Pancasila di Mata Rakyat

Jan Ekklesia
Sosiolog dan Pendiri GEMA Politik Indonesia
Konten dari Pengguna
6 Mei 2024 8:08 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jan Ekklesia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pancasila sebagai Penuntun Bangsa. Sumber; Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Pancasila sebagai Penuntun Bangsa. Sumber; Dok. Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hari Lahir Pancasila tidak dapat dipisahkan dengan peristiwa 1 Juni. Terminologi “Panca Sila” yang berarti dasar yang memiliki lima unsur identik dengan gagasan Soekarno.
ADVERTISEMENT
Persis di tanggal yang sama, Soekarno membacakan gagasannya tentang dasar Negara Indonesia dalam sidang pertama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang berlangsung 29 Mei hingga 1 Juni 1945.
Pancasila lahir dari sebuah kemelut panjang pencarian jati diri bangsa. Pertanyaan pembuka sidang oleh dr. Radjiman Widyodiningrat tentang opsi dasar Negara Indonesia kepada para anggota sidang dianggap penting dan mendesak. Sebab dasar negara akan melahirkan pedoman hidup, yang otentik, serta dianggap mampu menuntun negara sesuai cita-cita luhur bangsa.
Sebagai philosofhische grondslag, Pancasila memuat perbedaan ide filsafati yang cukup mencolok dengan berbagai ideologi besar dunia. Pancasila berbeda dengan komunisme, chauvinisme, liberalisme, fasisme, maupun voluntarisme. Bahkan, boleh jadi landasan filosofis yang matang menjadikan Pancasila memandang kehidupan sosial secara lebih holistik dan inklusif.
ADVERTISEMENT

Pancasila dan Rezim Pemerintahan

Implementasi nilai-nilai Pancasila ke dalam roda pemerintahan mengalami pasang surut.
Pertama, keguncangan demokrasi rezim Orde Lama (1945-1966) yang ditandai oleh sering bergantinya sistem demokrasi dan pemberontakan separatis di berbagai daerah, berimbas pada penyalahgunaan Pancasila untuk melanggengkan kekuasaan imperatif Soekarno.
Pancasila masa itu seakan-akan kehilangan daya untuk menjaga kesatuan dan persatuan bangsa tetap utuh.
Kedua, Pancasila di bawah kekuasaan Soeharto (rezim Orde Baru) (1967-1998) mengalami pemurnian dari produk-produk Orde Lama. Salah satunya pemurnian dari ideologi komunis. Interpretasi butir Pancasila demi kepentingan penguasa menjadi tidak karuan, di samping maraknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Pancasila malah menjadi suatu dogma negara. Masyarakat melalui program P4 justru mengalami indoktrinasi ketimbang menjadikan Pancasila sebagai nilai hidup berbangsa yang inklusif.
ADVERTISEMENT
Ketiga, wacana restorasi keluhuran dan kemurnian Pancasila hadir sebagai agenda utama masa Reformasi (1998-kini). Walaupun demikian, anasir kelemahan praktik Pancasila pada Orde Lama maupun Orde Baru masih nyata terjadi hingga saat ini.
Implementasi nilai-nilai Pancasila pada era Reformasi masih terus diupayakan, bersamaan dengan konsolidasi demokrasi dan good governance.

Pancasila dalam Cara Memandang dan Perbuatan Manusia

Sebagaimana Pancasila memengaruhi sistem pemerintahan Indonesia pada tataran makro, Pancasila justru merasuk jauh ke dalam relung kehidupan khas manusia Indonesia.
Butir-butir Pancasila menyangkut hal-hal yang bersifat individual, yaitu tentang kepercayaan (sila Ketuhanan Yang Maha Esa) hingga menyangkut hal-hal yang bersifat kolektif (sila persatuan Indonesia dan sila keadilan sosial).
Aktualisasi Pancasila dalam kehidupan manusia sejatinya memberi identitas kebangsaan yang sepenuh-penuhnya. Identitas kebangsaan tercermin dalam dua hal, yakni cara memandang (point of view) dan perbuatan (way of life).
ADVERTISEMENT
Cara memandang adalah bagaimana kita melihat diri terhadap sesuatu yang berada di sekitar sesuai apa yang kita anggap benar. Pancasila menjadi kacamata kita. Misalnya, hal yang berkaitan dengan perbedaan etnis, multikulturalisme, dan pluralisme dari kacamata Pancasila tidak untuk dihindari, melainkan merupakan sesuatu yang patut dirayakan bersama-sama.
Sementara perbuatan menyangkut seluruh aspek kebudayaan yang dapat diindra dan dihasilkan (unsur materiil). Perbuatan adalah tindak lanjut dari cara memandang. Ketika kita memandang bahwa perbedaan adalah hal yang patut untuk dirayakan, maka sikap toleransi, tenggang rasa, dan rasa memiliki satu sama lain muncul. Dengan demikian kohesi sosial sesuai nilai-nilai Pancasila dapat terwujud.

Refleksi Pancasila dalam Bingkai Masa Depan

Menurut saya, nilai-nilai Pancasila masih relevan sebagai solusi atas permasalahan yang melanda Indonesia. Beberapa di antaranya adalah transisi pandemi menuju endemi dan langgam politik menyongsong Pemilu 2024.
ADVERTISEMENT
Siapa sangka, di tengah tingginya individualisme masyarakat di Eropa dan Amerika untuk melindungi dirinya dari paparan virus, kegiatan kolektif dengan kreativitas masyarakat Indonesia marak muncul di permukaan. Bantuan tersebut antara lain muncul dari tetangga, UMKM, LSM, dan Organisasi Masyarakat. Hal tersebut menandakan bahwa civil society kita berjalan baik.
Sayangnya, kontestasi politik dalam pemilu Indonesia masih menghasilkan polarisasi kubu-kubu yang cukup tajam. Framing, hoax, dan bibit perpecahan selalu menghiasi diskursus politik, paling tidak masih bertengger dalam percakapan media sosial untuk beberapa tahun ke depan.
Perlunya nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan musyawarah mufakat untuk tetap menjaga kualitas demokrasi sehingga tidak menjadi jerat bagi kelangsungan integrasi masyarakat Indonesia.