Cerita Rakyat Asal-usul Danau Toba, Sumatra Utara Selengkapnya

Kabar Harian
Menyajikan beragam informasi terbaru, terkini dan mengedukasi.
Konten dari Pengguna
26 April 2024 12:27 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kabar Harian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi cerita rakyat asal-usul Danau Toba, Foto: Unsplash/Dio Hasibuan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi cerita rakyat asal-usul Danau Toba, Foto: Unsplash/Dio Hasibuan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Cerita rakyat asal-usul Danau Toba sudah melegenda sejak lama hingga kini. Bahkan di Indonesia, cerita rakyat yang satu ini seringkali digunakan sebagai cerita pengantar di beberapa mata pelajaran di bangku sekolah.
ADVERTISEMENT
Menurut Batubara dan Nurizzati (Jurnal Bahasa dan Sastra: 2), cerita rakyat merupakan cerita yang berasal dari masyarakat dan berkembang dalam masyarakat pada masa lampau, serta menjadi ciri khas setiap bangsa dengan kultur budaya dan sejarahnya.
Umumnya, cerita tersebut memengaruhi ketenaran suatu tempat atau hal yang dimuat di dalamnya. Salah satu contohnya adalah asal-usul Danau Toba yang menjadikan danau tersebut semakin terkenal sebagai tempat wisata, selain karena keindahannya.

Cerita Rakyat Asal-usul Danau Toba

Photo illustration by Simon Waelti on Unsplash
Dikutip dari buku berjudul "Asal Mula Danau Toba" yang ditulis oleh Nur Aisyah dengan tema buku Cerita Rakyat Sumatra Utara (hal. 1 – 16, published: 2021), berikut merupakan cerita rakyat asal-usul Danau Toba, Sumatra Utara selengkapnya:

Narasi 1: Perkenalan Tokoh Utama Cerita

Pada zaman dahulu, di suatu desa kecil bernama Tapanuli, Sumatra Utara, hiduplah seorang pemuda lajang, bernama Toba. Ia merupakan seorang petani sayur dan buah-buahan yang hidup sebatang kara dan tinggal di sebuah gubuk kecil.
ADVERTISEMENT
Selain bertani, Toba juga senang memancing. Oleh karena itu, biasanya setelah panen, ia akan pergi untuk memancing ikan di sungai yang terletak tidak jauh dari kebunnya. Kedua hal itulah yang menjadi rutinitas Toba sehari-hari.
Suatu ketika, pada sore hari pasca Toba memanen sebagian sayuran di kebunnya, ia bergegas dari rumahnya hendak memancing, dengan membawa peralatan pancing sederhana menuju sungai di mana Toba biasanya memburu ikan.
Saat di perjalanan, Ia bermonolog dalam hati, “Andai saja aku memiliki istri dan anak, pasti nasibku akan berubah. Setiap pulang dari kebun, aku tidak perlu repot lagi memasak makanan, begitu pun saat harus mencuci pakaian. Alangkah bahagianya hidup ini.”
Setelah selesai berandai di sepanjang jalan, sampailah Toba di tepi sungai. Karena tak ingin menyia-nyiakan waktunya, segera saja ia menyiapkan alat-alat pancing yang ia bawa, memberi umpan, lalu melempar kailnya ke sungai.
ADVERTISEMENT
Waktu demi waktu ia menanti, bahkan hingga matahari kian condong ke Barat, Toba masih saja belum mendapatkan seekor ikan pun. Sampai akhirnya, umpannya disambar oleh ikan yang ketika Toba angkat, ternyata adalah ikan besar berwarna keemasan.
Karena menyadari hari yang sudah semakin gelap, Toba pun memutuskan untuk pulang. Lantas, sesampainya Toba di kediamannya, ia bergegas mengambil alat-alat, bumbu, juga sayur-mayur yang ia panen ke belakang rumah.
Hatinya diliputi rasa bahagia, sehingga ia bergumam, “Aku akan makan enak di sore dan malam hari ini.” Namun, betapa terkejutnya ia saat kembali dan mendapati ember pancingnya justru dipenuhi kepingan emas, serta ikan tangkapannya tak nampak.

Narasi 2: Pertemuan dengan Wanita Cantik Jelmaan Ikan

Karena rasa penasaran, Toba melangkahkan kakinya untuk mencari ikan tersebut. Bukannya ikan yang ia dapat, Toba justru merasakan kaget bukan main karena mendapati sesosok wanita cantik dengan rambut panjang terurai di hadapannya.
ADVERTISEMENT
Mengetahui rasa kaget pemuda dalam penglihatannya, wanita tersebut memecah hening dengan berkata, “Tidak perlu khawatir, wahai pemuda. Aku adalah jelmaan ikan yang kau pancing tadi. Sebenarnya, aku adalah seorang Dewi yang terkena kutukan.
Para Dewa mengutukku karena aku melanggar suatu aturan, sehingga aku berubah menjadi seekor ikan.” Di tengah rasa kaget, heran, dan takjub, Toba mencoba tenang dan menjawab, “Lalu, kenapa kau berubah menjadi seorang manusia sepertiku?”
Wanita itu pun kemudian memutuskan untuk menjelaskan semuanya. Dalam ceritanya ia berbicara, “Sesaat setelah aku dikutuk, para Dewa memberi keringanan kepadaku, bahwa aku akan berubah pada wujud semula jika aku disentuh oleh makhluk lain.
Ketika kamu yang seorang manusia menyentuhku dalam wujud ikan, ketika itu pula aku berubah menjadi manusia. Maka untuk menebus kebaikanmu, aku bersedia menikah denganmu. Namun, dengan satu syarat yang harus dipenuhi.
ADVERTISEMENT
Bersumpahlah, bahwa kamu tidak akan memberitahukan asal-usulku kepada siapapun. Jika sumpah ini kamu langgar, baik secara sengaja atau pun tidak, maka akan datang bencana besar yang akan menghancurkan desa ini dan sekitarnya.”
Setelah mendengar itu, antara rasa senang dan khawatir tergambar jelas di wajah Toba. Senang karena ia akan memiliki istri, sebagaimana harapannya dan khawatir karena wanita yang dinikahinya bukanlah manusia biasa, melainkan sesosok jelmaan.

Narasi 3: Pernikahan Toba dan Manusia Ikan

Kendati demikian, Toba tidak mengambil peduli mengenai hal itu lebih jauh. Ia hanya akan mencoba berkomitmen untuk bisa hidup bersama dengan bahagia. Sehingga beberapa waktu setelah percakapan itu, Toba dan wanita itu pun menikah.
Hari ke hari, mereka lalui dengan bahagia. Cinta yang tumbuh di antara mereka membuat kekhawatiran mengenai perbedaan asal-usul kian sirna. Hingga sampailah mereka pada puncak kebahagiaan, di mana mereka dikaruniai anak pertama, bernama Samosir.
ADVERTISEMENT
Samosir tumbuh dengan normal, layaknya manusia pada umumnya. Namun, keanehan mulai tampak saat Samosir mengenal makanan. Ia menjadi sosok yang selalu merasa lapar, bahkan sesaat setelah ia memakan banyak makanan, ia akan merasa lapar kembali.
Photo illustration by Rizaldie Project on Unsplash

Narasi 4: Pelanggaran Toba atas Sumpah

Sang anak, Samosir, dididik dengan budi pekerti yang baik. Sehingga, ketika ia menginjak usia anak-anak yang gemar bermain bersama teman, Samosir tidak jarang membantu pekerjaan ibunya di rumah, juga pekerjaan ayahnya di kebun.
Pada suatu hari, Samosir diminta ibunya untuk mengantar makan siang pada sang ayah yang sedang bekerja di ladang. Samosir dengan patuh menerima itu dan bergegas menuju tempat sang ayah. Namun, saat di perjalanan, penyakitnya kambuh.
Samosir merasa sangat lapar hingga ia memutuskan memakan bekal yang ia bawa, seakan lupa ingatan bahwa bekal itu bukanlah untuknya. Bekal itu pun akhirnya tersisa sedikit, karena Samosir memakan sebagian besar makanannya.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, sang ayah ternyata sudah menunggu cukup lama, karena anaknya tak kunjung tiba. Hingga sesampainya Samosir di kebun dan memberikan bungkusan makanan pada sang ayah, Toba, sang ayah bergegas membukanya.
Namun, saat dibuka, Toba melihat makanan itu hanya sedikit, selayaknya sisa makanan yang dimakan terlebih dahulu. Dalam keadaan lelah dan lapar, Toba merasa kesal dan bertanya pada anaknya, “Hai Samosir, kenapa makananku hanya tinggal sedikit?
Apakah karena terjatuh atau memang ini yang disediakan ibumu untukku?” Lalu, dengan wajah polos dan nada datar, Samosir menjawab, “Maaf, Ayah. Tadi, di perjalanan aku merasa sangat lapar, sehingga aku memakannya dan menyisakan sedikit.”
Mendengar ungkapan anaknya itu, Toba yang sudah kesal menjadi marah besar. Ia mengeluarkan kalimat makian pada anaknya, sampai dengan tak sadar, terlontarlah kalimat yang tidak boleh ia ucapkan sebagaimana sumpahnya.
ADVERTISEMENT
“Kelewatan sekali kamu, Samosir. Apa kamu tidak tahu bahwa aku sangat lelah dan lapar?! Kenapa kamu malah memakannya? Dasar Anak Keturunan Ikan!” Begitulah kiranya kalimat yang Toba ucapkan, sebelum kemudian ia sadar dan menyesal telah melanggar sumpah.

Narasi 5: Terbentuknya Danau Toba dan Pulau Samosir

Mendengar makian ayahnya, Samosir yang tidak tahu apa-apa memilih berbalik arah dan berlari untuk pulang karena ingin menceritakan kejadian itu kepada ibunya. Hingga sesampainya di rumah, sang ibu heran melihat ia menangis dan bertanya;
“Wahai anakku, Samosir. Kenapa engkau menangis? Apa yang terjadi pada dirimu?” Kemudian, Samosir berusaha bercerita seluruh kejadian yang dia alami di tengah isak tangisnya, sampai sang ibu kaget mendengar cerita suaminya melanggar sumpah.
Rasa kaget bercampur sedih membuat sang ibu menangis. Dalam keadaan seperti itu, sang ibu menegaskan kepada anaknya, “Anakku, Samosir. Sesungguhnya ayahmu telah berbuat hal yang begitu ceroboh, karena melanggar sumpah.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, pergilah kamu ke puncak suatu bukit, karena di desa ini akan segera datang bencana.” Setelah mendengar penegasan dan petuah ibunya, tanpa berpikir panjang, Samosir pun segera berlari menuju bukit paling tinggi di daerah itu.
Tak berapa lama setelah Samosir sampai, benar saja, hujan turun dengan deras, petir-petir menggelegar dengan menyeramkan, serta angin badai datang dengan kencangnya. Karena itu, seluruh desa dan sekitarnya tergenang, pun rumah dan segalanya luluh lantah.
Semakin lama, air kian meninggi karena derasnya hujan, hingga terbentuklah sebuah danau besar. Bahkan konon, masyarakat desa seluruhnya tewas terendam banjir dan Samosir pun wafat setelah hidup lama dalam keadaan tertinggal sendiri.
Desa dan wilayah yang terendam banjir itulah yang dipercayai hingga kini sebagai Danau Toba. Sedangkan, pulau yang terletak di tengahnya dikenal sebagai Pulau Samosir, yaitu kawasan yang menjadi tempat pelarian Samosir dahulu.
ADVERTISEMENT
Demikian ulasan mengenai cerita rakyat asal-usul Danau Toba dari Sumatra Utara yang dapat pembaca simak. Terlepas dari fakta di baliknya, cerita tersebut mengandung banyak pesan moral yang baik untuk diterapkan dalam kehidupan.(NF)