuktikan oleh Pelabuhan Tanjung Perak yang merupakan pelabuhan terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta, Pelabuhan Tanjung Perak juga merupakan pelabuhan perdagangan.
Kota Surabaya memang sangat menarik untuk dibahas lebih lanjut. Dikutip dari buku yang berjudul Mitos Cura-Bhaya, oleh penulis Soenarto Timoer, 2010, cerita rakyat asal-usul Surabaya memiliki banyak sejarah panjang. Cerita lengkapnya adalah sebagai berikut:
Asal-usul nama "Surabaya" memancing banyak ragam tafsiran. Ada yang menganggapnya sebagai suatu tonggak peringatan terjadinya suatu peristiwa sejarah yang penting. Tetapi ada juga yang menghubungkannya dengan sebuah fabel (dongeng binatang).
ADVERTISEMENT
Yang mengisahkan pertarungan antara seekor ikan "sura" dan seekor "buaya". Dari kata-kata "sura" dan "buaya" (dalam bahasa Jawa = "baya") terbentuklah nama "Surabaya". Cerita ini telah banyak dibahas oleh masyarakat Indonesia.
Cerita Sura dan Baya ini yaitu dahulu kala, di Laut Jawa sebelah timur dekat Pulau hiduplah dua makhluk air yang saling bermusuhan. Mereka adalah ikan hiu Sura dan Buaya.
Keduanya sering berkelahi hanya karena berebut makanan. Mereka sama-sama kuat, sama- sama cerdik, sama-sama ganas, dan sama-sama rakus.
Setiap kali bertemu pasti keduanya bertarung mati-matian hingga air laut bergolak. Namun selalu tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang. Lama-lama mereka lelah sendiri.
Akhirnya untuk menghentikan perkelahian, keduanya mengadakan kesepakatan membagi wilayah kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Daerah kekuasaan itu adalah darat dan laut. Sura sendiri mendapat wilayah di air atau laut, sedangkan untuk Baya mendapatkan wilayah di darat. Baya pun akhirnya menyetujui gagasan itu. Tetapi, suatu hari, Sura melanggar kesepakatan yang telah ia buat sendiri.
Hingga terjadilah perkelahian antara keduanya. Mereka berdua saling menggigit, menerkam, hingga memukul.
Dalam waktu singkat, air di sekelilingnya berubah menjadi warna merah akibat darah dari luka kedua hewan tersebut. Mereka pun terus bertarung hingga mati tanpa istirahat sedikitpun.
Dalam pertarungan yang sangat hebat itu, Baya digigit oleh Sura di pangkal ekor kanannya. Dan ekornya itu harus selalu menekuk ke kiri. Sedangkan Sura sendiri, digigit ekornya oleh Baya hingga hampir patah, lalu Sura kembali ke laut. Baya puas bisa mempertahankan wilayahnya.
ADVERTISEMENT
Pertarungan antara Hiu bernama Sura dan Baya ini sangat berkesan di hati masyarakat Surabaya bahkan Indonesia. Karena itulah sejarah nama Surabaya ini selalu dikaitkan dengan peristiwa tersebut.
Dari peristiwa ini tercipta lambang kota Surabaya yaitu gambar hiu sura dan buaya.
Masih dikutip dari buku yang sama, yaitu buku yang berjudul Mitos Cura-Bhaya, oleh penulis Soenarto Timoer, 2010, tentang fabel Sura dan Baya terdapat pula perbedaan pendapat.
Ada yang menganggapnya tidak lebih daripada sebuah dongengan belaka, yang lahir dari khayalan seorang pendongeng. Tetapi ada pula yang menganggapnya sebagai cerita kiasan, yang melambangkan suatu peristiwa sejarah, yang lain lagi menganggapnya sebagai sebuah mitos alam.
Namun, justru karena perbedaan-perbedaan itu yang menjadi daya tarik bagi seorang peneliti yang ingin mengkaji latar belakang sejarah terjadinya kota Surabaya.
ADVERTISEMENT
Heyting misalnya, dalam "Oudheidkundig Verslag 1923", telah memaparkan pendapatnya, bahwa Surabaya berasal dari suatu peristiwa pemberontakan seorang kelana bernama Bhaya terhadap Kerajaan Singasari di bawah pemerintahan Kertanagara.
Peristiwa itu tercatat dalam "Nagarakertāgama", "Pararaton", dan "Kidung Panji Wijayakrama". Arti kalana adalah raksasa, atau yang juga disebut asura adalah menjadi kelaziman raja-raja Jawa-Hindu menyebut lawan mereka dengan sebutan kalana, raksasa, atau asura.
Alhasil, kalana aran bhaya adalah pula kalana bhaya atau asura bhaya. Pada waktu itu, kalana sering pula digunakan sebagai nama raja. Sebagai contoh dikemukakan oleh Heyting, seorang raja Kamboja yang dalam "Serat Kandha" dinamakan Kalana Mahesa Sasi.
Dalam akhir kesimpulannya Heyting menulis, bagaimanapun juga baik Bhaya yang dibinasakan oleh Kertanagara maupun Kalana Bhaya (Asura Bhaya), menggambarkan nama Surabaya dalam hubungannya dengan "kalana" atau "raja" Bhaya.
ADVERTISEMENT
Sebelum zaman Bhaya, nama Surabhaya belum dikenal, yaitu sebelum kira-kira tahun Caka 1192 (atau Masehi 1270). Dalam bukunya "Er werd een stad geboren" (1953), Von Faber mengambil mengambil alih pendapat Heyting tersebut.
Bahwa buaya merupakan sebuah simbolisasi dari Bhaya, sedang prajurit Kertanagara yang gagah berani yang melawan Bhaya dinamakan sura dalam arti berani. Itulah sebabnya, Surabaya sering disebut pula sura-ing-baya (=berani dalam bahaya, Bld. dapper in gevaar).
Jadi menurut Von Faber, kata sura bukan berasal dari asura (sinonim kata kalana) seperti pendapat Heyting, melainkan sura dalam arti berani, dalam hal ini yang dimaksud sifat keberanian prajurit Kertanagara yang melawan Bhaya.
Ada juga seorang peneliti, yaitu J. Hageman, yang menyatakan, bahwa tempat yang sekarang bernama Surabaya itu, pada zaman Hindu bernama Ampel Dhenta, dan oleh raja Jawa-Hindu terakhir dihadiahkan kepada seorang pemuka Islam bernama Raden Rahmat (Susuhunan Ampel).
ADVERTISEMENT
Penyerahan ini disaksikan oleh pejabat-pejabat Jawa yang beragama Islam, dan dari sinilah kemudian dicetuskan rencana untuk memerangi dan merebut Majapahit.
Setelah kerajaan Jawa-Hindu yang besar itu runtuh (tahun 1483), maka berkumpullah orang- orang Islam yang menang itu di Ngampel Dhenta.
Karena nama ini membawa noda yang berbau Hinduisme, demikian Hageman, nama itu lalu diubah menjadi "Surabaya", atau "Negara Surabaya" (Nagoro Suroboyo = tempat bagi yang jaya).
Adapun dongeng tentang ikan dan buaya itu sendiri, Hageman menganggapnya omong kosong belaka.
Dalam buku Mitos Cura-Bhaya, oleh penulis Soenarto Timoer, 2010 ini ditarik kesimpulan dari banyaknya pendapat di atas, yaitu semua menghubungkan istilah "Surabaya" dengan pengertian "keberanian" dan "bahaya", lepas dari tafsiran masing-masing akan motivasinya, kecuali Heyting.
ADVERTISEMENT
Heyting dalam mengargumentasikan sura berasal dari asura (= kalana, raksasa), memang tidak dapat kita terima.
Sebab, pertama sura dan asura merupakan dua pengertian yang berlawanan, jadi tidak identik. Kedua, ejaan asli (Jawa kuno) untuk Surabaya adalah Çürabhaya.
Sehingga konsekuensinya, untuk asura (= raksasa) Heyting harus mengejanya acura, tetapi ini ejaan yang salah.
Jadi jelaslah, bahwa secara etimologis nama "Surabaya" atau tepatnya "Çürabhaya" mengandung atau mengungkapkan pengertian "keberanian" atau "kepahlawanan", dan "bahaya".
Masalahnya sekarang adalah kapan waktunya, dan apa motivasinya, maka nama yang mengandung pengertian "keberanian atau kepahlawanan" dan "bahaya" tersebut digunakan.
Menarik dalam hal ini keputusan Pemerintah Kotamadya Surabaya, yang telah menetapkan tanggal 31 Mei 1293 sebagai hari jadi kota Surabaya. Penetapan tanggal tersebut mengambil dasar teori Heru Sukadri selaku anggota Tim Peneliti Hari Jadi Kota Surabaya.
ADVERTISEMENT
Itulah dia cerita rakyat asal-usul Surabaya, yaitu kisah tentang pertarungan Sura dan Baya hingga berbagai penafsiran dari beberapa peneliti tentang asal-usul Surabaya. Banyak yang bisa dikaji dari kota Surabaya ini.
Selain dari cerita dongeng Surabaya yang menarik, dan menjadi hubungan penting untuk kegiatan perdagangan di Asia Tenggara, potensi budaya dari kota Surabaya juga tidak kalah bagusnya dengan budaya di daerah lainnya.
Surabaya memiliki ciri khas tersendiri yaitu karakteristiknya yang lebih egaliter dan terbuka. Selain kebudayaan Jawa, di Surabaya juga terjadi percampuran beragam kebudayaan, mulai dari Madura, Islam, Arab, Tionghoa, dan lain sebagainya.
Selain itu, kota Surabaya memiliki infrastruktur transportasi darat, laut, dan udara yang mampu melayani perjalanan lokal, regional, maupun internasional. Hal itu dibuktikan dengan adanya Bandara Internasional Juanda, Stasiun Gubeng, dan Stasiun Pasar Turi. (IF)
ADVERTISEMENT