Kasus Tendang Sesajen di Semeru, Sosiolog: Tidak Perlu Masuk Ranah Hukum

Konten Media Partner
18 Januari 2022 14:00 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kasus Tendang Sesajen di Semeru, Sosiolog: Tidak Perlu Masuk Ranah Hukum
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Surabaya - Pakar Sosiologi Universitas Airlangga (Unair) Prof Dr Bagong Suyanto berpendapat, Hadfana Firdaus pelaku penendang dan pembuang sesajen di kawasan Gunung Semeru, semestinya tidak perlu dilaporkan ke kepolisian.
ADVERTISEMENT
Menurut dosen Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik tersebut, bangsa Indonesia perlu belajar memaafkan dan memahami orang yang tidak mengerti.
“Menurut saya memang, tidak perlu memperpanjang masalah ini sampai ke ranah hukum. Kita bisa menyelesaikannya dengan cara kekeluargaan dan yang terpenting ketika pelaku sudah meminta maaf, maka ya selesai permasalahannya," ujar Prof Bagong dalam siaran tertulis yang diterima redaksi, Selasa (18/1/2022).
"Karena menurut informasi yang saya dapat juga, pelaku tidak berasal dari wilayah Lumajang, sehingga mungkin tidak mengetahui adat-istiadat setempat,” imbuhnya.
Meski demikian, Bagong Suyanto tetap tidak membenarkan atas tindakan penendangan dan pembuangan sesajen yang dilakukan Hadfana Firdaus.
Hanya saja, proses memaafkan bertujuan agar bisa membuat pelaku memahami bahwa Indonesia adalah bangsa multikulturalisme sehingga setiap orang perlu menghargai perbedaan.
ADVERTISEMENT
“HF kan orang luar daerah yang datang ke komunitas lokal (masyarakat Lumajang). Maka dia harus berempati dan belajar memahami perbedaan,” tegas Prof Bagong.
Dosen yang dinobatkan sebagai peneliti terbaik Unair versi Google Scholar itu menuturkan, hal ini bisa menjadi pelajaran bersama. Sehingga HF tidak bisa hanya membenarkan tindakannya sendiri dan menganggap yang lain adalah salah.
“Karena nanti akan ada kelompok-kelompok lain yang tersinggung. Supaya kita mau mengenal dan memahami ritual dari agama dan kepercayaan lain. Itu penting sebagai bekal hidup di negara yang penuh perbedaan ini,” sambungnya.
Terkait sikap bijak ketika menghadapi perbedaan, lanjut Prof Bagong, masyarakat boleh saja mempercayai dan mengimani suatu keyakinan, akan tetapi mereka tidak perlu menyalahkan atau merendahkan yang lainnya. Cukup dirasakan sendiri tanpa menyinggung keyakinan lain.
ADVERTISEMENT
Melalui sikap yang demikian, maka ke depannya diharapkan tidak akan terulang kejadian serupa. Hal itu karena tidak ada anggapan salah terhadap kelompok atau keyakinan lain. Yang ada yakni penghormatan dan kesediaan untuk menerima bahwa perbedaan itu ada.
“Jadi masyarakat harus betul-betul memahami bahwa kita hidup di lingkungan yang beraneka ragam. Sehingga ketika hendak menilai suatu kelompok lain yang berbeda, janganlah memakai ukuran kita sendiri. Kita harus berempati dan bertoleransi dan kuncinya adalah memahami dan menerima segala bentuk perbedaan,” pungkasnya.