Relevansi Kebijakan Uni Eropa RED II dan Pengaruhnya Pada Persetujuan Paris

JHEFRY RAHMANSYAH
Mahasiswa Universitas Islam Indonesia Program Studi Hubungan Internasional Angkatan 2020
Konten dari Pengguna
30 Desember 2021 21:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari JHEFRY RAHMANSYAH tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Photo by Geoffroy Hauwen on Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Photo by Geoffroy Hauwen on Unsplash
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Beberapa waktu yang lalu telah diadakan pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) iklim di Glasgow, Skotlandia. Pertemuan tersebut dihadiri para tokoh pemimpin dunia guna membahas tentang dampak penggundulan hutan beberapa tahun kedepan.
ADVERTISEMENT
Seperti yang kita ketahui bahwa hutan merupakan salah satu faktor penting tersedianya oksigen di muka bumi, tanpa adanya oksigen mungkin kita tidak dapat bernapas dengan nyaman seperti sekarang ini. Dengan adanya hutan, memungkinkan untuk bumi dalam menyerap karbon dioksida (CO2) melalui pohon - pohon yang tersedia di hutan. Karbon dioksida sendiri adalah salah satu faktor utama dalam perubahan iklim karena dapat menyebabkan pemanasan global, untuk itu peran hutan sangat dibutuhkan dalam mencegah pemanasan global dan perubahan iklim.
Sejak tahun 1990 PBB mengatakan setidaknya ada 420 juta hektare hutan yang dibabat habis dengan alasan pembukaan lahan pertanian baru. Padahal sebelumnya sudah banyak upaya untuk mencegah terjadinya pembabatan hutan (Kompas.com, 2021). Tentu data tersebut memperjelas bahwa manusia adalah makhluk yang serakah, sehingga mencoba untuk melakukan berbagai cara untuk dapat memenuhi keinginannya.
ADVERTISEMENT
Seiring berjalannya waktu, globalisasi di dunia makin meluas, perdagangan dunia sudah tidak bisa lepas dari pengaruh globalisasi. Namun justru hal tersebut juga membuat deforestasi makin tidak terkendali, alasannya jelas, manusia ingin mendapatkan apa yang mereka inginkan, untuk itu Paris Agreement dibuat agar deforestasi dapat diatasi. Namun pada kenyataannya, adanya Paris Agreement kurang relevan bagi Indonesia karena Uni Eropa melakukan tindakan diskriminatif terhadap kelapa sawit Indonesia dan mengatakan bahwa kelapa sawit tidak ramah lingkungan, padahal kelapa sawit merupakan aset bagi perekonomian Indonesia.
Menteri Luar Negeri Indonesia ibu Retno Marsudi mengatakan bahwa sudah seharusnya kerja sama ekonomi yang dilakukan Uni Eropa dan Indonesia berlangsung secara adil dan tanpa ada tindakan disriminasi dari kedua belah pihak, selain itu kerja sama tersebut seharusnya bersifat terbuka terutama terkait kerja sama ekonomi dalam hal kelapa sawit.
ADVERTISEMENT
Namun tindakan Uni Eropa disebut telah mengancam kerja sama Indonesia dengan Uni Eropa karena kebijakan Uni Eropa tentang regulasi Renewable Energy Directive (RED II) yang dikeluarkan oleh Uni Eropa pada tahun 2018 tersebut sangat merugikan Indonesia. Dalam regulasi tersebut dikatakan bahwa negara yang menjadi bagian Uni Eropa setidaknya harus menggunakan RED II sedikitnya sebanyak 32 persen dari jumlah konsumsi energi negaranya. Tidak hanya berhenti di situ, Uni Eropa juga melakukan tudingan negatif terhadap Indonesia terkait murahnya harga minyak sawit mentah dan mengatakan bahwa Indonesia melakukan praktik subsisi dalam sektor perkebunan kelapa sawit Indonesia (Wardah, 2021).
Sebenarnya upaya Uni Eropa dalam mendiskriminasi kelapa sawit tersebut terlihat saat kebijakan yang dibuat terkait ketahanan energinya agar lebih sejalan dengan perjanjian - perjanjian mengenai Climate Change, yang mana sangat merugikan aspek perdagangan kelapa sawit internasional Indonesia (G, 2018).
ADVERTISEMENT
Sebelumnya saya ingin menjelaskan terlebih dahulu mengenai apa itu Paris Agreement, Paris Agreement atau Persetujuan Paris sendiri adalah sebuah perjanjian yang dibuat dalam Konvensi Kerangka Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa - Bangsa atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) tentang mitigasi emisi gas rumah kaca, keuangan, dan adaptasi. Indonesia adalah salah satu negara yang menandatangani perjanjian tersebut pada tahun 2016 lalu.
Akan tetapi, Indonesia yang merupakan salah satu penghasil kelapa sawit terbesar di dunia berniat untuk keluar dari Paris Agreement jika kemudian Uni Eropa tidak ingin mengubah pandangan negatif dan sifat diskriminatif terhadap kelapa sawit Indonesia. Sebelumnya sudah ada Amerika Serikat dan Brazil yang sudah lebih dahulu keluar dari kesepakatan Paris Agreement karena menilai bahwa perjanjian tersebut tidak ada gunanya. Uni Eropa seakan tidak menghargai Indonesia karena dalam kerja sama tersebut Indonesia sangat dirugikan (Media Perkebunan, 2019)
ADVERTISEMENT
Upaya Uni Eropa melakukan pelarangan kelapa sawit disebut sebagai tindakan diskriminatif, tidak hanya kepada Indonesia, namun juga negara - negara yang merupakan penghasil kelapa sawit terbesar di dunia termasuk Malaysia. Hal tersebut membuat beberapa negara yang menyetujui perjanjian dalam Paris Agreement merasa dirugikan dan perjanjian tersebut jadi kurang relevan, sehingga tidak heran jika kemudian Indonesia memiliki keinginan untuk keluar dari perjanjian tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
G, K. M. (2018). Kelapa Sawit: Antara Kebijakan Ketahanan Energi Dan Climate Change Uni Eropa, Serta Respon Pemerintah Indonesia. PERPUSTAKAAN ELSAM.
Kompas.com. (2021). Deforestasi, Indonesia Salah Satu Negara Pembabat Hutan Terbanyak. Kompas.com.
Media Perkebunan. (2019). MASYARAKAT KELAPA SAWIT DUKUNG KELUARNYA INDONESIA DARI PARIS AGREEMENT. Media Perkebunan.
ADVERTISEMENT
Wardah, F. (2021). RI Minta Uni Eropa Perlakukan Kelapa Sawit Indonesia Secara Adil. VOA INDONESIA.