JIS Sebagai Senjata Diskursus Politik

Jan Ekklesia
Sosiolog dan Pendiri GEMA Politik Indonesia
Konten dari Pengguna
7 Juli 2023 8:36 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jan Ekklesia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Sama seperti taman dan tempat rekreasi, stadion adalah ruang publik (public sphere) yang dapat dilihat dari dua sisi, sebagai arena pertandingan olahraga dan arena pertandingan politik.

Jakarta Internasional Stadium (JIS). Foto: Ananta Erlangga/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Jakarta Internasional Stadium (JIS). Foto: Ananta Erlangga/kumparan
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jakarta International Stadium (JIS) saat ini menjadi polemik panas yang bergulir di kalangan masyarakat. Pasalnya, stadion yang digadang-gadang sebagai kandidat venue Piala Dunia U-17 2023 tersebut dinilai gagal memenuhi standar FIFA.
ADVERTISEMENT
Beberapa catatan tersebut antara lain: akses masuk yang sempit dan kurang, masalah ketersediaan parkir, hingga masalah rumput lapangan. Menteri PUPR, Ketua PSSI, dan Kemenpora berdasarkan kunjungannya ke JIS (05/07) sepakat bahwa perlu ada renovasi secepatnya.

Potensi Politisasi

Polemik JIS memang sudah terjadi sejak awal diluncurkan. Misalnya, rencana Timnas Indonesia melawan Curacao pada 27 September 2022 gagal digelar di JIS. Hal tersebut terjadi setelah PSSI melakukan uji kelayakan dengan hasil bahwa JIS belum memenuhi kelayakan infrastruktur 100 persen. Padahal, pembangunan JIS sudah sesuai dengan kriteria FIFA.
Misal lain, rubuhnya pagar pembatas yang diperuntukkan demi keselamatan penonton sesuai stadion berstandar internasional (24/7/2022) dikarenakan tingginya aktivitas penonton memasang spanduk dan berbagai aktivitas di luar kontrol petugas.
ADVERTISEMENT
Kedua contoh di atas, lagi-lagi, berimbas pada keputusan PSSI untuk tidak segera "mengakui" JIS sudah memenuhi standar. Ketika itu, Mochamad Iriawan sebagai Ketua PSSI periode 2019-2023 juga berniat untuk maju dalam kontestasi pemilu sebagai calon gubernur Jawa Barat 2024. Karena itu, pertandingan selalu dialihkan ke stadion Jawa Barat seperti peralihan ke Stadion Pakansari, Bogor, maupun Stadion Patriot Candrabaga, Bekasi.
Pun Erick Thohir sebagai ketua PSSI periode 2023-2027 sekaligus kandidat kuat calon wakil presiden 2024 dianggap melancarkan hal serupa, yaitu menjadikan JIS sebagai manuver politis tertentu, terlepas dari upaya baik pemerintah untuk merenovasi JIS.

Memahami Konteks

Kontekstualisasi didirikan JIS merupakan bentuk perhatian akan perlunya simbolisasi olahraga secara khas dimiliki oleh DKI Jakarta. Berkaca dari sejarah, pembangunan JIS bukan dimulai sejak Anies Baswedan, melainkan sudah dicanangkan sejak zaman Fauzi Bowo (Foke) di kawasan Taman Bersih Manusia Wibawa (BMW) dengan total 66,6 hektare pada tahun 2008. Namun, terhambatnya pembangunan stadion bertaraf internasional tersebut lantaran sengketa lahan.
ADVERTISEMENT
Beberapa permasalahan lain pada masa kepemimpinan Joko Widodo dan Djarot Saiful Hidayat juga menghambat proses pembangunan JIS. Barulah pada 14 Maret 2019, Anies memperkenalkan rancangan stadion JIS dan rampung pada 2022. Capaian tersebut patut diapresiasi.
Maka, secara tidak langsung, proyek yang turut serta mencatut Anies Baswedan sebagai calon presiden dalam pusaran politik 2024 dapat diterima secara logis. Wacana lain yang juga mengidentikkan JIS dengan elektabilitas Anies Baswedan secara organik justru menguntungkan dirinya sebagai news maker diskursus publik.
Terlebih lagi, pertandingan sebesar Piala Dunia perlu digelar di Jakarta sebagai Ibu Kota Negara, sementara Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) sudah direservasi untuk acara konser. JIS adalah pilihan terbaik bagi perhelatan Piala Dunia.
ADVERTISEMENT

Bangunan Sebagai Diskursus Politik

Suasana Jakarta International Stadium (JIS). Foto: Subhan/kumparan
Polemik JIS sebenarnya merupakan gambaran jelas bahwa bangunan tidak lepas dari arena politik, meski olahraga menjadi taruhannya. Belajar dari proyek mercusuar Presiden Sukarno yang dimulai pada tahun 1960-an sebagai tombak Demokrasi Terpimpin, bangunan tersebut ditujukan agar menarik perhatian internasional.
Hasrat Presiden Sukarno untuk membangun bangunan monumental nan megah juga diiringi dengan pemilihan Indonesia sebagai Tuan Rumah Asian Games 1962 dan Games of New Emerging Forces (GANEFO). Sekurang-kurangnya, ada enam proyek yang digarap: GBK, Hotel Indonesia, Jembatan Semanggi, Monumen Selamat Datang, Monumen Nasional (Monas), dan Gedung MPR/DPR.
Di tengah proyek besar-besaran tersebut, beban anggaran negara melonjak tajam, mengakibatkan krisis ekonomi dan huru-hara. Kritik terhadap kekalutan ekonomi menjadi suara tajam oleh Bung Hatta. Alih-alih demi menarik perhatian internasional dan olahraga, proyek mercusuar justru mengarah pada politik mercusuar demi mempertahankan visi Sukarno semata.
ADVERTISEMENT

Objek Politik yang Diam

Polemik JIS dapat menjadi potret politik yang empuk bagi sebagian pihak, terutama untuk agenda 2024 mendatang. Meskipun acap kali stadion dianggap sebagai tempat perhelatan hiburan semata, stadion secara teratur mengumpulkan ribuan warga dalam ruang fisik yang dekat, sehingga membuat ekspresi politik dapat tercapai.
Stadion bukanlah objek a-politis, melainkan objek yang sangat politis terutama pada potensi ekspresi politik yang dibangun ribuan penonton dalam satu ruang.
Di samping itu, solidaritas sosial-kultural yang dibangun oleh para suporter bola berkaitan erat dengan hadirnya stadion di ruang kehidupan mereka. JIS menjadi simbol rumah (home base) bagi Persija dan kebanggaan DKI Jakarta.
Maka, JIS sebagai sebuah stadion, secara fungsi akan sama dengan keenam stadion utama, tetapi akan berbeda secara politik. Politisasi adalah suatu kelumrahan sosial dan akan terus-menerus ada. Sebab JIS, sebagaimana 21 stadion yang akan direnovasi, adalah objek politik yang diam.
ADVERTISEMENT