Dukungan Berbahaya Kepala Desa di Wacana Jabatan Presiden 3 Periode

Julian Savero Putra Soediro
Tenaga Ahli di Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Pembelajar, penulis, dan peneliti.
Konten dari Pengguna
30 Maret 2022 19:54 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Julian Savero Putra Soediro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mendagri Tito saat menyampaikan laporan dalam agenda Silatnas Desa oleh Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) di Istora Senayan, Jakarta, Selasa (29/3/2022). Foto: Kemendagri RI
zoom-in-whitePerbesar
Mendagri Tito saat menyampaikan laporan dalam agenda Silatnas Desa oleh Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) di Istora Senayan, Jakarta, Selasa (29/3/2022). Foto: Kemendagri RI
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kini wacana perpanjangan jabatan Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan semakin menyeruak. Setelah sebelumnya bola panas tersebut kerap digaungkan oleh elite politik nasional, kini elite politik desa juga tidak mau kalah.
ADVERTISEMENT
Tidak tanggung, pada Selasa (29/03) kemarin, Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) dalam acara Silaturahmi Nasional Desa 2022 yang juga dihadiri oleh Presiden Joko Widodo secara gamblang mendukung Jokowi untuk terus melanjutkan masa berkuasanya.
Menurut hemat saya, ini bukanlah gerakan kecil minim dampak. Perlu diketahui bersama, desa adalah unit terkecil dalam pemerintahan nasional yang dipilih langsung oleh rakyat. Dukungan politik desa juga berarti bagi keberlangsungan politik dan pemerintahan Indonesia secara holistik.
Sekilas Politik dan Pemerintahan Desa
Satu kalimat yang menggambarkan keseluruhan pemerintahan desa, yaitu ‘Otonom dan Berkuasa Penuh.’ Otonomi desa diatur dan dijamin secara konstitusional melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Dampak dari otonomi tersebut adalah hak bagi masyarakat desa untuk bisa memilih pemimpinnya sendiri melalui Pemilihan Kepala Desa (Pilkades). Sudah menjadi rahasia umum, di mana ada pemilihan maka akan ada adu pengaruh politik yang kuat dalam kontestasi.
ADVERTISEMENT
Kepala desa secara eksplisit diatur tidak boleh menjadi pengurus ataupun berafiliasi dengan partai politik. Namun, pengaruh seorang Kepala desa tidak boleh dianggap remeh. Ia adalah orang terpilih yang dipercaya di wilayahnya, serta memiliki kewenangan untuk mengatur wilayahnya melalui berbagai Peraturan Desa hingga Keputusan Kepala Desa.
Masa jabatan dari kepala desa lebih lama dari seorang presiden dan jajaran kepala daerah lainnya yang dipilih rakyat. Diatur dalam undang-undang yang sama, masa jabatan kepala desa adalah enam tahun, dengan batas maksimal menjabat selama tiga periode.
Masyarakat desa memiliki lembaga perwakilannya sendiri yang bernama Badan Permusyawaratan Desa, memiliki sumber pendapatan daerahnya sendiri, terlibat dalam pengambilan keputusan desa yang partisipatif, hingga memiliki satu asas umum yang berlaku, yaitu asas kekeluargaan.
ADVERTISEMENT
Jenis otonomi seperti itulah yang tidak akan bisa kita temukan dalam unit pemerintahan yang sejajar seperti kelurahan. Karenanya, desa layak disebut sebagai unit kecil dengan pengaruh yang besar.
Dalam beberapa tahun ini kita sering mendengar desa yang selalu menjadi perhatian pemerintah pusat. Tidak tanggung, pemerintah pusat menggelontorkan dana puluhan triliunan rupiah tiap tahunnya untuk membangun desa.
Melihat laporan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), pemerintah pusat selalu memberikan bantuan kepada desa dengan jumlah yang meningkat tiap tahunnya.
Tahun 2018, pemeritah menganggarkan Rp 60 triliun yang didistribusikan bagi seluruh desa di Indonesia. Tahun 2019, menjadi Rp 70 triliun. Kemudian di tahun 2020 dan 2021 meningkat jadi Rp 72 triliun.
Jika dikalkulasikan, tiap-tiap desa di Indonesia akan mendapatkan rata-rata alokasi dana sebesar Rp 800,4 juta untuk tahun 2018, Rp 933,9 juta di tahun 2019, dan Rp 960,6 juta untuk tahun 2020 dan 2021. Dana yang tentu akan begitu berdampak dalam tata pemerintahan desa dalam menyelenggarakan berbagai program bagi kesejahteraan masyarakat desa.
ADVERTISEMENT
Sudah ratusan triliun rupiah dana yang dianggarkan pemerintah pusat bagi desa di seluruh Indonesia. Melansir dari Kumparan.com, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) menyampaikan hingga tahun 2021 sudah sebanyak Rp400,1 triliun dana desa yang dialokasikan sejak pertama kali diberikan pada tahun 2015.
Jumlah tersebut tentu masih akan meningkat secara progresif. Kembali melihat laporan BPKP, jumlah desa di Indonesia secara kasar pada tahun 2020 berkisar 74 ribu desa.
Perhatian spesial dari pemerintah pusat kepada desa dari segi anggaran selain bisa mewujudkan pembangunan desa yang lebih efektif, bisa menciptakan relasi baru yang lebih harmonis, dan tidak menutup kemungkinan hubungan yang saling menguntungkan secara politis.
Tradisi Politik Balas Budi
Presiden Joko Widodo hadiri Silatnas 2022 di Istora Senayan, Jakarta, Selasa (29/3/2022). Foto: Jacko Ryan/kumparan
Saat melihat dinamika politik nasional, kita akan disadari oleh pola ‘bagi-bagi kue’ yang kerap dilakukan elite politik. Cara tersebut ditempuh guna mengakomodir kelompok kepentingan dan memperkuat pengaruh politik.
ADVERTISEMENT
Politik balas budi nyatanya sudah kerap dilakukan sejak era kolonial. Kita tentu ingat bagaimana politik etis pemeritah kolonial Belanda memperlakukan masyarakat pribumi dengan baik melalui programnya karena dinilai sudah berjasa selama ratusan tahun lamanya.
Hal serupa terlihat kembali berlaku dalam hubungan pemerintah pusat dan pemerintah desa saat ini.
Pemerintah pusat sudah memberikan banyak ‘bantuan dan dukungan’ kepada pemerintah desa. Kemudian sebagai timbal balik, pemerintah desa kini membantu berbagai agenda yang menyinggung pemerintah pusat, tidak terkecuali agenda presiden tiga periode.
Presiden Jokowi dalam hal ini terlihat sudah berjasa sejak tahun 2015 karena memberikan bantuan desa, dan dengan dana yang terus meningkat tiap tahunnya. Kepala desa berbalik membalas jasa Presiden Jokowi untuk terus berkuasa, dan mungkin; dengan harapan agar terus mendapatkan dana dari pemerintah pusat untuk beberapa tahun ke depan.
ADVERTISEMENT
Potensi Mencederai Konstitusi
Saat kita melihat adanya relasi yang begitu erat antara pemerintah pusat dengan pemerintah desa, kita bisa menyadari adanya pola yang sudah terbangun. Sehingga, dukungan tiga periode presiden dari seluruh kepala desa di Indonesia adalah klimaksnya.
Mudah dipahami oleh siapa pun bahwa pembatasan jabatan Presiden hanya dua periode adalah hasil dari pengalaman pahit bangsa kita. Berada di bawah tirani orde baru selama dua dekade lebih sudah membentuk alam bawah sadar kolektif bangsa ini untuk membenci kuasa tirani.
Alhasil, pembatasan jabatan presiden adalah gebrakan baru pada masa reformasi dan menuai banyak pujian dari negara-negara barat, yang lebih dulu mencicipi demokrasi dan otonomi.
Jelas, jika narasi menggaungnya perpanjangan periode presiden berhasil terimplementasi maka akan menjadi preseden buruk bagi keberlangsungan demokrasi Indonesia di masa mendatang.
ADVERTISEMENT
Penambahan masa kekuasaan berpotensi membangunkan monster yang bersemayam dalam alam bawah pikir masyarakat kita, yaitu tirani.
Desa adalah unit pemerintahan terkecil di negeri ini yang merasakan berkah dari reformasi dengan otonominya.
Namun, hal lain seperti menyamakan ketentuan jabatan presiden untuk berkuasa dan menjabat serupa dengan ketentuan jabatan kepala desa tidaklah bijak, dan sangat jauh berbeda karena akan menghadapi situasi politik dan pemerintahan yang lebih kompleks.
Akan sangat disayangkan jika seluruh kepala desa di Indonesia justru mendukung agenda yang kontraproduktif dengan semangat reformasi dan otonomi daerah. Karena sejatinya mereka adalah pelaku dari otonomi daerah.
Tidak ada yang tidak mungkin dalam politik, sehingga bisa saja dukungan agenda tiga periode ini justru bisa berubah menjadi bumerang bagi sistem pemerintahan desa.
ADVERTISEMENT
Bukan hal yang mustahil pula saat kekuasaan berjalan terlalu lama, maka pola desentralistik Indonesia akan tergantikan dengan pola yang sentralistik.
Sehingga semakin mengancam eksistensi otonomi desa untuk ke depannya.